Tujuhbelas-Berkunjung

5 0 0
                                    

Di bawah selimut tebal sebuah benda persegi menjadi tontonannya sejak malam. Lingkaran hitam tampak menghiasi kantung mata kecokelatan itu.

“Hwaaa ... ini gila! Ribuan menit aku lewati gitu aja buat nonton drakor?” tanyanya entah pada siapa.

“Oke sekarang jam berapa? Oh lihat, pukul lima lewat empat puluh. Bagus sekali! Mari lanjutkan latihan menjadi mayat,” monolog Ellery sembari mencari posisi ternyaman.

“Non,” panggil seseorang membuat Ellery menyibakkan selimutnya dengan kasar. “Non Ellery enggak pergi ke sekolah?”

“Bi Jum, aku bahkan belum menutup mata sedikit pun.” Ellery memajukan bibirnya. Ia duduk bersila meminta belas kasih.

“Tapi temen Non Ellery udah nunggu di depan,” jelas Bi Jumi berhasil mengakhiri acara merajuk Ellery.

“Siapa?”

“Itu loh, dia bawa motor gede. Bibi enggak tau mungkin temen, Non Ellery?”

Ellery mengernyit mencari sesosok yang masuk kategori seperti yang di deskripsikan. Mudah saja, satu nama langsung muncul di pikirannya tapi Ellery lebih memilih untuk bersiap tanpa memberi jawaban pada Bi Jumi.

Ting.

Begitu pintu lift benar-benar terbuka, jejeran wanita berseragam putih hitam berdiri setengah membungkuk menyambut kedatangannya. Semua Ellery acuhkan kecuali senyuman ramah seorang wanita patuh baya berpakaian kebaya dekat meja makan.

“Mereka udah berangkat?”

Bi Jumi tersenyum simpul. Paham akan kata mereka yang dimaksud Ellery. “Mau sarapan apa, Non?“

“Hah? Oh, aku ambil roti ini aja. Berangkat dulu ya Bi, bye.” Ellery berlarian melewati jejeran pria berbadan tegap tuk menemui sahabatnya.

“Kenapa enggak masuk?”

“Oho, kau mau aku berurusan dengan mereka?” Ellery terkikik melihat dua penjaga yang ditunjuk Seva. Ekspresi Seva berubah datar. Ia mengamati Ellery dari atas sampai bawah berulang-ulang.

“El, rok kamu gak kurang pendek?”

“Seva, kamu mau sekolah atau nongkrong? Pake celana jeans atasan hodie, pantes aja bodyguard aku curiga.”

“Kamu ya,” gemas Seva memberi sentilan kecil di kening Ellery. Namun segera berganti jadi sentuhan lembut setelah dua pria berbaju hitam melangkahkan kaki hendak menghampiri.

Semakin lama belaian tersebut menjadi kencang hingga mengakibatkan tataan rambut Ellery kusut.

“Yak- mmpphhh.” Seva membekap mulut Ellery, memberi kode agar menyudahi pertengkaran mereka. Mengajaknya menyusuri jalanan meski dengan wajah berantakan.

“Seva!” panggil Ellery sedikit berteriak. Dirasa mendapat perhatian lewat gumaman yang diberikan Seva, ia melanjutkan kalimatnya. “Kita mempir ke rumah sakit sebentar ya?”

Tiga menit kemudian.

“Seva?” panggil Ellery.

“Ngapain?”

“Astaga! Aku kira kamu tidur sambil nyetir. Em, kita obatin luka akibat cekikan semalam, kayanya sedikit parah.”

“Tenang, aku baik-baik aja.”

“Bisa enggak sih nurut sekali aja?” Ellery mengentakkan kaki mengikuti Seva. Ia baru tersadar kala berpapasan dengan siswi lain yang mendekap tumpukan buku jika dirinya telah sampai di tempat tujuan.

“Eh tunggu,” cegah Ellery sambil menarik lengan gadis itu. Detik selanjutnya tepisan kasar Ellery terima dari Nerissa.

Seva menggidikkan bahu acuh menerima tatapan Ellery yang seolah bertanya ada apa dengan Nerissa dan sejak kapan mereka tiba di sekolah.

Mis's.Mr STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang