5

5K 844 102
                                    

Semenjak Kaivan merasakan sakit kepala di kantornya, rasa sakit itu terkadang kembali kambuh. Walaupun tidak sering, tetapi intensitasnya cukup mengganggu aktivitas Kaivan. Sampai pada akhirnya Kaivan memutuskan untuk memeriksakannya ke rumah sakit.

Sebelumnya ia telah melakukan janji temu dengan dokter Raisan. Dokter saraf yang memiliki reputasi terbaik di rumah sakit. Dan juga, dokter Raisan merupakan anak dari dokter Arian yang sempat menjadi dokternya 10 tahun silam. Sementara dokter Arian telah meninggal dunia 2 tahun yang lalu.

Kaivan yang baru saja mengetuk pintu langsung disambut oleh senyuman seorang wanita muda dengan seragam khas perawatnya. Langsung saja Kaivan memasuki ruangan yang bernuansa putih itu.

Pria yang umurnya tidak jauh dengannya, tengah duduk di kursi kebesarannya. Kacamata bertengger di hidung mancungnya dan snelli yang melekat di tubuhnya.

Melihat kedatangan sang pasien, dokter Raisan tersenyum ramah. Ia mempersilakan Kaivan untuk duduk di kursi sebrangnya.

"Selamat siang Tuan Kelana," sapa Raisan disertai jabatan tangan keduanya.

"Siang, dok."

"Jadi apa keluhan yang Anda rasakan?"

"Tiga hari yang lalu saat berada di kantor, tiba-tiba saja kepala saya terasa sakit seakan baru saja terbentur sesuatu dengan keras. Saya pikir sakit kepala akan mereda, tapi bertambah hari semakin sakit dan itu cukup mengganggu." Keluh Kaivan panjang lebar.

Dokter Raisan mengangguk paham, setelah itu dokter tersebut membuka sebuah map cokelat. Dahinya mengernyit seiring dengan matanya yang terus mengamati isi dari map itu.

Map yang berisikan rekam medis milik Kaivan itu diletakkannya kembali. Dokumen penting itu bisa di dapatkan oleh Raisan sebab pada saat konsultasi melalui telepon, Kaivan mengatakan bahwa dirinya merupakan pasien dari ayahnya sendiri.

"Menurut riwayat yang pernah Anda katakan pada saat 10 tahun yang lalu, Anda mengalami kecelakaan?" tanya dokter Raisan.

"Ya, dok." Jawab Kaivan singkat.

"Apa diagnosa yang disampaikan oleh dokter Arian?"

"Hanya benturan keras namun tidak berakibat fatal. Tapi awalnya rasa sakit itu terus saja mendera,"

Dokter Raisan menutup map, lalu menatap Kaivan dengan pandangan serius. "Apa pemicu yang pada saat itu membuat kepala Anda terasa sakit?"

Kaivan terdiam cukup lama, antara tidak mau menjawab atau ragu untuk menjawabnya.

"Tuan?"

"Ah ya, pemicunya adalah istri saya sendiri. Waktu itu kalau melihat atau mengingatnya saja membuat sakit kepala saya kambuh." Ujar Kaivan lirih.

"Tapi beruntung karena obat yang diberikan oleh dokter Arian serta terapi rutin, rasa sakit itu mulai perlahan menghilang. Dan baru-baru ini rasa sakit itu kembali datang."

"Saat kecelakan, apa yang Anda ingat?" dokter Raisan mencoba sedikit mengulik kecelakaan yang terjadi pada mantan pasien ayahnya yang kini juga menjadi pasiennya.

"Yang saya ingat saya hanya menabrak pembatas jalan karena menghindari sebuah truk muatan."

"Anda sendirian?"

"Sendirian, ya saya sendirian." Entah mengapa Kaivan merasa begitu tidak yakin dengan jawabannya kali ini.

"Baiklah kalau begitu saya tidak bisa mendiagnosa tanpa adanya pemeriksaan lebih lanjut, jadi saya harap Anda untuk datang kembali besok jam 10 pagi. Kita akan melakukan rontgen kepala Anda dan pemeriksaan lainnya. Untuk saat ini saya hanya memberikan resep penahan sakit tersebut untuk satu hari." Jelas dokter Raisan yang ditangkap paham oleh Kaivan.

GunnenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang