Part 23 | Luka Itu Berawal Dari Sini

5K 413 22
                                    

Seharian ini, rasanya tidak ada satupun pekerjaan Hussein yang beres. Apapun yang disentuhnya akan berujung berantakan. Entah karena tubuhnya yang terasa lemah atau karena pikirannya yang sejak tadi tertuju pada Shanum. Gadis itu masih menjauh darinya sejak kejadian semalam.

Kepalanya terasa berat sekali ketika Hussein memutuskan untuk menyingkir ke ruangannya. Entah apa yang salah dengan tubuhnya kali ini. Hussein akui pertahanan tubuhnya cukup lemah, tak jarang ia jatuh sakit cuma karena kelelahan, tidak seperti orang-orang di sekelilingnya. Tapi hari ini rasanya berbeda, ada yang aneh.

"Antum baik-baik saja?" Ikram baru saja muncul dari balik pintu. Lelaki itu sudah menyadari hal aneh dari sahabatnya itu. Sejak mengenal Hussein, ia tau lelaki itu memang sering jatuh sakit.

"Kepala Ana sedikit berat," jawab Hussein.

"Pulang saja Sein, Ana yang akan urus di sini."

Hussein menatap Ikram ragu, namun tak urung menuruti perkataan Ikram. Hussein memilih pulang dengan taksi, ia takut terjadi apa-apa jika ia nekat menyetir mobil nantinya.

Baru sampai di rumah, bukannya tenang Hussein kembali di buat panik dengan koper-koper Shanum yang berserakan di pintu kamar gadis itu. Tak lama gadis itu kembali muncul dengan kardus berukuran sedang ditangannya. Pikiran Hussein langsung kacau, ia kembali teringat akan perdebatannya tadi malam dengan Shanum. Apa gadis itu masih marah?

"Mau kemana Num?"

Hussein menatap ngeri pada barang-barang Shanum. Gadis itu tidak berniat meninggalkannya, kan?

"Lah, kan Mas Hussein yang nyuruh Anum buat pindah ke kamarnya Mas, ya Anum pindahin lah barang-barang Anum," jawab Shanum, "Atau Anum nggak boleh pindah?"

"Eh, bukan gitu maksud Mas," jawab Hussein panik. "Ya sudah, sini Mas bantu bawa."

"Kok Mas udah pulang jam segini?" Hussein yang baru saja menyentuh gagang koper Shanum yang berada tak jauh darinya memilih diam sejenak sebelum menjawab pertanyaan Shanum.

"Mas kurang enak badan."

Mendengar itu Shanum langsung menghentikan gerakan Hussein. Matanya menyipit memperhatikan wajah Hussein yang memang terlihat lebih pucat dari biasanya. "Mas sakit? Udah, sana istirahat aja. Mau Anum buatkan sesuatu?"

"Nggak apa-apa, Mas angkat ini dulu baru istirahat."

"Ini bisa nanti-nanti kok." Shanum mendorong tubuh Hussein memasuki kamarnya. "Anum buatkan sesuatu dulu, Mas istirahat aja. Kalau butuh sesuatu panggil Anum aja, ya."

Hari itu Shanum benar-benar merawat Hussein dengan baik. Sepanjang malam ia berada di sisi Hussein, berjaga-jaga jika ternyata Hussein membutuhkan sesuatu atau tidak nyaman dalam tidurnya. Shanum merasa selama ini terlalu mengabaikan Hussein, jadi ia tidak ingin melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya.

Sudah empat hari ini kondisi Hussein naik turun. Tapi setiap kali Shanum mengajak ke rumah sakit, setiap kali itu pula Hussein menolaknya. Hussein rasa ia hanya demam seperti biasanya. Minum obat penurun demam saja rasanya sudah cukup.

Setelah mendekam selama empat hari di kamar, karena Shanum benar-benar tak mengizinkannya bergerak sedikitpun, akhirnya Hussein memutuskan untuk mencari udara segar. Tubuhnya terasa lebih segar dari sebelumnya, walau masih terasa lemah. Kebetulan hari ini mertuanya juga datang berkunjung.

"Ayah dan Ibu belum sampai?" sapa Hussein pada istrinya yang sedang menyiapkan meja makan.

"Tadi katanya sudah hampir sampai."

Hussein mengangguk, "Mas ke taman belakang, ya. Nyari udara segar."

"Ya," balas Shanum. Perempuan itu masih sibuk menata makanan bersama Mbak Nana.

Hussein memilih duduk di salah satu kursi kayu yang ada di teras belakang. Udara dari tanaman hias yang ditanam uminya terasa segar disiang yang cerah ini. Suara air dari akuarium kecil di sudut teras menambah kesan sejuk.

Hussein terlalu asik menikmati udara sampai tidak sadar jika kedua mertuanya sudah berada di belakangnya. Ia segera bangkit dan menyapa mertuanya itu. "Gimana kabar Ayah dan Ibu?" tanya Hussein berbasa-basi.

"Alhamdulillah Ayah dan Ibu baik. Kamu gimana? Udah baikan? Ibu dengar kamu sakit."

"Alhamdulillah sudah lebih baikan Bu."

Selagi dua orang itu sibuk berbincang, Bagas-ayah Shanum terlihat asik memperhatikan Hussein. "Sein, kenapa wajahmu kuning?"

Dua orang itu langsung menatap heran pada Ayah, begitupun Shanum yang berada tak jauh dari mereka. "Num, coba kamu ke sini! Apa penglihatan Ayah salah? Wajah Hussein menguning."

Shanum mempercepat langkahnya, dan seketika itu ia merasakan aliran listrik di darahnya. Benar, wajah Hussein terlihat menguning begitupun dengan matanya. Pikiran Shanum kacau. Selama ini Hussein selalu berada di kamar dengan pencahayaan yang Shanum redupkan agar Hussein nyaman, sehingga ia tidak menyadari perubahan Hussein.

"Kita harus bawa Hussein ke rumah sakit Num, Ibu takut dia terkena Hepatitis."

Mulut Shanum terbuka tapi ia tidak tau harus berkata apa.

"Hussein tidak apa Bu," ucap Hussein mencoba menenangkan, apalagi melihat istrinya yang terdiam.

"Kali ini kita harus ke rumah sakit Mas, Shanum takut apa yang Ibu bilang benar, Mas harus dapat penanganan secepatnya, biar tidak tambah parah."

Hussein tak dapat lagi mengelak, karena jujur kini dirinya pun mulai merasa takut. Tapi ia juga tidak bisa membuat keluarganya panik.

"Bilirubin pasien tinggi, pasien harus di rawat inap."

Shanum menutup matanya, mencoba menenangkan pikirannya sendiri. Andai ia tau lebih awal, mungkin Hussein juga dapat penanganan lebih awal. "Apa parah Dok?"

"Untuk itu, kita perlu pemeriksaan lebih lanjut. Sekarang kita pindahkan pasien dulu ke ruang rawat, biar pasien bisa mendapat penanganan."

Setelah mengucap terima kasih, Shanum bergegas menemui Hussein. Selang infus sudah tertancap di lengan kirinya. Shanum rasanya ingin menangis saat ini juga.

"Mas harus di rawat ya?"

Shanum mengangguk kecil, berusaha untuk menahan air matanya.

"Sudah, tidak apa. Mas baik-baik saja kok, dua tiga hari lagi Insyaallah Mas udah pulang."

"Anum minta maaf Mas." Akhirnya tangis Shanum pecah juga, "harusnya Anum sadar lebih awal."

"Bukan salah kamu, ini ujian dari Allah, sayang."

"Tapi kalau Anum tau lebih awal, pasti Mas dapat penanganan lebih cepat."

Hussein meraih tangan Shanum kemudian menggenggamnya dengan erat, mencoba menenangkan Shanum. "Kita berdoa sama Allah, semoga Allah jadikan penyakit Mas ini penggugur dosa-dosa Mas."

Shanum mengangguk-angguk namun air matanya masih tak bisa berhenti. Sampai Abah dan Umi Hussein datang, Shanum masih menangis di samping Hussein.

•••

Hussein kenapa ya??
Ada yang tau Hussein sakit apa?

Dari part ini ke depannya akan menjadi part-part terberat. Bukan hanya untuk tokoh, tapi juga untuk aku sendiri sebagai penulis..

Semoga apa yang ingin aku sampaikan tersampaikan dengan baik kepada para pembaca..
Jangan bosan dengan cerita ini ya...

Jangan lupa juga berikan vote dan komen jika kalian suka cerita ini!!

With Luv, Mira

100 Hari Bersamanya [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang