Part 13 | Maaf

4K 394 19
                                    

Sebelumnya mau ngucapin
Selamat menunaikan ibadah puasa ramadhan..
Mohon maaf lahir dan batin..

Bagaimana tarawih pertamanya? Atau mungkin malam ini sudah tarawih kedua? Lancar??

Alhamdulillah..

Selamat membaca semuanya...

•••

"Anum!" Hussein berusaha menahan tangan Shanum yang hendak menutup pintu kamarnya. Gadis itu mendengus kecil namun tetap membukakan pintu untuk Hussein. "Saya minta maaf, jangan ambil hati ucapan Budhe Rani, ya?"

Shanum tertawa getir. Tidak ambil hati?  Hussein sudah gila.

Sepanjang malam ini, Shanum berusaha menahan mati-matian rasa malunya. Entah kemana harus ia letakkan wajahnya ketika semua orang menikmati makan malam tadi. Apalagi beberapa saudara terlihat secara terang-terangan memperhatikan Shanum. Bahkan Shanum yakin mereka sedang membicarakan, bahwa Shanum tidak pantas bergabung dengan keluarga mereka.

"Saya tahu, saya bukan berasal dari keluarga baik-baik seperti kalian. Orang tua saya bukan orang-orang alim seperti kalian. Tapi apa hak kalian buat permalukan saya di depan semua orang? Sopan kah seperti itu?" tanya Shanum tajam.

"Dengar Mas Hussein yang terhormat. Saya, tidak pernah meminta untuk jadi istri anda. Anda yang mengutus kedua orang tua anda untuk melamar saya pada kedua orang tua saya."

Tak ingin mendengar balasan Hussein, Shanum menutup pintu kamarnya, namun belum tertutup seluruhnya ia kembali berujar, "Dan satu lagi. Mana pembelaan anda terhadap saya? Anda suami saya, kan? Lalu kenapa anda diam saat istri anda dipermalukan, huh? Lucu sekali."

Setelah itu Shanum benar-benar membanting pintu kamarnya dengan keras hingga Hussein terperanjat. Lelaki itu menutup matanya, menghirup napas panjang dan melepaskannya perlahan. "Shanum, saya minta maaf. Saya memang salah, salah besar. Kamu benar, saya tidak akan membela diri karena saya tau saya salah. Maafkan saya Shanum. Tolong maafkan saya."

Dari dalam kamarnya, Shanum mengerang kesal. Bukan hanya pada Budhe Rani tapi juga pada Hussein. Mengingat bagaimana wajah Hussein yang hanya terdiam di sampingnya, tanpa berniat membelanya sedikit saja.

"Kalau memang kalian tidak suka dengan saya, kenapa harus nunggu 100 hari buat lepasin saya?"

Dibalik pintu, Hussein menegang mendengar ucapan Shanum. Sungguh, ia tidak siap. "Tidak Num. Saya tidak akan lepaskan kamu. Maafkan saya Num. Maaf."

"Sudahlah. Mas balik ke kamar saja, Saya mau tidur." Shanum menyembunyikan dirinya di balik selimut. Hussein masih setia berdiri, masih enggan beranjak dari sana. Entah berapa lama ia berdiri di sana sampai akhirnya ia menyerah dan kembali ke kamarnya.

Hari ini, setelah selesai bimbingan Shanum berniat untuk langsung pulang. Nora sedang pulang ke kampung, sedangkan Tari sedang wawancara kerja di salah satu perusahaan. Jadi Shanum tak memiliki alasan untuk tetap berada di kampus.

Seperti biasanya, lorong-lorong gedung jurusan di penuhi lalu lalang mahasiswa. Baik yang baru mau masuk kelas ataupun yang baru saja menyelesaikan kelasnya. Langkah Shanum terhenti begitu berpapasan dengan Faruq yang baru saja keluar dari kelas. Lelaki itu tersenyum hangat seperti biasanya.

"Shanum?" sapanya.

Shanum balas tersenyum dan segera berlalu. Sejujurnya Shanum masih malu dengan insiden semalam, apalagi Faruq menyaksikan semuanya. Tapi Faruq malah mengekor di belakangnya.

"Buru-buru?" Tanya Faruq menghentikan langkah Shanum.

"Ada apa ya Pak?"

"Saya mau mewakili kelurga minta maaf sama kamu atas perkataan Budhe Rani semalam."

Shanum tidak menjawab, hanya menimpali dengan seulas senyum tipis.

"Maaf juga karena sikap kami yang tidak membela kamu. Bukan kami tidak ingin, tapi kami semua paham bagaimana watak Budhe Rani, semakin di lawan, semakin menjadi perkataannya. Itu kenapa semua orang memilih untuk diam."

Shanum mengangguk, ia sudah tidak ingin memikirkan kejadian semalam. Baginya, tidak bertemu Budhe Rani kedepannya itu sudah cukup. Ia tidak ingin ambil pusing dengan kata-kata orang tentang dirinya.

"Jangan diambil hati, ya?"

Shanum tertawa. Ia menghentikan langkahnya dan memutar tubuh menghadap Faruq. "Ambil hati? Lah, ini Shanum pak, itu bukan gaya saya."

Faruq terkekeh mendengar jawaban Shanum. Shanum ikut tersenyum. Walaupun apa yang didapatinya tadi malam sangat melukai perasaannya, tapi Shanum tidak ingin terlalu larut dalam masalah ini.

"Kamu mau pulang?" Tanya Faruq. Shanum mengangguk singkat. Ia ingin istirahat di rumah sembari menonton drama Korea yang sempat viral belakangan ini.

"Oh, saya masih ada kelas," ujar Faruq.

"Lah, terus Bapak ngapain ikutin saya sampai sini?" tanya Shanum ketika sadar mereka sudah sampai di pintu utama gedung fakultas. Faruq tertawa malu sambil menggaruk pelipisnya yang tiba-tiba gatal. "Bapak ini aneh, ya sudah, sana Bapak kembali."

Faruq segera pamit menuju kelasnya. Sedangkan Shanum tidak bisa menyembunyikan senyumannya. Sungguh, wajah Faruq dengan senyum malu itu terlihat lebih tampan. Ahh, Shanum malah jadi senyum-senyum sendiri memikirkan senyuman Faruq.

Shanum memarkirkan motornya di samping Pajero sport berwarna abu metalik milik Hussein. Ia sudah tidak heran lagi jika menemukan mobil suaminya itu di jam-jam seperti ini di rumah. Jangan bayangkan Hussein itu adalah CEO-CEO seperti di novel-novel, yang menghabiskan hampir seluruh waktunya di kantor. Tidak, Hussein tidak seperti itu.

Lelaki itu terlihat santai saja. Shanum tidak tau apa pekerjaan pasti suaminya itu. Yang ia tau, beberapa kali Hussein mengisi beberapa seminar atau ceramah seperti yang dilakukan Abahnya.

Shanum menghempaskan tubuhnya di atas sofa single di depan televisi. Ia tidak menemukan keberadaan Hussein di ruangan itu, padahal biasanya Hussein akan bersantai di sana sambil memainkan tabletnya.

"Mbak Nana?" Hening, tak ada sahutan. Padahal biasanya Mbak Nana akan mengantarkan segelas air untuk Shanum setiap kali ia kembali dari luar. "Mbak Nana?" Panggilnya sekali lagi, tapi masih tidak ada sahutan.

"Wuih, suami gue di rumah kan ya? Wah, jangan-jangan?" Shanum segera bangkit dan bergegas menuju dapur.

Nihil, tetap tidak ada orang. "Mbak Nana?" panggilnya lebih keras.

"Mbak Nana nggak ada, sudah pulang dari tadi," jawab sebuah suara dari arah taman belakang. Halaman yang tidak terlalu luas namun cukup segar dengan beberapa tumbuhan.

Shanum mendengus kecil ketika mengenali suara itu. Tapi entah mengapa kini ia melangkah mendekati sumber suara.

"Apa ini?" kaget Shanum ketika mendapati sebuah meja bundar dan beberapa menu makanan yang terhidang di atasnya.

"Mas minta maaf atas kebodohan Mas semalam. Sejak semalam Mas tidak bisa tenang, tolong maafkan Mas, Num."

Shanum menarik napas panjang kemudian mengambil tempat duduk di salah satu kursi. "Makanan ini untuk di makan, kan?"

Hussein mengangguk lantas mengikuti Shanum untuk duduk di kursi depan gadis itu. Tanpa di suruh, Shanum menyantap makanan dengan tema seafood yang sudah di pesan Hussein. Kebetulan sekali Shanum belum makan siang.

"Jadi Mas sudah dimaafkan?" Intrupsi Hussein. Shanum menghentikan kunyahannya, melirik kecil lantas mengangguk. Hussein tersenyum lebar dan mengikuti Shanum menyantap hidangan.

•••

Kalian maafin Hussein dan Shanum juga nggak??

Masih mau dilanjut kan ya?

Berikan vote jika kalian suka cerita ini

With Luv, Mira

100 Hari Bersamanya [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang