17. Dihina Saudara

120 13 0
                                    

Senam kehamilan menambah kegiatan baru di hidup Riana. Ia suka berada di sana. Ada banyak hal baru yang bisa Riana pelajari, yakni belajar berinteraksi dengan baik dan mencoba bercanda bersama ibu-ibu hamil lainnya--hal yang tak pernah Riana lakukan selama hidupnya.

Demi melihat itu semua, Risa menjadi lebih sering mengosongkan waktu untuk mengantar Riana. Tidak seperti biasanya, hari ini Risa mengajak Riana berbelanja bersama di mall sepulang dari tempat senam.

Mumpung Dante dijaga Sari serta Dimas sibuk bekerja, momen ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Sudah lama mereka tidak menghabiskan waktu berdua. Lucky Square Mall menjadi sasaran quality time keduanya.

Risa dan Riana memilih jalan-jalan terlebih dahulu sambil melihat barang bagus mana yang harus dibeli. Mereka tidak mau kalap, sebab nanti setelah dibeli pasti tidak dipakai. Bukannya apa, tidak hanya lemari yang penuh sesak, hisab di akhirat pun semakin berat.

Begitu sampai di toko sepatu pria, Risa berhenti. Riana ikut berhenti dan menatap kakaknya dengan tatapan bingung.

"Kenapa, Sa? Kamu mau beliin Kak Dimas sepatu?" tanya Riana.

"Bukan, kamu ingat nggak sama satpam apartemen, Kang Joko sama kawannya? Sepatu mereka udah pada jelek. Beliin, yuk? Paling kasihan sepatunya si Joko. Aku tahu gaji mereka lumayan, tapi kayaknya mereka berdua sama-sama mendahulukan kepentingan keluarga," ucap Risa serius.

Riana mengangguk paham saat teringat pada dua satpam apartemennya. Sama-sama berkulit putih, berbadan tegap, tapi tidak didukung penampilan yang memadai.

"Sama jaket juga, Sa. Kalau malam, pasti kedinginan. Aku juga jarang lihat mereka pakai jaket. Paling sweater tipis. Nanti kita beliin makan juga, deh. Ayam bakar yang di dekat apartemen kita, tuh, paling enak."

Akhirnya, dua pasang sepatu serta dua jaket berhasil dibeli. Tidak penting memberi hadiah apa dan kepada siapa. Asalkan ikhlas, semua akan dilihat oleh Allah.

Satpam-satpam itu sangat berjasa menjaga keamanan apartemen. Setiap ada sesuatu, masalah keran bocor misalnya, keduanya selalu sigap membantu. Apartemen Risa tidak pernah kemalingan.

Jadi, menurut Risa dan Riana tidak ada salahnya membelikan hadiah. Tidak perlu bernilai mahal.

Biasanya, orang akan selalu mengenang barang atau apapun benda pemberian tak disangka-sangka ketimbang dari seseorang yang memang diharapkan. Memberi saat butuh lebih bernilai daripada saat ingin. Memang begitu konsepnya.

"Sini, aku pegang belanjaannya," pinta Risa sembari menarik paksa tas-tas belanjaan dari tangan Riana.

"Sabar bisa kali, Sa," gerutu Riana.

Kelakuan Risa selalu brutal. Tak pernah terlihat sikap lemah lembut darinya. Bahkan dengan Dimas saja suka seenaknya. Apalagi dengan Riana.

Mereka kembali berjalan mengitari mall. Menghabiskan waktu berdua, saling bercanda, membeli jajanan yang Riana suka, dan berakhir di sebuah cafe untuk makan siang.

Riana menatap perutnya. Di dalam sana, ada janin sedang berkembang. Sebentar lagi dia akan menjadi seorang ibu. Siapa sangka cara Allah memberikan dirinya keturunan berbeda dengan orang lain. Tanpa suami, tanpa ikatan pernikahan yang sah.

Risa menyenggol tangan Riana. "Mulai sekarang, terima kehadiran dia. Jangan menolak terus-terusan. Jangan ngebatin yang nggak-nggak. Nanti perkembangannya nggak bagus. Terus dia sembunyi dari penglihatan orang-orang."

"Sembunyi?" beo Riana.

"Pada kasus yang sama, banyak dari mereka yang perutnya biasa aja. Nggak kelihatan buncit. Tahu-tahu lahiran. Kamu mikir nggak, kenapa bayi segede itu bisa nggak kelihatan?"

Karma Riana [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang