13. Teman

113 11 0
                                    

Mata Riana berkedip cepat. Sepertinya Tuhan mendengar keluhannya barusan, lalu mengirimkan salah satu hamba-Nya agar Riana tidak kelihatan seperti orang bodoh di sini.

Masalahnya, Riana tidak kenal siapa gadis ini. Tiba-tiba datang, dan menanyakan kebenaran tentang nama Riana. Dia jadi sedikit gugup.

"Benar nggak, sih? Kalau salah aku malu. Kalau iya, kamu ingat aku nggak?"

Bagus, ini adalah kesalahan besar karena Riana tak pernah mampu mengingat nama orang dengan baik, apalagi bila jarang bertemu.

Bisa saja gadis berambut bob ini teman semasa sekolah, kuliah, atau justru tak sengaja berpas-pasan di tempat umum lalu saling bertukar kartu nama.

Sebagai jawabannya, Riana tersenyum saja. Dia bingung mau jawab apa selain, "Iya, aku Riana."

"Tuh, kan. Aku pasti nggak salah orang. Kamu benar-benar Riana. Masih ingat aku, kan?"

Tangan gadis itu disemprot pakai cairan pembersih sebelum terulur ke hadapan Riana.

"Maaf, tapi aku nggak ingat."

Lebih baik, Riana berkata jujur saja daripada nanti tambah ribet. Setidaknya, mereka bisa berkenalan ulang kalau otaknya memang tak memberi informasi apapun mengenai dia.

Tawa renyah mengudara, menciptakan suasana hangat di sekitar Riana. Gadis ini pandai menarik perhatian, juga mumpuni dalam menyamankan suasana dengan caranya.

Riana melakukan hal yang sama, menyemprot tangan menggunakan cairan anti kuman dan menyambut uluran tangan dia. Kasihan terlalu lama dibiarkan menggantung bebas di udara. Nanti bisa kesemutan.

"Udah aku duga kamu pasti lupa sama aku!" pekiknya heboh.

"Maaf," kata Riana.

"Aku Dara. Teman sekelas kamu waktu di SMA. Aku selalu duduk tepat di belakang kamu. Ya, nggak heran, sih, kalau kamu lupa. Selama sekolah kesibukan kamu cuma sebatas kelas dan pustaka aja. Nggak pernah mau gaul sama kita-kita."

"Dara?" Kening Riana berkerut dalam.

"Iya, aku Dara. Dulu rambut aku sepunggung, tapi karena kuliah di Jakarta dan gak tahan panas. Akhirnya, aku pangkas jadi begini. Ya,  akhirnya malah nyaman."

Persetan dengan gaya rambut, masalahnya Riana mendadak amnesia pernah punya teman sekelas seperti Dara. Apa dia benar-benar ada, atau hanya karangan semata?

Riana menggeleng samar. Mana mungkin mengarang. Dara menyebutkan namanya dengan baik dan mengenal Riana. Dia berbicara dengan nyaman, tanpa rasa canggung sedikitpun.

"Ya udah, nggak usah dipikirkan. Yang penting, aku tahu kamu Riana walau kamu nggak tahu aku Dara."

"Ah, iya. Maaf, ya?"

"Nggak masalah."

Riana tak tahu barusan itu canda atau sindiran. Ia sama sekali tak ingat pernah sekelas dengan orang bernama Dara. Teman sebangku saja lupa. Toh, yang mengatur tempat duduk bukan dirinya, melainkan wali kelas.

Namun, daripada suasananya berubah menjadi kaku, Riana memilih mengangguk-angguk saja.

"Maaf, ya, kalau aku nyinggung perasaan kamu. Kalau kamu kenal aku, kamu pasti tahu aku selalu ngomong apa adanya. Nggak ada maksud buat nyakitin atau apa. Dari dulu aku emang begini." Dara mengklarifikasi sikapnya saat melihat wajah Riana speechless dan agak murung di waktu bersamaan.

"Ya?" Riana kaget. "Nggak masalah. Orang selalu punya karakter tersendiri."

Hampir satu jam Riana dibiarkan terdiam macam sapi omong demi mendengar rentetan cerita Dara, mulai dari zaman purba sampai ketika aksara ditemukan. Balik lagi ke zaman Kutai sampai Islam datang berkembang. Ngalor-ngidul ke mana-mana.

Karma Riana [Tamat]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora