12. Menghibur Diri

162 15 0
                                    

Riana lupa memikirkan bagaimana tanggapan orang tua Raditya. Entah, mereka akan menentang atau justru menerima. Terlebih, bila suatu saat nanti mereka tahu anak ini bukanlah keturunan mereka, melainkan hasil perbuatan kotor Riana dengan suami sahabatnya.

Riana menggeleng kaku saat mata Sari masih menatap ingin tahu. Agaknya, pengasuh Dante tak berniat menakuti, melainkan murni mengajukan tanya. Wajar saja, dia tak bisa memilih mana pertanyaan yang mengundang rasa cemas dan mana yang biasa saja.

Hal itu terbukti saat Sari malah angkat bahu, lalu pamit keluar diikuti Riana beberapa menit setelahnya.

"Pagi, semuanya!" sapa Riana semangat.

"Pagi!" balas Risa dan Dimas berbarengan.

Dante duduk terkantuk-kantuk di meja makan saat Riri mendaratkan sebuah kecupan. Mulutnya terbuka, menerima suapan demi suapan dari Risa dengan wajah malas.

Maklum, kemarin-kemarin Dante tidur lama sekali. Seperti tahu akan situasi di mana para bayi lebih baik tidur daripada menyimak masalah orang dewasa.

"Mau ke mana kamu?" tegur Risa.

Matanya menyipit melihat Riana. Tumben sekali mengenakan pakaian olahraga. Wanita itu menyiapkan dua helai roti yang diberikan selai cokelat. Lalu, menyerahkan pada Riana yang diterima dengan wajah bahagia.

"Olahraga, cuma lari kecil aja di taman." Riana menoleh sekilas, lalu menghabiskan roti selainya.

"Si Sari ke mana, sih? Aku suruh bangunin kamu malah hilang. Kebiasaan banget," gerutu Risa.

Riana menatap takjub. "Kamu nggak lihat Sari lewat?"

Kening Risa berkerut dalam. Kapan Sari lewat?

"Tadi aku minta tolong sisirin rambut. Terus ngobrol sebentar. Sekarang kayaknya udah balik ke dapur. Emang kamu nggak lihat?" tanya Riana.

"Nggak, langkahnya halus banget kayak jurig," komentar Risa, bercanda tentunya.

Riana tertawa. Ajaib sekali kalau Risa tak mendapati sang asisten lewat. Padahal jalan ke dapur hanya satu, yaitu melalui meja makan. Apartemen ini pun tidak begitu luas sampai mata Risa bisa luput pada satu orang.

"Kamu ngantor hari ini?" Riana melirik seragam sudah melekat di tubuh sang kakak.

"Iya, kerja di lembaga pemerintah, nggak sama kayak kerja sama papa sendiri. Emang dia, enak bisa libur sesuka hati," ketus Risa bertepatan dengan kemunculan Dimas.

"Nunjuk aja," keluh Dimas.

"Kan, aku nggak salah," balas Risa cepat.

"Nggak ada bedanya kali, aku libur bukan sesuka hati. Hanya waktu papa ada di restoran aja. Selebihnya, aku yang kerja!" protes Dimas tak terima dibandingkan

"Terserah kamu aja, Sayang." Risa menatap sinis.

Riana mengangkat bahu pertanda tidak peduli. Pemandangan ini sudah biasa terjadi setiap pagi--suami istri saling berdebat dan akhirnya tertawa bagai orang gila. Riana masih bisa sabar sampai menjadi istri Raditya beberapa saat lagi.

Dia memainkan tangan Dante, bocah itu hampir terlelap di atas kursi makan. Pikirannya melayang pada pertanyaan Sari tadi, tentang reaksi orang tua Raditya saat tahu putranya menghamili seorang gadis--padahal tidak.

Bagaimana kalau mereka justru ogah menurunkan restu karena sudah punya kandidat terbaik untuk anak semata wayang? Bukan tak mungkin mengingat keluarga Raditya orang terpandang.

"Jangan banyak pikiran! Bahaya kerasukan pagi-pagi, malas ngurusnya!" tegur Risa sambil memberikan roti lagi.

"Iya, Sa. Makasih." Riana melahap roti kedua, Risa tahu sekali perutnya masih lapar.

Karma Riana [Tamat]Where stories live. Discover now