❐ 2. (Not) A Better Day

188 34 1
                                    

Rupanya hari ini tidak pula lebih baik dari hari sebelumnya. Sebuah pukulan melayang ke arah Rayhan dengan begitu kasarnya. Sampai lelaki itu tersungkur ke lantai, dan menyisakan luka di sudut bibirnya. Rayhan tau hari ini dia salah lagi, bisa-bisanya ia melupakan lokasi dimana pertemuan dengan klien.

Pertemuan itu gagal total, dan perjanjian yang sudah dirangkai sejak minggu lalu juga gagal. Tentu saja kesalahan langsung dilimpahkan kepada Rayhan seorang. Karena kelalaian Rayhan, semua rencana berantakan. Sekali lagi, Bian menendang keras perut Rayhan hingga lelaki itu mengerang.

"Saya menyesal punya anak nggak berguna kayak kamu! Bagaimana bisa kamu lupa?"

"Maaf, Pa ... tadi, beneran-"

Prang!

Sebuah tempat alat tulis berbahan besi melayang ke kepalanya. Menambah persentase rasa sakit di kepala Rayhan hari ini. Dirinya sendiri juga tidak mengerti apa yang terjadi pada kepalanya. Semuanya, seharusnya masih normal, tetapi hal sederhana saja bisa ia lupakan tanpa alasan.

"Kamu udah nggak peduli dengan perusahaan saya? Berhenti saja! Saya juga nggak butuh pegawai seperti kamu!" bentak Bian lagi.

"Pah ... Rayhan bukannya nggak peduli."

"Terus apa? Memang hanya Jerry yang pantas mendapatkan harta saya! Kamu bisanya hanya mengacau!"

Rayhan menunduk, dirinya tau sampai kapanpun suaranya tidak akan terdengar. Disini, tidak ada nama Rayhan Winandra, hanya nama Jerry Haryawan yang katanya paling hebat di mata ayahnya. Rayhan hanya anak bungsu, yang katanya tidak bisa apa-apa dan manja.

Bian meminta Rayhan untuk keluar dengan segera, tanpa peduli bagaimana kondisi anaknya itu. Dengan berusaha keras menstabilkan keseimbangan tubuhnya, Rayhan akhirnya keluar. Tubuhnya disandarkan pada tembok untuk sebentar saja, Rayhan butuh tarik napas panjang.

Tidak lama, pintu ruang ayahnya terbuka lagi. Kali ini menampilkan seorang lelaki setinggi Rayhan yang keluar, "Ya ampun ... saya tidak tau kerjamu sekarang ceroboh sekali."

Rayhan membuka matanya, kemudian menatap Jerry malas, "Saya nggak punya masalah sama Mas, jadi tolong jangan ganggu saya dulu."

Jerry berdecak, "Ya ... ya, baiklah. Tapi bukannya lebih baik lagi kalau kau mengundurkan diri saja, dan membiarkan semua ini jadi milik saya?"

Rayhan mengernyit, tatapannya tajam ke arah wajah remeh milik Jerry, "Tidak akan pernah. Saya nggak mau Mas Jerry malah menyalah gunakan wewenang yang dikasih sama Papa."

Jerry tertawa dengan sinisnya, "Baiklah ... coba saja. Dari semenjak kamu ceroboh, saya sudah menang jauh."

Jerry beranjak duluan, meninggalkan Rayhan yang masih memulihkan pusing di kepalanya. Tidak lama setelah kepergian Jerry, orang lain malah datang dengan hebohnya, "Han! Han! Lo kenapa?"

Rayhan tersenyum kecil sambil memijat pelipisnya yang agak memar, "Nggak papa."

"Itu jidat lo ngapa biru gitu?" tanya Jeffry sambil meringis, "Waduh ... kalo Ralea tau bisa nangis-nangis dia tuh!"

Rayhan menggeleng perlahan, "Lebay lo ah! Lagian dia juga biasa aja kali."

"Hey ... lo nggak tau apa hati perempuan itu selembut sutra? Apalagi Ralea tau nggak?"

"Lo kayak tau banget? Ralea kan istri gue."

"Gitu-gitu gue pernah gebet dia."

Kini malah Rayhan yang berdecak kesal, Ralea hanya miliknya, itu sudah hukum alam yang tidak bisa diganggu gugat. Wajahnya jadi masam bertemu Jeffry, "Lupain lah! Ralea bangga punya gue sekarang!"

RememberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang