14. Sick

155 14 0
                                    

Historia menempelkan plaster demam pada dahi seorang gadis yang duduk di meja makan dengan tak berdaya.

"Sebenarnya berapa banyak es krim yang kau makam, Rhea?" Tanya Hanji khawatir.

"Tidak banyak, kok." Jawab Rhea.

"Tidak banyak?"  Mikasa dan Levi membeo dengan nada jengah. Karena mereka tahu seberapa banyak Rhea makan es krim cake berkat voucher pemberian Levi.

"Padahal siang nanti kau akan bertanding." Ujar Erwin menyahut.

"Ini semua salahmu, Levi." Tuduh Mikasa.

"Aku?"

"Voucer sialanmu yang membuatnya sakit." Ucap Mikasa menyalahkan Levi lagi.

"Nafsunya sendiri yang membuatnya sakit, coba saja otaknya berfungsi." Ucap Levi kasar. Ia merasa kesal dengan keras kepala Rhea. Levi yakin, jika kepala di adu dengan batu, pasti batunya yang akan terluka.

"Apa aku baru saja di ejek memiliki otak tak berfungsi?" Tanya Rhea lebah tak berdaya namun nada bicaranya terdengar tidak terima.

Levi tak menjawab ucapan Rhea--- memilih fokus pada sarapannya. Rhea dengan tubuh sakitnya menatap Levi dengan nyalang.

"Mau tak mau, Armin akan terjun." Ucap Hanji.

"Apa dia mau?" Tanya Mikasa.

"Bagaimana dengan Petra?" Tanya Erwin.

"Kau ingat dia hamil? Tidak, aku tak akan mengambil resiko." Ucap Hanji.

"Lalu Rhea akan di gantikan dengan siapa?" Tanya Eren.

"Aku tak mau digantikan." Sahut Rhea.

"Kau demam, Rhea." Ucap Hanji.

"Hanji-sensei, aku mampu."

Semua orang menatap Rhea dengan khawatir. Kepalanya sekeras Levi, apa yang ia katakan akan ia lakukan. Itulah Rhea.

Dengan bantuan make up dari Hanji setidaknya Rhea tampak lebih baik ketika duduk di kursi peserta. Namun, tak berarti membuat yang lain tak khawatir.

Rhea mengusap wajahnya dengan tisu, keringat dingin terus berkucur sedari tadi membasahi pelipisnya. Tangannya terus bergerak--- bertarung dalam game berusaha memenangkannya.

"Make up-nya sampai luntur, Rhea sungguh tidak baik-baik saja." Gumam Hanji sangat khawatir.

"Biarkan saja Hanji, biarkan dia mempertanggung jawabkan sikap keras kepalanya." Sahut Levi menanggapi.

Pertandingan berakhir, Ackerman esport lanjut ke babak selanjutnya.
"Kali ini kau harus pulang, nona Othelyn." Tegur Mikasa.

Rhea mengangguk dengan senyum pasi.

"Kau per-- RHEA?!"

Gadis biru itu tersungkur dilantai tak sadarkan diri.





L O V E I N G A M E





Rhea tersadar ketika aroma obat-obatan menyerbu indra penciumannya. Matanya terbuka perlahan. Kemudian pening langsung menyerangnya.

"Aku akan panggilkan dokter."

Suara Levi adalah hal pertama yang ia dengar. Kepergian pria itu Rhea lihat secara samar-samar. Suasana sepi menyelimutinya. Saat Rhea mengedarkan tatapan matanya, dugaan-nya benar jika dirinya berada di rumah sakit.

Dokter datang bersama Levi yang memasang raut wajah suram? Memangnya Levi bisa memasang raut wajah lain? Rhea hanya diam saat diperiksa sang dokter. Dan memilih berbaring saat dokter itu menjelaskan apapun yang ia tak mengerti pada Levi setelah memeriksa kondisinya.

LA The Series : Love In GameWhere stories live. Discover now