[44] SUBUH TERAKHIR DI JABAL NUR

2.1K 140 18
                                    

"Akhir bahagia tidak harus selalu bersama. Allah selalu punya cara agar kita bisa terus bersama, meskipun tidak lagi saling melihat raga".

[DIARY AIRA]


[PART TERPANJANG, BACA SAAT BENAR-BENAR LUANG]

Fauzan menatap heran ke arah Aira yang masih setia menutup matanya. Tidak biasanya Aira menghabiskan waktunya untuk tidur dengan durasi yang lama. Istrinya tidak akan tidur lagi setelah subuh, hal yang tidak pernah Aira lakukan sebelumnya.

Beberapa hari lalu keduanya tidak jadi menuju Jabal Nur karena Fauzan mendapat undangan untuk datang ke rumah Syekh Muhammad. Salah satu guru dari Fauzan sebelum belajar di Al-Azhar. Aira dengan lapang mengizinkan suaminya untuk menemui gurunya. Kabar Fauzan yang sedang di Madinah juga disambut baik sahabat-sahabatnya saat kuliah dulu, yang kebetulan juga sedang ada di Madinah. Alhasil, rencana untuk membawa Aira ke Jabal Nur terpaksa harus terus diundur.

Hari ini, genap 1 minggu keduanya bermukim di Madinah. Rencananya, siang nanti ia dan Aira akan bertolak ke Ta'if untuk menuju Jabal Nur sesuai janjinya. Waktu menunjukkan pukul 10 pagi, tapi Aira tidak kunjung bangun. Dengan berat hati, Fauzan membangunkan istrinya. Aira juga harus makan dan minum obat.

Sebelum membangunkan Aira, Fauzan menyiapkan obat-obatan Aira. Ketika ia membuka kotak obat tersebut, alisnya mengkerut. Jumlah obat yang ada tidak sama dengan resep yang diberikan oleh Dokter Zivanna waktu itu. Bisa dibilang, obatnya justru menjadi 3x lipat lebih banyak.

Ada dua pack yang berbeda. Pack pertama uang lebih sedikit, adalah obat yang biasa Aira minum sebagai antibiotik luka dan sejenisnya. Pack berikutnya, berisi sebanyak 2 botol capsul serta beberapa bentuk jenis obat lainnya yang Fauzan tidak tau untuk apa. Fauzan mengambil ponselnya dan mengambil gambar dari obat-obat tersebut, kemudian mengembalikan lagi ketempat semula.

Perlahan, ia kembali ke ranjang untuk membangunkan Aira. Diusapnya wajah Aira yang masih terlelap. Luka diwajah istrinya sudah mulai pudar, namun bibir pucatnya masih setia menghiasi wajah Aira. Fauzan baru menyadari, Aira juga terlihat semakin kurus dari sebelumnya.

"Raaa"

"Aira"

Masih belum ada respon dari istrinya, Aira malah menarik selimutnya. Fauzan mendadak ingin menjaili Aira. Didekatkan wajahnya kemudian perlahan menciumi seluruh wajah Aira. Terakhir, bibirnya mendarat di bibir istrinya. Saat itu juga Aira membuka matanya dengan sempurna. Ah, ternyata ini cara paling mujarab untuk membangunkan istrinya.

Fauzan tersenyum dan menjauhkan wajahnya dari sang istri, "Bangun Ai"

Dengan wajah yang memerah sempurna Aira bangun dari posisi tidurnya. "Jam berapa mas?" tanyanya dengan suara serak

"Jam sepuluh, kamu tidur nggak bangun-bangun. Saya khawatir, kamu ngak papa?"

"Aku ngga papa mas, ngga tau juga bawaanya ngantuk banget. Maaf ya mas"

"Ngak papa, sekarang kamu harus makan dan minum obat"

"Mas udah makan?"

Fauzan menggeleng, "Belum, kan saya nungguin kamu"

"Maaf"

"Kita ngga lagi lebaran Ai, kamu minta maaf terus"

Aira baru menyadari perubahan panggilan Fauan, "Ai?"

"Ada yang salah?"

"Kok mas manggil aku Ai?"

"Ya iya, Aira, Aiyang"

DIARY AIRA [TERBIT]Where stories live. Discover now