Dos

5.4K 313 7
                                    

Ocehan yang sejak tadi teman sebangkunya, Anton katakan selama pelajaran sejarah ini Alice hirauhkan. Ia lebih memilih penjelasan guru sejarah itu. Memang, guru sejarah sangat membosankan.

Setelah bel pulang berbunyi, hanya beberapa orang yang masih setia di dalam kelas karena penjelasan Pa Budi yang belum jelas. Namun, tiga per-empat murid keluar dari kelas.

Bisa tebak Alice yang mana?

Yup.

Dia menunggu penjelasan guru kimia sampai selesai.

Alice bukan tipe perempuan yang seperti perempuan famous lainnya, mendapatkan nilai yang bagus dengan cara curang. Alice lebih memilih belajar, karena dia ingin menjadi seorang diplomat yang sukses.

Seusai pulang sekolah, Alice langsung tancap gas menuju salah satu toko buku ternama di salah satu mall di Jakarta. Walaupun Alice sering belajar semalaman, dia juga suka membaca novel. Membaca adalah hobinya. Berbeda 180° dengan kakak lelakinya, Alec Lassiter Caine. Anak basket, ramah, malas belajar, dan satu lagi 'tampan.'

Walaupun terkadang Alice tidak suka dengan teman-teman Alec yang sangat 'annoying' jika mereka datang ke rumah, tapi Alice respect dengan kakaknya karena Alec tidak suka mempermainkan wanita.

Setelah memilih novel yang dia suka, Alice langsung menuju kasir dan membayar sesuai harganya. Alice bukan tipe perempuan yang berlama-lama di toko buku. Alice tipe perempuan yang sudah memiliki target novel yang akan dia beli jadi, ketika dia datang dia hanya harus mengambilnya dan membelinya.

•••

"Hey, Alice?" sapaan kakak lelakinya sedikit membuatnya terkejut. Terkadang, Alec pulang malam. Namun sekarang dia pulang sesiang ini. Ini suatu mukjizat.

"Tumben kau pulang cepat, Kak. Kemana laki-laki berhidung belang?" tanyaku sarkastik.

"Ada sesuatu yang gue ingin kasih tau ke lo," Alec diam sejenak lalu menghirup nafas pelan-pelan. "Mom-Dad, mereka--"

Perkataan Alec terhenti akan Alice yang lari membuka pintu dan langsung menancap gas ke rumah sakit.

Dia sudah tau itu, karena dia bisa membaca pikiran.

•••

"Mom?" Alice menemukan mamanya di depan salah satu ruang inap rumah sakit ternama di Jakarta. "Hai, darling. Senang melihatmu. Bagaimana se--?"

"Dimana nenek?" Perkataannya terputus oleh Alice. "Di dalam, with dad."

Bau khas rumah sakit tercium ketika Alice memasuki ruang rawat inap yang ditempati neneknya.

Kau sungguh berpikir Alice akan datang menjenguk orangtuanya?
Hell no.

Hanya neneknya yang dia sayang.

Apakah rasanya enak, ketika orangtuamu menjelek-jelekanmu dan kau sendiri bisa mendengarnya?

Beri Alice mobil mewah, rumah mewah, apasaja Alice tetap akan bilang 'tidak.'

"Alice," Suara tegas Dad-nya yang pertama kali memasuki pendengarannya. Aksen Perancis bercampur Indonesia itu bersatu sehingga terdengar unik. Alice hanya tersenyum tipis menanggapi sapaan Dad-nya, kau harus teliti jika ingin melihat senyum tipisnya.

Berbeda dengan di sekolah, di lingkungan keluarga Alice akan menunjukan sikap aslinya.

"Grand-mere masih dalam pengaruh bius." Perkataan Dad menjawab isi pikiran Alice. Kekuatan membaca pikiran memang diwarisi dari darah Perancisnya. Hanya Alice dan keluarga Dad-nya yang mengetahui kekuatan itu.

Melihat Grand-merenya tertidur menyebkan dia rindu masa kecilnya.

"Tu me manques, grand-mère." (Aku merindukanmu, Nek.) ucapnya pelan, takut membangunkannya pelan.

Alice mencium dahi neneknya, lalu pergi keluar kamar tanpa sepatah katapun.

Alice tidak mau terlihat lemah di depan orangtuanya.

The only problem is, Alice lemah di depan neneknya.

16-04-15

BrokenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang