RESTART; 9

4.6K 419 43
                                    

Rambut panjang hitam kecoklatan tertiup angin sabtu siang itu. Ini pertama kalinya Nadhine menaiki motor lagi di Jakarta. Nadhine tak habis pikir Ghibran menjemputnya dengan motor, bukan berarti Nadhine matrealis berharap Ghibran menjemputnya dengan mobil. Tapi acara jalan-jalan berdua mereka setelah delapan tahun lamanya putus terasa seperti acara kencan biasa saat dulu dirinya masih SMA.

Semalam Nadhine memang belum tidur, dirinya sedang membaca beberapa email sembari menunggu air mendidih karena dirinya ingin minum susu hangat. Saat akan kembali ke kamar, Nadhine mendapatkan pesan dari Ghibran. Pria itu mengajaknya keluar siang nanti kalau Nadhine tidak keberatan dan disinilah dia sekarang, duduk di belakang Ghibran.

Ghibran berhenti di sebuah cafe yang masih belum sempurna untuk dibuka. Saat mesin motor sudah dimatikan Nadhine masih terdiam di posisinya memandangi bangunan dengan perpaduan warna coklat, creme, dan putih tulang.

"Mau aku gendong?" tawar Ghibran yang sudah berdiri dengan dua kakinya sedangkan Nadhine masih duduk di atas motor

Nadhine memutarkan bola matanya lalu turun perlahan, Ghibran tak begitu saja menbiarkannya, ia membantu Nadhine turun dengan menahan pinggang gadis itu karena memang motornya cukup tinggi. Sebut saja kesempatan dalam kesempitan, lagipula Nadhine tidak protes.

"Kenapa kesini? Ini belum buka." tanya Nadhine sambil membuka kaitan pengaman helm yang dia pakai.

"Emang belum buka" jawab Ghibran. "Tapi kalau aku kesini pasti dilayanin"

Nadhine heran, sambil meletakkan helm diatas motor dirinya mengernyit memandang Ghibran yang sama sekali tak menghilangkan senyumnya. "Kok bisa?"

"Bang!!" panggil seseorang dengan suara yang cukup keras membuat keduanya menoleh

Ghibran meraih jemari tangan Nadhine, mengisi setiap celah di jemari gadis disampingnya dengan jemari miliknya. Nadhine melirik keabawah melihat tangannya yang tak terlihat di genggaman telapak tangan luas milik Ghibran. Otak Nadhine merasa aneh dengan perlakuan Ghibran, tapi hati Nadhine merasa nyaman saat jemarinya menyatu dengan jemari Ghibran.

Keduanya pun melangkah masuk menghampiri pria muda yang sedang memakai apron dengan berbagai minuman dan makanan tersaji didepannya.

Pria itu melepas sarung tangan dan tersenyum manis menyapa keduanya. Ghibran pun melepas genggaman tangannya, berpindah ke pinggang Nadhine menariknya lebih dekat.

"Ooh jadi ini" ucap sang pria menaik turunkan alisnya. "Kenalin kak, gue Arjuna. Panggil aja Juna. Gue adiknya Bang Ghibran" tangannya terulur menampilkan tato terukir di punggung jari tangannya

Nadhine membalas jabat tangan Arjuna dengan tersenyum. "Nadhine" ucapnya tersenyum kaget.

Untuk apa dirinya dikenalkan ke adik Ghibran?

"Cantik" Arjuna mengedipkan satu matanya kearah Nadhine.

Eh? Nadhine terkesiap. Ternyata sama saja kakak-adik.

"Mau gue patahin tuh tangan atau mata lo gue colok pake kunci motor?" Ghibran menarik tangan Nadhine kasar dari tangan Arjuna

Arjuna hanya terkekeh mendapat perlakuan dari Ghibran. "Emang bener, Kak Nadhine cantik kan?"

Apa yang dikatakan benar apa adanya, Arjuna terpesona oleh kecantikan Nadhine. Jujur saja Arjuna tau siapa aja yang dekat dengan Ghibran kecuali Nadhine, karena memang Ghibran sering berpacaran di club atau di cafe. Jadi tanpa sengaja dirinya akan berpapasan dengan Ghibran. Berbeda saat Ghibran berpacaran dengan Nadhine, pria itu lebih memilih di apartemennya. Sebenarnya Arjuna pun tidak tahu jika Ghibran berpacaran dengan Nadhine jika Giska tidak memberitahunya. Menurut Arjuna, setelah bertemu dengan Nadhine, semua mantan Ghibran terlihat tidak ada apa-apanya dibandingkan Nadhine. Pantas saja Ghibran sedikit tidak waras saat putus.

RESTART [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang