[36] AKHIR?

4.2K 403 35
                                    

Jika cerita ini temen-temen rasa ada manfaatnya, minta tolong bantu share yap. Jangan lupa vote, comment and follow ya!.

****

“Bahkan hanya karena kamu enggan membuka matamu, nyawaku rasanya sudah ingin lenyap dari raganya”

Muhammad Fauzan Akbar
.
.
.

[DIARY AIRA]

****

Waktu terus berlalu, semenjak persidangan perdana antara Aira dan Fauzan, nampak sekali Fauzan sangat tidak rela jika harus mengakhiri pernikahan dirinya dengan Aira. Ia sadar betul, bahwa perasaannya untuk Aira sudah berubah. Bahkan, sejak kali pertama ia mengucapkan ijab qabul.

Tanpa ada seorangpun yang tahu, sebenarnya Fauzan sudah merelakan dirinya menjadi suami untuk Aira. Tidak ada keberatan untuk dirinya menolak Aira sebagai istri. Hanya saja, gengsinya yang sebesar bumi, membuat ia enggan dianggap gampangan. Jadilah dia seolah-olah menolak kehadiran Aira dalam hidupnya.

Jika dipikir-pikir, tidak ada alasan untuk mengatakan Aira bukan istri idaman. Sejauh mereka bersama, Aira bersikap sangat baik sebagai seorang istri. Sebaliknya, Fauzan sering bersikap semena-mena. Belum lagi, sebenarnya ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan Aira untuk menempuh pendidikan. Fauzan itu tipikal orang yang kalau sudah sangat mencintai, dia tidak akan dengan mudah mau dipisahkan begitu saja.

Seperti halnya saat persidangan sebelumnya berlangsung. Fauzan  sangat ngotot untuk menyampaikan bukti-bukti sebagai bentuk pembelaannya. Sayangnya, bukti Fauzan tak cukup mampu mematahkan bukti yang dibawa Aira. Kedua belah pihak keluarga sudah berusaha menjadi penengah, namun Aira tetap pada pendiriannya.

Aira kini tengah duduk di ruang tunggu, bersiap untuk memasuki ruang persidangan. Seluruh keluarga besar Aira dan Fauzan hadir. Hanya saja, laki-laki itu belum juga menampakkan batang hidungnya.

“Aira, kamu sudah benar-benar yakin dengan keputusan kamu Nak?” Ummah Khadijah mengusap lembut puncak kepala Aira, nampak ketidakrelaan diwajah bliau ketika harus merelakan menantunya.

“InsyaAllah, Aira yakin Ummah. Afwan kalau sudah mengecewakan Ummah”

“Sama sekali enggak sayang. Kamu tau Nak, sebagaimanapun kamu dengan Fauzan Ummah tidak pernah menaruh keberatan sama sekali. Fauzan banyak bercerita pada Ummah belakangan ini. Banyak sekali hal yang—”

“Ummah” ibu Fauzan menghentikan kalimatnya ketika sang topik pembicaraan datang.

“Akhirnya kamu datang Nak”

Fauzan hanya mampu menampilkan senyum sendunya. Tatapannya beralih kepada Aira. Lelaki itu menarik nafasnya berat sambil memandang perempuan dihadapannya. Perempuan yang sebentar lagi resmi bukan lagi miliknya.

“Raaa”

Aira yang tadinya menunduk, kini memberanikan diri menghadap Fauzan. Melihat wanitanya tak lagi berkenan menatap wajahnya, hati Fauzan seperti diremas kuat. Fauzan merindukan tatapan teduh milik istrinya. Aita bahkan tak pernah memalingkan wajah ketika Fauzan mengajaknya bicara, sekalipun dengan nada tinggi. Namun kali ini, Aita tak mau menatapnya.

“Jangan sedih, aku ikhlas. Aku akan melepaskanmu”

Kedua keluarga tersebut hanya mampu mengamati Aira dan Fauzan. Tidak banyak yang bisa dilakukan karena semua adalah keputusan keduanya. Sedikit mengurangi rasa ragu, Aira memberanikan diri menatap Fauzan. Sepersekian detik, Fauzan memgangguk meyakinkan.

DIARY AIRA [TERBIT]Where stories live. Discover now