Dua-Jalan

5 0 0
                                    

“Pake mobil aku aja sih, biar enggak ribet ganti.” Ellery terus menggerutu meski orang yang ia ceramahi berada dibalik pintu.

Pasalnya Seva tak menggunakan waktu dengan baik untuk berganti pakaian kala ia rapat organisasi siswa intra sekolah tadi.

“Lima detik dari sekarang harus udah keluar ... satu, dua, tiga, empat, empat setengah, lim-a.” Tepat hitungan terakhir Seva muncul dari bilik toilet dengan tergesa-gesa.

Baju bertudung warna jingga dipadu celana jeans sedikit berlubang pada bagian lutut tampak pas membungkus tubuh Seva.

Ellery ke sekian kali memastikan pewaktu menunjuk pada angka lima lebih dua puluh menit. Menimbang-nimbang sesuatu dalam pikirannya.

“Kalo ke rumah Nerissa kejauhan enggak sih? Nanti keburu malem, jadi kita cari mall terdekat aja. Oke?” Senyumannya merekah. Ellery menggandeng Seva serta Nerissa keluar gedung sekolah.

“Kalian pergi tanpa aku. Aku harus kerja,” bujuk Seva berusaha melarikan diri.

“Heh enggak ya! Aku janji deh, sebelum jam kerja kamu kita udah pulang.” Ellery menautkan kelingkingnya pada Seva berikut Nerissa menggunakan jari lainnya.

Memang tak sepenuhnya sempurna tetapi setidaknya berada dikategori baik. Sempat merasa kesal akibat macet. Kini rasa itu ter bayarkan oleh lenggangnya antrean dan ending film yang bahagia.

Namun popcorn saja belum cukup tuk mengganjal perut. Berburu makanan jadi rencana selanjutnya bagi mereka.

Perdebatan pun dimulai antara resto nuansa Jepang atau Korea. Hingga Nerissa memutuskan memilih resto yang menjual makanan Itali.

“Silakan, mau pesan apa?”

Ellery bergumam membaca satu kata pertama dibuku daftar makanan. Matanya membulat memperhatikan buku menu berpindah tangan.

“Pasta Carbonara tiga ... kalo minumnya, nanti aku panggil lagi ya. Sama minta sambal yang banyak,” pesan Nerissa membiarkan waiters berlalu.

“Sa? Aku bahkan belum mengutarakan keinginanku, Seva juga.”

“Sutt! Aku punya challenge buat kalian. Nanti kita makan pastanya pake sambal, siapa yang pertama pesan minum akan kena hukuman. Gimana?”

Seva dan Ellery saling pandang. Merasa tak dapat persetujuan, Nerissa kembali angkat bicara.

“Aku mohon, ya, ya ya?” Meja mereka bergoyang mengikuti guncangan dari Nerissa. “Atau jangan-jangan kalian takut?” tuduhnya penuh selidik.

“Oho, jika aku mau. Aku bisa membeli cabai satu kebun,” balas Ellery membara, sementara Seva mendesah pelan.

“Baiklah jika kamu kalah maka cabai satu kebun itu harus ada di hadapanku,” tantang Nerissa dibalas jabatan tangan oleh Ellery.

“Ck! Konyol,” gumam Seva.

Ellery, Nerissa dan Seva sepakat mencampur tujuh sendok sambal per orang. Suapan pertama terasa biasa saja namun tidak dengan selanjutnya.

Bibir Seva kian memerah. Puluhan lembar tisu menumpuk di samping hidangannya. Kebanyakan pasang mata merasa heran akan kegaduhan mereka.

“Masih ingat dengan Film animasi Hotel Transylvania? Nah jadi, ada salah satu pegunungan yang dikenal dengan legenda Vlad Dracula yang terletak di negara?” pertanyaan ke sekian dari Ellery sebagai uji coba kalimat yang merumorkan bahwa ketika kepedasan otak akan cepat merespons.

Nerissa memukul pelan kepala lalu meja, mengharap sensasi terbakar sedikit berkurang. “Di ... di Romania?”

“Iya, ah pedas. Pertanyaan, untuk Seva ... apa nama geng kita dulu dan, kenapa dikasih nama itu?”

Alis Seva menukik. Ini lain dari sebelumnya yang berlandaskan pengetahuan. Ia seperti diminta mengenang masa remajanya.

“Keterlaluan banget sih kalo sampai kamu gak inget “ imbuh Ellery tak sabaran mengingat reaksi kurang meyakinkan dari Seva.

“Mis's S. Diambil dari nama masing-masing yakni Sa, Shy, dan Serena.” Susah payah Seva mengatur napasnya untuk menyelesaikan satu kalimat.

“Dih salah. Harusnya Sere, Shy, dan Sa.”

“Sama aja.”

“Beda urutannya. Empat huruf, tiga huruf, terakhir dua huruf.” Nerissa mengoreksi lagi. Ia menatap sedih piring penuh di bawah tangannya.

Ellery meneguk ludah mengamati gelas minuman milik pelanggan lain diujung sana. “Kalo arti nama kita apa?”

“Cukup tidak adil, kalian menjawab satu pertanyaan saja.” Bergantian Seva melihat Ellery maupun Nerissa yang sibuk menyeka keringat.

“Alasan! Cepat jawab.”

Acuh tak acuh. Seva mengangkat tangan mengundang gadis berbaju putih hitam. Ia memesan minuman sebagai final permainan.

“Mari ... kita ... tentukan, hukuman, yang pas ... untuk Seva,” racau Ellery masih kepanasan meski telah meminta sang sopir tuk mengambilkan kipas angin miliknya.

“Lebih baik kalah daripada mati kepedasan.”

Bak mendapat air di gurun, mereka sibuk menghilangkan dahaga masing-masing. Nerissa maupun Ellery memesan selepas Seva mengibarkan bendera putih.

Detik selanjutnya, Seva di ajak ke suatu tempat dengan mata tertutup. Suguhan pertama yang ia dapatkan ialah kaum hawa.

“Tadaaa!” sorak Ellery riang gembira seraya melompat-lompat. “Setelah aku pikir-pikir kamu enggak pernah pergi belanja bareng kita. Jadi punishment kamu cuma milih barang yang cocok buat kita.”

Seva menggeleng cepat. Melangkahkan kakinya ke belakang meski pandangan tak percaya terus ia berikan ke arah depan.

“Jangan kabur! Kamu cuma nemenin kok, kalo mau beli juga enggak papa apalagi kalo mau bayarin, boleh banget.” Nerissa tersenyum lima jari.

“Y-ya tapi ... kenapa harus ke toko pakaian dalam?” tolak Seva tak digubris sama sekali. Ia bahkan mengajak Nerissa ke toko buku dan menawarkan berbagai jenis hidangan penutup pada Ellery supaya bisa pergi dari sana.

Pada akhirnya mereka tetap masuk. Puluhan ribu model terpajang, dimulai dari yang biasa-biasa sampai desain di luar nalar. Seva mengernyit memperhatikan harga sebuah kain transparan yang bisa membiayai hidupnya selama tiga bulan ke depan.

“El, ini bagus kan?”

Ellery mencuri pandang sepersekian detik. “Hm. Bagus kok, cocok buat kamu.”

“Tapi yang ini cantik ada rendanya,” cicit Nerissa sedikit menuntut agar Ellery memperhatikan eksistensinya, dan ia berhasil.

“Wait, kayanya ini cocok buat Seva deh." Ellery berlarian ke arah Seva, mengabaikan tatapan sendu yang diperuntukan untuknya.

Berkali-kali Seva menghindar saat Ellery mengukur pakaian dalam yang dibawanya pada tubuh Seva. Keduanya berlarian dengan Seva yang menyilangkan tangannya di depan dada membuat Nerissa terkikik pelan meski berlaku seper sekian detik.

Berganti helaan napas setelah membaca tulisan 'Makanan Pedas Mampu Melepaskan Endorfin Yang Membuatmu Merasa Lebih Baik' ditampilan layar telepon genggamnya.

"Berhenti di situ! Seriusan deh! Gaunnya cocok buat kamu," teriak Ellery di hadapan Nerissa.

"Mana sudi aku pakai baju trasparan gitu," bela Seva. Tak hanya suaranya yang memekakkan telinga, cekalan Seva di bahu Nerissa pun mampu membuat tubuh sang empu terdorong kesana kemari mengikuti gerakan Seva dibelakangnya.

Namun tameng itu terlalu lemah hingga hampir tumbang jika Seva tidak cepat tanggap memindahkan lengannya ke pinggang Nerissa. Keseruan ketiganya berakhir setelah kehabisan tenaga dan pergi begitu saja tanpa membeli barang apapun.

Mis's.Mr STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang