2. Virtual Marriage

13.3K 1.1K 49
                                    

Sehabis mandi sore Mentari mendudukkan dirinya di atas kasur, rasanya segar sekali keramas setelah otaknya hampir mendidih di ruang ujian. Gadis itu meraih ponselnya memantau story saudara-saudaranya di kampung, banyak dari mereka yang update soal persiapan acara besok. Mentari sendiri sebenarnya sangat ingin bergabung, tapi mau bagaimana lagi, ujian tengah semester menghalanginya. Sebuah panggilan masuk dari mamanya, padahal baru semalam, tapi sepertinya memang mamanya itu sudah merindukannya.

"Hallo, ibu negara."

"Jangan bercanda." Mentari langsung diam seribu bahasa, apalagi mendengar suara mamanya bindeng, kentara seperti seseorang yang habis menangis. Ada apa gerangan? Bukankah mamanya pulang kampung untuk senang-senang di pesta keponakannya?

"Opung meninggal." Opung adalah sebutan kakek atau nenek bagi orang batak. Nah opung Mentari hanya tinggal satu yang perempuan, kalau meninggal artinya yang meninggal adalah neneknya.

"Innalillahi wainnailaihi rojiun." Perasaan Mentari juga akhirnya berubah tidak keruan, seharusnya dia berada di sana opung nya pergi untuk selamanya.

"Acara pernikahan Selvi akan dilangsungkan malam ini. Kamu jangan lupa hadir."

Maksudnya hadir di sini adalah hadir secara virtual, jadi sebenarnya bukan hanya Mentari yang tidak bisa hadar, beberapa sanak famili juga ada yang tidak hadir. Karena zaman sudah berubah, jadi keluarga memutuskan untuk mengadakan acaranya secara online juga, agar saudara yang jauh-jaun tetap bisa turut menyaksikan.

"Kenapa?"

"Nggak mungkin melakukan acara besok, pesta juga dibatalkan."

Mentari menelan ludahnya sendiri, berapa banyak kerigian yang akan ditanggung keluarga Selvi?

"Tapi bukannya sibuk ngurus pemakaman?"

"Opung pengen lihat dia menikah. Jadi akad nikah akan dilakukan di hadapan opung nanti."

Begitu, Mentari mengangguk, beberapa keadaan memang begitu, kadang yang terjadi tidak sesuai yang direncanakan, manusia bisa berencana, Lagi-lagi Tuhan yang menentukan.

"Ya udah nanti aku siap-siap, mau lihat opung juga untuk yang terakhir kali." Dia pulang kampung rasanya sudah lama sekali, saat itu juga opung nya sudah mulai lupa, tapi masih bisa mengingatnya, memang sudah sangat renta usianya.

"Iya, walaupun virtual usahakan jangan melakukan apa pun, yang sopan. Hargai acara yang kamu lihat."

"Iya."

"Ya udah Mama harus nemuin tamu-tamu dulu."

"Iya."

Setelahnya sambungan terputus, setiap mendengar sebuah berita soal meninggalnya seseorang pasti secara otomatis langsung tergambar kenangan-kenangan semasa hidup, langsung terputar di otak bagai film dokumenter. Mentari menghela napasnya, dari jauh dia mendoakan semoga saja neneknya tenang dan bahagia melihat salah satu cucunya nanti akan melepas masa lajang.

***

Acara akad nikah akan segera dimulai, anggota keluarga yang lain sudah sibuk di grup chat keluarga, Mentari juga turut sibuk, gadis itu membawa turun laptopnya karena akan menyaksikan pernikahan Selvi dari meja makan. Dia juga mengajak Luna untuk turut serta menyaksikan pernikahan sepupunya.

Mereka sudah join, Mentari langsung menyapa tante, om dan beberapa sepupunya yang juga tidak bisa hadir. Kamera masih tidak jelas, masih kelihatan goyang ke sana sini. Mentari tetap menunggu, karena sudah bisa terlihat di sana neneknya yang sudah terbujur kaku dan ditutup kain batik. Mentari menghapus air yang menggenang di sudut matanya, rupanya dia sedih juga, apalagi dulu pernah ditinggal di rumah nenek saat dirinya masih kecil dan mamanya harus menemani papanya melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri. Saat itu Mentari hampir depresi karena di kampungnya orang-orang memakai bahasa batak, tapi perlahan dia bisa menyesuaikan tempat meski tetap konsisten dengan bahasa Indonesianya.

"Itu, Nenek kakak?" tanya Luna, bocah itu juga menyimak.

Mentari menangguk. "Baru meninggal hari ini."

"Bukannya kita mau lihat pernikahan sepupu kakak? Kok malah lihat orang meninggal?" tanya Luna dengan polosnya, salah Mentari juga, dia hanya mengajak Luna melihat pernikahan.

"Pernikahannya dipercepat kan seharusnya besok, tapi jadi hari ini. Soalnya nenek kakak meninggal tiba-tiba hari ini, jadi nikahnya di hadapan dia."

Luna mengangguk-angguk, apa itu tidak menyeramkan?

Mereka diam menatap orang-orang yang mulai berlalu-lalang mempersiapkan tetek bengeknya.  Sampai akhirnya terlihat mempelai pria didudukkan di hadapan ayah Selvi, sepertinya acara akan segera dimulai.

Tidak ada MC, tidak ada baju adat, Selvi tampak memakai gamis putih dan sang calon suami juga memakai kemeja putih dan celana hitam lengkap dengan peci. Akad nikah yang sebelumnya sangat prepare tersebut, kini malah berlangsung dengan sangat sederhana.

Tidak pula ada tawa atau senyum ceria, wajah-wajah mereka yang ada di sana malah kebanyakan sembab. Mengisyaratkan bahwa semua orang baru saja habis menangis.

Mentari juga terikut suasana sedih di sana. Acara di malai, mempelai pria mulai menyalam tangan wali dan dengan satu tarikan napas, ijab qobul berhasil dilakukan, semua orang berkata sah kemudian mengucap alhamdulillah, begitu juga dengan Mentari, dia turut bersyukur karena akhirnya sepupunya yang selama ini sering curhat galau soal calon suaminya ini menemukan kebehagiaannya. Meski bercampur duka, Mentari harap mereka sekeluarga bisa tetap bahagia.

Tapi seketika kesedihan Mentari berhenti, berubah menjadi sebuah kebingungan dan tanya yang dia sendiri tidak tahu apa jawabannya. Setelah ayah Selvi beranjak, bergantian papa Mentari mengambil posisi di sana. Setelah itu maju seorang pria dengan kemeja dan celana bahan berwarna hitam, sama seperti suami Selvi tadi. Tapi kenapa sekarang papanya? Mentari mengingat-ingat, tapi papanya sedang berada di keluarga mamanya. Yang artinya bukan menikahkan tantenya.

Mentari menelan ludahnya dengan susah payah, air matanya kering seketika. Bingung bercampur heran menjadi satu.

"Bissmillahirahmanirohim. Ainsley Langit Brandon Nasution, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri kandung saya Anindia Mentari binti Migdad Ahmad dengan maskawin uang tunai senilai lima ratus ribu rupiah dibayar tunai."

"Saya Terima nikah dan kawinnya Anindia Mentari binti Migdad Ahmad dengan maskawin uang lima ratus ribu rupiah dibayar tunai."

Napas Mentari tercekat, pikirannya sudah tak bisa diajak kompromi. Dia dinikahkan? Padahal dia tidak sedang berada di sana. Luna menatap Mentari untuk memastikan ekspresi gadis di sebelahnya.

"Kakak nikah juga?"

Dengan tatapan mata kosong, Mentari menggeleng, jangankan Luna, dia juga bingung.

***

Hayoloh.

Gimana kalau kalian yang ada diposisi Mentari?

Wkwkwk

Gimana nih? Lanjut atau udahan?

Atau updatenya tunggu diingetin ayang aja?

Mentarinya LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang