❐ 3. Other's Household

167 27 0
                                    

"Mungkin Mbak Ralea ingat, saya dokter yang pernah menangani Mas Rayhan dua bulan lalu karena trauma berat di kepala."

Malam itu, sebenarnya Ralea tidak mengerti akan dibawa kemana pembicaraan mereka dengan si dokter. Ada banyak kecurigaan dalam hati Ralea terhadap suaminya, yang tidak mampu ia ungkapkan. Rayhan yang tiba-tiba sering lupa, juga pekerjaan Rayhan yang akhir-akhir ini menumpuk sekali.

Ralea tidak tau apakah Rayhan mengalami gejala penyakit serius, atau hanya kelelahan biasa. Semua pemeriksaan yang telah dilakukan tadi, membuat Ralea semakin berpikir berbagai kemungkinan. Tetapi, Ralea tidak mau berspekulasi terlebih dahulu.

Dokter Sofyan namanya, beliau mengambil sebuah kertas berwarna kebiruan gelap. Disana menampilkan gambar otak milik Rayhan, katanya. Dokter itu menunjuk sesuatu disana, "Ada perubahan pada otak Mas Rayhan. Bisa dilihat perbedaannya dengan otak normal. Saya sudah menyarankan dari dua bulan lalu untuk melakukan terapi, mencegah kejadian seperti ini."

"Menyarankan? Seingat saya, dokter tidak pernah menyarankan apa-apa. Waktu itu, Kak Rayhan hanya diperbolehkan pulang." Ralea menyela.

Dokter Sofyan mengernyit, "Loh? Saya kira Mas Jerry sudah menyampaikan. Dulu, beliau yang menemui saya untuk mengajukan kepulangan, ya, kan?"

Ralea mengangguk, "Mas Jerry memaksa untuk melakukannya, karena saya juga sedang repot waktu itu."

"Nah, disitu saya bilang tidak bisa memulangkan terlebih dahulu, kecuali menyetujui terapi rutin."

Rayhan dan Ralea saling berpandangan dengan heran. Rayhan yang tidak ingat apa-apa, dan Ralea yang jadi merasa adalah miskomunikasi antara Jerry, Dokter Sofyan, dan Bian yang waktu itu meminta Rayhan buru-buru pulang dari rumah sakit. Ralea butuh klarifikasi dari Bian dan Jerry setelah ini.

"Jadi, kesimpulannya, dok?" tanya Ralea. Rayhan masih sedikit heran dengan ingatannya yang menghilang begitu saja.

"Alzheimer."

Mendengar kesimpulan Dokter Sofyan, Rayhan terdiam cukup lama. Sedangkan, Ralea segera menyahut, "Tapi bukannya ... alzheimer hanya diderita oleh lansia? Sedangkan Kak Rayhan baru dua puluh enam tahun."

Dokter Sofyan mengangguk, "Kebanyakan. Benar? Dalam kasus Mas Rayhan disini bisa juga dipicu oleh cedera berat dua bulan yang lalu. Kemudian, menurut riwayat, pemilik rumah sakit ini sebelumnya juga meninggal karena penyakit alzheimer."

"Maksudnya-"

"Kakekku," sahut Rayhan sambil menatap Ralea, "Ayahnya Mama, Ya .... Beliau meninggal waktu aku masih sekolah dasar."

Ralea mengangguk mengerti, Rayhan masih mengingat sesuatu rupanya. Sebelum dipegang oleh sepupu Rayhan, rumah sakit ini dimiliki oleh kakek Rayhan dari Hani. Tidak ada ekspresi khawatir dari wajah Rayhan, ia masih terlihat tenang. Ralea saja malah semakin mengeratkan genggaman.

"Untuk sekarang ini, tidak banyak yang bisa kami lakukan. Karena, kita sudah tau, alzheimer itu nggak bisa sembuh, Mbak."

Ralea menatap Rayhan dengan nanar, "Beneran ... nggak bisa? Nggak ada jalan lain?"

Dokter Sofyan menggeleng, "Mas Rayhan disarankan untuk meminum obat saja rutin, dan yang pasti harus terus diingatkan mengenai obat ini. Akan sangat berbahaya jika penderita alzheimer itu lupa kalau dia sedang mengidap penyakit serius."

Ralea mendengkus sambil menahan tangisnya, wanita itu mengalihkan pandangan dari Rayhan. Sedangkan, suaminya malah menatap Ralea dengan nanar. Rayhan ingin mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja saat ini. Namun, Rayhan juga tau Ralea tidak sebodoh itu.

"Yaya ... aku nggak papa ...." Rayhan menggenggam erat jemari Ralea.

Ralea menggeleng, wajahnya yang sudah penuh tangis masih disembunyikan. Ralea belum mau menatap Rayhan, tetapi laki-laki malah menarik Ralea ke dalam pelukan dengan hangat. Rayhan mengelus punggung Ralea yang mulai bergetar, "Yaya ... aku mungkin akan lupa semuanya nanti ...."

RememberWhere stories live. Discover now