Cemaskan si Putri Kecil

5 0 0
                                    

Rindu–mama Andrea tampak gusar, seolah-olah ada yang dipikirkan. Ketika salah satu ART menawarinya makan dia tidak berselera. Bahkan untuk menelan segelas air mineral pun susah. Wajah anak bungsunya seakan-akan menari di dalam pikiran, kemudian dia memutuskan untuk menelepon anak sulungnya.

"Halo, assalamualaikum, Nan." Suara Rindu terdengar tegang.

Nan yang menerima telepon menjadi cemas ketika mendengar suara sang mama yang tidak biasa dari seberang.  "Waalaikumsalam, ada apa, Ma? Mama kok kayak panik gitu? Ada sesuatu sama Oma?"

"Oma sudah lebih baik, kok. Ini, loh,Mama tiba-tiba kepikiran sama Andrea, coba, deh, kamu lihat di sekolahnya," pinta Rindu.

"Mama sudah coba telepon?"

"Udah, Nan, tapi nggak diangkat. Nggak biasanya, loh, Andrea seperti ini." Rindu benar-benar panik, kebiasaan yang satu ini memang sedikit berlebih. Menelepon putra-putrinya sehari tiga kali menjadi bentuk keharusan. Tidak heran jika sekali saja tidak ada jawaban, dia menjadi gelisa serta gusar.

"Oke, Nan coba cek di sekolahnya, ya. Mama jangan panik." Nan mencoba menenangkan mamanya yang sedang berada di rumah Oma. Takut kalau menambah beban pikiran orang tua.

Klik

Telepon pun terputus, segera Nan menuju ke sekolah. Beruntung jalanan tampak renggang, memudahkan Nan sampai ke tujuan. Dia kini sudah memasuki halaman sekolah. Kemudian memarkir mobilnya dan turun dengan tergesa-gesa, dia berjalan cepat sambil celingukan. Saat berjalan menyusuri koridor sekolah dia melihat seorang wanita

"Maaf, Mbak. Boleh saya tanya? Apa anak ini masih ada di sekolah?" tanya Nan sambil menujukkan foto Andrea yang ada di layar ponselnya.

"Mas, ini siapanya?" Bukannya menjawab wanita itu malah balik bertanya. Dia takut jika orang jahat yang mencoba berbuat tidak benar.

"Saya Kakaknya," tegas Nan.     

"Ow, kakaknya. Ayo! Ikut saya. Dia ditemukan pingsan di toi–" Belum selesai kalimat diucapkan oleh wanita yang ternyata adalah perawat sekolah. Pria itu bergegas menuju ruang UKS.

Sepertinya hafal tata letak ruangan yang ada di sana, tidak heran karena Nan Alumni di sekolah itu. Dia sangat hafal, walaupun cukup banyak perubahan.

Setibanya di UKS, Nan melihat Andrea sudah duduk di tepi tempat tidur. Gadis itu mencoba mengenakan sepatunya kembali. Aroma minyak kayu putih menusuk indra penciuman.

"An!" Nan tiba-tiba memeluk sang adik. Raut wajahnya menyiratkan kecemasan, terlihat dari tatapan matanya yang sendu.

"Kakak, ih, sana! Malu tau!" Andrea mendorong dada bidang Nan. Pipinya tampak merah, bak tersengat matahari. Sudah besar masih dipeluk seperti anak kecil saja. Malu kepada dua pasang mata yang tengah melihat drama yang dibuat olek kakaknya. Bagaimana tidak, Nan selalu bersikap berlebihan jika berhubungan dengan Andrea. Seolah-olah hidup Nan hanya tentang dirinya saja.

Nan pun menurut lalu duduk pada kursi yang ada di samping tempat tidur, kemudian mengambil alih sepatu dari tangan Andrea. Memasang dan menyimpul tali sepatu dengan perlahan, seperti seorang ayah yang tengah mengenakan sepatu pada bayi kecilnya. "Udah biar Kakak aja!"

"Nggak usah Kak, An bisa sendiri, kok." Andrea memaksa. Dia merasa tidak perlu lagi diperlakukan seperti seorang putri, bukankah dirinya sudah beranjak dewasa.

Nan tetap bersikeras tidak mau mendengar keluhan adiknya sama sekali. "Kamu kok bisa pingsan?" tanya Nan.

"Iya, pintu toilet rusak. Jadi aku kekunci di dalam," tutur Andrea.

"Bener kekunci. Bukan sengaja ada yang mengunci dari luar." Nan menegaskan kembali.

"Iya, Kak." Andrea meyakinkan Nan, sebab akan tambah runyam masalah kalau sampai ada unsur kesengajaan.

Nan berdiri, berjalan ke arah dua orang yang sedang berdiri di belakang Andrea. "Kalian berdua dengar ini baik-baik. Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Adik saya. Saya akan tuntut sekolah ini!" tegas Nan. Baginya kejadian ini tidak masuk akal.

Kedua orang itu mengangguk,  takut. Jelas saja, Nan menatap tajam serta berbicara dengan tegas layaknya pengacara yang sedang menggertak lawan bandingnya.

Telapak tangan menepuk ringan kening, Andrea merasa ini hanya masalah sepele tidak seharusnya ada acara tuntut-menuntut segala. "Udahlah Kak, An sudah nggak apa-apa. Lagi pula ini salah An, kok. Bukan pihak sekolah." Andrea mencoba meredam emosi sang kakak. Merasa tidak enak juga karena kedua staf sekolah itu yang sudah membantunya.

"Hemm." Nan mengangguk. Kemudian menggandeng jemari tangan Andrea. Namun, baru satu langkah ke luar UKS Nan berbalik badan. Berjalan tenang ke arah satpam sekolah.

"Aku masih merasa ada yang aneh." Nan memutari satpam itu dengan perlahan sambil mengusap-usap dagu. "Kenapa tidak diberi tanda jika toilet tidak bisa digunakan?"   

Satpam begitu terhenyak, bukankah sebelumnya ada tanda peringatan di sana. Mengapa tiba-tiba tidak ada. Apa ada yang sedang iseng mengambilnya, tetapi untuk apa? Bukankah itu bisa merugikan siswa yang lain.

"Kak Nan, ayo! Sudah nggak usah dibahas." Bisa berabe urusan kalau Nan yang turun tangan, Andrea buru-buru menarik lengan sang kakak. 

Alhasil, belum sempat satpam itu menjelaskan Nan sudah berjalan cepat dengan Andrea. Keduanya tampak ceria, bahkan Andrea terlihat sehat walafiat dan bertenaga.

"Aduh Pak, baik banget, eh, Mas e," gumam sang perawat melihat kedekatan kakak beradik itu.

"Iri? Bilang bos! papale papale, papale palepale." Satpam menyahuti ala anak tiktok sambil mengangguk-anggukkan kepala.

"Hemm, hemm, kumat! Udalah aku juga mau pulang. Langsung kunci aja, Pak. Assalamualaikum," pamitnya setelah mengambil tas ransel di atas meja dekat jendela.

"Waalaikumsalam," jawab pak satpam.

Pak satpam kembali memeriksa ruangan. Mengunci setiap pintu, lalu berjalan ke arah pos dekat gerbang. Dia mengamati lingkungan sekolah yang tampak sepi, menyisakan daun kering yang terombang-ambing diterpa angin. Segelas kopi dan roti menemani untuk berjaga, menjelang sore baru Pak Satpam akan pulang.

***

Seperti hari-hari belakang ini, Andrea tampak melamun. Pikirannya berlarian entah kemana, Nan sendiri belum sempat bertanya kepada Andrea. Terakhir kali ketika akan menanyakan, sang adik pergi ke luar begitu menerima panggilan telepon dari Sofi. Kali ini, Nan harus mendapatkan jawaban dari semua kegalauan adiknya.

"An, Kakak perhatiin kamu lebih banyak diam."
Andrea menoleh, dia terlihat mengatur duduk dan napasnya. "Biasa aja, Kak."

"Jelas nggak biasa. Kamu masih mikirin Arsya? Ngapai, An, mikirin dia. Mungkin saja Arsya sudah asik dengan dunia barunya." Tepat dugaan, Andrea menjadi salah tingkah dan membuang muka, berusaha menghindar dari pertanyaan Nan.

"Sok tau!" jawab Andrea.

"Ingat, An! Jangan karena memikirkan cowok. Nilaimu yang pas-pasan makin menurun," ledek Nan. Namun, perkataannya sesuai dengan kenyataan, Andrea tidak pintar-pintar amat dalam bidang akademik. Andrea memilik nilai rata-rata, tidak cerdas dan tidak pula tertinggal dengan temannya. Bisa dikatakan sedang-sedang saja.

"Udah nggak usah bahas itu, ra penting banget." Andrea mencoba untuk bersikap normal. Dia menyibukkan diri dengan ponsel di tangan, memasang alat mungil nan canggih pada daun telinga.

Asap seolah-olah keluar dari telinga serta kepala, Nan tampak geram. Punya adik kenapa begini amat, diajak orang bicara bukannya menjawab dan mendengarkan dengan benar malah sibuk sendiri serta memasang alat penghantar musik ke telinga.

Setelah menepuh perjalan yang cukup melelahkan sebab terjebak macet akhirnya mereka sampai juga. Segera Andrea pergi ke kamar, membersihkan diri kemudian duduk bersila di atas kursi dan tangannya tampak asik menggoreskan pensil warna pada kertas putih. Menciptakan sebuah karya unik dengan goresan yang tampak tidak beraturan, setelah puas dengan aktivitasnya dia pun segera tidur.

Bukan KamuflaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang