BAB 1. Heavy Heart

87 30 309
                                    

"When you put your foot on mine, I could feel it last forever"

Kali ini musik yang dibawakan salah satu band dari Fakultas Teknik menjadi lebih slow, bahkan cenderung melow. Gadis itu menghentak-hentakan kakinya pelan sambil ikut sedikit mengeja liriknya.

"Sembuhkan lukamu yang membiru..."

Sebuah lirik pembuka yang seolah memberi harapan bahwa yang terluka pasti akan sembuh.

Gemerlap lampu panggung memenuhi pandangan gadis itu, tapi matanya hanya fokus pada satu titik. Laki-laki yang kini berdiri memunggunginya. Yang mengajari betapa klisenya jatuh cinta. Gadis itu lupa cinta itu banyak macamnya. Entah bagaimana ia bisa mendefinisikan cinta yang baik dan buruk itu seperti apa. Tapi yang pasti dia lupa sebuah perasaan yang tidak ada batasnya bisa bermuara pada rasa sakit yang luar biasa.

"Cek... cek... Korlap (koordinator lapangan) atur posisi, korlap bawah panggung barikade diperkuat. Keamanan posisi 03 siap-siap, transport cek clear area, acara komandokan PDD posisi center siap. Guest star masuk" mendengar komando dari HT-nya gadis itu bergegas masuk ke tengah kerumunan.

Gadis itu mematung cukup lama sambil meremas HT yang dipegangnya. Satu dua tetes peluh di wajahnya bercampur dengan air mata. Menyadari ada yang memperhatikannya, lelaki itu berbalik membuat perempuan yang sedari tadi bersandar di bahunya ikut membalikan badan.

"Oh... Hai Din" sapa lelaki itu sambil tersenyum lebar.

"Gimana penampilan Mas? Jauh lebih baik dibanding band yang barusan kan?" tanya nya sambil membenahi poni dan mengusap air mata Dinara.

"Mas kan udah bilang, kamu lebih cantik rambutnya diurai dibandingkan diikat. Sesusah itu buat nurut?" mata Dinara mendelik tajam ke perempuan di sebelah lelaki itu. Dia tersenyum tipis seolah mengejek Dinara.

Sebelah alis Dinara terangkat. Ia tak habis pikir akan reaksi lelaki di hadapannya "Dia siapa?" tanya Dinara sambil menunjuk perempuan yang rambutnya di cat biru kehitaman. Dinara mengatur kuat napasnya yang memburu dan mengendalikan suaranya agar tidak bergetar.

Alih-alih menjawab pertanyaan Dinara lelaki itu justru meraih tangan Dinara mengusapnya lembut, melepaskan kepalannya. Ia maju hingga jarak antara mereka hanya sejengkal. Ia tersenyum kemudian berbisik "Kenapa warna lavender? Harusnya maroon Din, kulitmu itu putih. Warna lavender ngga cocok buat kuku kamu"

"Dasar bajingan!" sentak Dinara sambil melempar HT ke wajah laki-laki itu membuat penonton lain ikut menoleh ke arah mereka karena jarak sebelum guest star masuk hanya diisi akustik tanpa vokal dari panitia sehingga teriakan Dinara cukup menggema di aula. Beberapa saling berbisik sedangkan yang lainnya sibuk mengeluarkan ponsel, sebuah bahan gibahan mahal untuk lambe turah universitas.

Dinara meremas rambutnya kuat kemudian menyanggulnya dengan pensil. Ia berlari tak tentu arah. Adakalanya kenyataan di depan mata terasa tidak nyata. Ia seolah sedang menonton film dari kaset yang ditarik paksa hingga kusut. Ia sadar betul memori akan lebih mudah mengembalikan rasa sakit daripada merekonstruksikan kebahagiaan.

Ingatannya melayang secara acak mengulang memori yang pernah mereka lalui, napasnya memburu, kepalanya pening. Berkali-kali ia mencongkel tenggorokannya dengan ujung jarinya, nihil. Tidak ada yang keluar. Seolah ada yang bergejolak dalam perutnya, ia ingin muntah. Ia merasa jijik terhadap dirinya sendiri. Berkali-kali ia merutuk dan memaki betapa bodoh dirinya. Ingatannya berlarian mengunjungi masa lalu.

"Din, coba tonton music video band mas. Menurut kamu kenapa pas di bagian lirik ini video langsung gelap terus ada refleksi kamu senyum sambil nutup mata padahal kamu bukan model video klipnya?" tanya laki-laki itu sambil memetik gitarnya.

Weak TiesWhere stories live. Discover now