DUAPULUHSEMBILAN

5.8K 485 4
                                    

Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia.

Ali bin Abi Thalib.

Beda dengan Shaqira dan ustadz Abi yang tengah menikmati senja, ustadzah Aisyah tengah berada di lantai atas biasanya tempat ini dijadikan sebagai tempat sesi curhat dan berkeluh kesah santriwati, lebih tepatnya tempat menjemur pakaian. Ia membaringkan tubuhnya di lantai tanpa alas memandang langit yang dipenuhi bintang yang saling menunjukkan cahaya terbaiknya. Pandangannya tak pernah berpindah dari sang rembulan, mengibaratkan dirinya satu dari jutaan bintang yang mengelilingi sang rembulan siapalagi kalau bukan ustadz Abi. Banyak yang mengangumi seorang ustadz Abi baik dari segi nasab dan keilmuan yang dimiliki. Ditambah lagi dengan bonus wajah yang ganteng dari Allah. Namun ia tidak terlalu mementingkan itu yang membuat dirinya menyukai ustadz Abi dari segi keilmuan yang dimilikinya. Wajah akan berubah seiring bertambahnya usia. Aku bisa bersaing dengan semua orang yang menyukaimu akan tetapi aku akan kalah dengan orang yang tertulis di lauhul mahfudzmu.

Ini semua salahnya, Allah tidak melarang hambanya mencintai seseorang selama itu masih ada batasan. Allah sangat mencemburui hamba yang terlalu mencintai ciptaannya. Dalam mencintai tidak ada kata pengungkapan sebelum ingin menikahinya, cinta seseorang akan terbukti saat ijab qobul sudah diucapkan. Tak terasa air matanya menetes, tidak apa menangis jika itu yang membuat beban terasa berkurang, sekuat-kuatnya orang pasti pernah yang namanya menangis.

"Assalamu'alaikum," ucap ustadzah Ika yang melihat ustadzah Aisyah, sudah ia duga pasti disini tempatnya.

"Wa'alaikumussalam," balas ustadzah Aisyah. Bangun lalu duduk disamping ustadzah Ika.

"Sendirian aja neng," goda ustadzah Ika sambil terkekeh pelan.

"Gak kok."

"Lah sama siapa?" tanyanya bingung celingukan melihat tidak ada orang.

"Itu," jawab ustadzah Aisyah mengangkat dagu, yang terlihat bayangan dirinya dari cahaya sang rembulan.

"Kirain siapa," ucap ustadzah Ika yang terlihat kesal, melihat itu ustadzah Aisyah tersenyum tanpa tampang dosanya.

"Gitu dong senyum."

"Walaupun aku harus tersakiti," sambung ustadzah Ika dramatis.

"Bisa aja ustadzah," balas ustadzah Aisyah terkekeh.

"Aisyah!"

"Iya."

"Jangan sedih lagi ya, selain ini balasan dari Allah karena kamu terlalu membuat ia cemburu, mungkin ada do'a seseorang yang lebih kuat terdengar di langit daripada do'a-do'a yang telah kamu lantunkan," ucap ustadzah Ika dengan lembut.

"Iya, aku menyesal terlalu berharap pada ciptaannya. Aku sedang berusaha untuk mengikhlaskan semua ini, walaupun butuh waktu," balas ustadzah Aisyah terdengar suara penyesalan yang amat mendalam, ia juga sempat mengusap air matanya yang luruh.

Ustadzah Ika mendekap tubuh ustadzah Aisyah erat, menyalurkan kekuatan. Hanya ini yang bisa ustadzah Ika berikan. "Makasih udah selalu ada."

"Gak usah ngomong gitu!" ustadzah Aisyah dengan ustadzah Ika sudah seperti perangko dimana ustadzah Aisyah berada disitu juga ustadzah Ika berada.

Assalamu'alaikum, Ust Galak! (END)Where stories live. Discover now