Part 25 | Waktuku terus berjalan

3.8K 371 18
                                    

Sebagai manusia, kita tidak akan pernah tau bagaimana kehidupan kita berjalan. Seperti halnya hidup Shanum, siapa yang menyangka ia akan menjadi istri Hussein sedangkan dulu ia begitu memuja Faruq. Lalu ketika hatinya baru saja berdamai dan bersedia menerima Hussein, lalu masalah seperti ini di hubungan mereka. Sudah seperti terjun dari ketinggian.

Ingin marah tapi Shanum sadar ia tak punya hak untuk itu. Ia hanya bisa ridho menjalani ujian yang tengah menimpa rumah tangganya.

"Melamun apa sore-sore begini Num?" Faruq yang baru saja pulang dari mengajar mengambil tempat duduk di kursi pantry. Shanum yang sedang mencuci bekas memasak tadi siang hanya tersenyum kecil.

"Ah, ndak melamun kok Mas. Masa Anum harus konser sambil cuci piring," jawab Shanum. Faruq tertawa kecil. "Mas butuh sesuatu?"

Faruq menggeleng, ia menarik sebuah kursi di meja makan untuk tempat duduknya. "Bu Efi nanyain kamu tadi, bimbinganmu lancar?"

Shanum mengangkat sedikit kepalanya. Sejak Hussein sakit ia sering kali bolos bimbingan. Ia juga mulai jarang menyentuh laptopnya.

"Kamu harus tetap fokus ya Num. Untuk Hussein, kamu nggak sendirian, kami di sini."

"Makasih Mas. Doakan Shanum supaya bisa sidang akhir bulan ini ya?"

"Tentu saja."

"Num?" Suara sedikit serak itu memotong obrolan Shanum dan Faruq. Hussein melangkah mendekat. Lelaki itu masih sama seperti dua hari lalu, warna kuning masih membayang di kulit dan juga matanya.

"Baru pulang Mas?" Sapa Hussein pada Faruq yang masih duduk di kursi meja makan.

"Iya Sein."

Hussein ikut mengambil tempat duduk di samping saudaranya itu. Lalu keduanya asyik mengobrol. Entah berapa lama kakak beradik itu tidak bisa mengobrol seperti ini. Baru saja Shanum akan beranjak pergi, Hussein terlebih dahulu memanggilnya.

"Temani Mas jalan-jalan, yuk!"

"Tapi kan Mas lagi sakit, mau jalan-jalan kemana?" Tolak Shanum. Padahal dokter sudah melarangnya banyak gerak. Bahkan Hussein seharusnya harus istirahat total. Tapi Hussein tetaplah Hussein, dari kecil ia tidak terbiasa hanya rebahan di atas kasur seperti yang ia lakoni beberapa hari terakhir.

"Tidak apa Num, asal jangan sampai kelelahan saja." Faruq memberi saran begitu ia bangkit dari kursi yang didudukinya.

Shanum menghela napas pasrah sembari menuntun Hussein untuk berjalan-jalan sore itu.

"Melihat langit seperti ini, Mas rasanya baru saja keluar dari penjara, Num," celoteh Hussein begitu mereka sampai di taman tak jauh dari rumah orang tua Hussein. Tempat itu ramai oleh pemuda yang sedang berolahraga, dan juga keluarga yang ingin menghabiskan sore bersama anak-anak mereka.

"Lah, biasanya kan Mas juga lihat langit dari balkon atau halaman belakang?" tanya Shanum heran. Seperti yang sudah Shanum katakan, Hussein tak pernah betah berada di kamarnya. Baru beberapa menit Shanum tinggal, lelaki itu sudah bermutasi ke balkon kamar untuk bertadarus, atau sekedar minum teh di halaman belakang.

"Beda Num."

"Beda dari mananya? Langit di balkon, langit di halaman belakang, sama langit di sini itu masih langit yang sama Mas," kekeuh Shanum.

Hussein menghela napasnya, "tapi suasananya beda."

Kali ini Shanum yang menghela napas. "Ya udah, sebahagia Mas aja deh."

Hussein terkekeh geli dengan wajah pasrah Shanum. Matanya menatap istrinya itu dengan penuh puja. Mencoba mengingat setiap detail di wajah Shanum tanpa ada yang terlewati.

"Lihat jalan Mas! Kalau ada batu atau lobang nanti jatuh," ujar Shanum yang mulai risih dengan tatapan Hussein. Tapi lelaki itu hanya tersenyum tipis tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun. "Ih, Mas... Ada apa sih?"

Kali ini Hussein memutar kepalanya ke arah depan. Bukannya merasa tenang, Shanum malah merasa semakin penasaran. "Kenapa sih Mas?"

"Hmm—" Hussein menoleh, satu tangannya terulur untuk mengusap kepala Shanum. "Rambut kamu terlalu indah untuk di lihat orang-orang."

Shanum terdiam. Tangannya meraih ujung rambutnya yang diikat ekor kuda sore itu. Sebenarnya Shanum merasa bersalah dengan pernyataan Hussein, tapi ia juga tidak tau harus berbuat apa dengan perasaannya.

Sore itu Shanum di kagetkan dengan wajah pucat Hussein yang baru saja keluar dari kamar mandi. Shanum yang baru saja kembali dari kampus setelah bimbingan tentu saja panik. Pasalnya, ketika ia meninggalkan Hussein tadi siang, lelaki itu masih baik-baik saja.

"Mas cuma pusing Num," ucap Hussein menenangkan.

Bagaimana Shanum tidak panik. Mendengar Hussein muntah-muntah di kamar mandi ditambah wajah kekuningan pucat itu. Apalagi kini Hussein mengeluh perutnya terasa perih.

"Kita ke rumah sakit, ya?"

"Nggak usah Num. Minum obatnya aja," tolak Hussein.

Shanum tidak bisa memaksa, bahkan ketika Umi dan Abah sudah turun tangan meminta Hussein ke rumah sakit pun lelaki itu tetap menolak. "Harusnya kemaren Anum larang Mas untuk keluar, jadi begini kan akhirnya."

"Nggak ada sangkut pautnya Num. Memang Mas yang sakit."

"Ya tapi kalau kemaren Mas tetap istirahat dan nggak kecapekan pasti perut Mas nggak bakal sakit seperti ini."

Sudah hampir dua minggu lamanya, tapi tak ada perubahan sedikitpun pada Hussein. Bahkan perih di perutnya makin sering terasa. Obat-obatan yang diberikan dokter seperti tak ada efeknya bagi Hussein. Segala obat herbal saran keluarga pun sudah di coba, tapi masih tak ada perubahan.

"Faruq rasa kita harus bawa Hussein ke rumah sakit yang lebih besar Umi, Abah. Mungkin bukan di sini obatnya. Faruq ada kenalan dokter penyakit dalam di rumah sakit pusat, Faruq akan buat janji untuk Hussein periksa di sana."

Hussein tak bisa menolak kali ini. Ia sendiri pun sadar, kalau berobat adalah salah satu kewajibannya ketika di timpa sebuah penyakit.

Sepanjang malam itu Hussein tak pernah tidur dengan lelap. Sebentar ia keluar kamar, sebentar beranjak ke balkon. Shanum yang melihat itu hanya bisa keheranan.

"Panas, Mas nggak bisa tidur." Padahal malam itu hujan turun cukup deras. Pendingin di dalam kamar pun di atur pada suhu rendah, tapi Hussein tetap kepanasan.

Entah apakah lelaki itu tidur semalam atau tidak, karena begitu Shanum terbangun di kala subuh, Hussein masih terduduk diam di sampingnya. Wajah lelaki itu tidak begitu jelas, karena hanya ada pencahayaan temaram dari lampu tidur.

"Mas kenapa?"

"Perut Mas sakit." Kali ini Shanum bisa mendengar nada sakit di balik suara Hussein. Selama ini Hussein terus berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Memendam sakitnya seorang diri.

"Kenapa nggak bangunin Anum?"

"Tidurmu lelap, Mas nggak enak bangunin. Lagian sekarang sudah baikan."

Shanum hanya bisa diam. Namun otaknya bekerja dua kali lipat. Benarkah hanya ini penyakit Hussein? Tapi kenapa ia terlihat begitu kesakitan?

•••

Udah kebaca belum gimana kedepannya?

Tapi masih mau lanjut kan ya?

Berikan vote dan komen jika kamu suka cerita ini!!

With Luv, Mira

100 Hari Bersamanya [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang