Twenty Seven

2.3K 155 1
                                    

Pain demands to be felt.

• • •

Sean tetap menuruti langkah kakinya yang bergerak di belakang Alice. Ia tidak pernah sadar bahwa Alice merupakan pelari yang hebat. "Alice!"

Alice tidak menoleh. Tidak menanggapi, sama sekali.

"Alice!" teriak Sean. Dia membungkuk sambil memegang lututnya. Nafasnya terengah-engah. "You're killing me, Alice."

Sean berhasil mengimbangi larinya dengan Alice. Seringai muncul di senyumnya, "Lari lo cepet banget. Kok bisa, sih?"

Sean menggigit bibir bawahnya, "Kalo lo masih marah tentang urusan Chuck, untuk keberapa kalinya, gue minta maaf. C'mon, Lice. Lo gak bisa begini selamanya,"

"Dean!" Alice tiba-tiba bergerak ke arahnya namun, menembus melewatinya. Seakan dirinya tidak terwujud. Matanya seakan nyaris keluar dari tempatnya.

"Akhirnya gue ketemu lo, lagi," ujarnya seraya tersenyum. "Gimana Sean? Masih baik-baik aja sejak gue tinggal, 'kan?"

"Yup, kondisinya bahkan lebih baik sejak lo dateng," balas Dean ceria. "Thanks to you."

Alice hanya tersenyum. Pipinya menggembung lucu. Ada rasa di diri Sean ingin memeluknya dari belakang, lalu mencubit pipinya,

tapi dia tidak bisa.

Sean sadar, tanpa Alice, dia rapuh.

"So, what are you waiting for? Ayo, ke kamar Sean," ajak Alice seraya tersenyum riang.

Sean mengernyitkan keningnya, hal ini sangat susah untuk diproses. Ia lanjut mengikuti kedua anak adam dan hawa di depannya sambil berlari kecil, tanpa sadar

ia terjatuh, lalu segalanya gelap.

• • •

"Makasih banget, Bu, untuk menyempatkan waktu untuk jenguk kakak saya," ujar Dean sambil tersenyum lebar kepada beberapa guru yang menjenguk Sean.

"Sama-sama, Nak. Semoga kakakmu lekas sembuh ya," kata salah satu guru, lalu diikuti oleh ucapan 'amin' dari mereka secara serempak.

"Kami pulang dulu ya, Nak."

Dean mencium punggung tangan setiap guru yang datang, sambil tersenyum tipis. Lacey lalu mengikuti tindakannya barusan. Dean tersenyum. Ia menepuk puncak kepala adiknya pelan, dan mencubit pipinya gemas.

Beberapa menit kemudian, beberapa teman kembali datang. Mereka berada disana selama kurang lebih 15 menit, lalu berpamitan karena sadar bahwa hari sudah sore.

Alice kabur seakan dia buronan yang sudah handal. Sampai saat ini, ia menginap di rumah Rena. Dean mendecakkan lidahnya sambil menatap jam yang menghiasi dinding ruang rawat inap Sean.

"Lacey," panggil Dean sambil memainkan rambut adiknya penuh sayang. "Are you hungry?"

"I'm not," tiba-tiba sebuah suara yang berasal dari perut Lacey terdengar. Dean terkekeh pelan. "Well, i guess i'm hungry."

"I'll buy some meals," ujarnya sambil merogoh saku celananya. "Kamu jagain Abang dulu ya."

Melihat adiknya mengangguk lucu, Dean melangkahkan kakinya keluar dari kamar rawat inap Sean, lalu menutupnya dengan hati-hati.

Ia berisul-siul, mencoba mengalihkan perhatian dari hal-hal yang terpikirkan di benaknya. Kadang, Dean tersenyum jika ada perawat ataupun dokter yang berpapasan dengannya.

"Dean," ia menoleh ke belakang dan melihat Rafi, dan Rafif. "Lo ngapain disini?"

"Kita mau jenguk kakak lo," senyum terukir di bibir Rafif ketika ia menjawab pertanyaan Dean.

"Gimana keadaanya?" Rafi bertanya sambil menatapnya cemas.

Dean menghembuskan nafasnya pelan, "Belom ada kemajuan. Ya, gue cuman bisa doa," ia tersenyum miris. "Gue berasa jomblo ke cafetaria sendiri. Temenin dong,"

"Gue berasa homo setelah denger ajakan lo, Dean," ujar Rafif sambil menatapnya parno.

"Gue masih normal 'kok," Dean menatap Rafif seakan ia adalah peran antagonis dari film Marvel yang akan membunuh siapapun yang membuatnya kesal.

"Gue juga percaya lo normal, Dean," Rafi membalas. Rafi terlihat lebih tenang dari biasanya. Meskipun, Dean sudah lama tidak melihat kedua kakak-beradik yang kembar tersebut, Dean tau bahwa sesuatu telah berubah.

• • •

Alice menyipitkan matanya kepada tulisan dari buku catatan Rena yang ia pinjam. Meskipun mereka bersekolah di sekolah yang berbeda, Alice yakin materi pembelajarannya pun sama. Kakinya mengayun-ayun di kursi yang tersedia di taman belakang rumah sakit.

Tanpa ia sadari, seseorang mengawasinya.
Pria itu, Sean, dalam wujud anehnya menatap Alice sambil tersenyum kecil. Ekspresi perempuan tersebut yang berubah-ubah setiap menitnya, terkesan lucu baginya.

"Sean," ia mendengar Alice memanggil namanya. Ia tahu persis bahwa Alice tidak bisa melihatnya, entah kenapa mulutnya terucap memambalas. "Ya?"

"Kenapa lo bisa kayak gini," ujar Alice pelan sambil menikmati angin yang berhembus. "Kenapa lo harus kecelakaan? Kenapa gue harus ada masalah sama keluarga gue? Kenapa ... dunia itu gak adil?"

Tanpa disadari, setitik air bening turun dari mata indahnya. Sean tersenyum miris. Jika, ia bisa berdoa dan akan dikabulkan oleh Tuhan pada saat itu juga, doa itu bakal menjadi nyata, dan bisa memeluk perempuan rapuh di depannya itu.

Sean tidak menyadari, tubuhnya menjadi transparan. Ia memang transparan, bagi orang-orang di sekitarnya. Mungkin, jika seseorang bisa melihat dengan mata batin, seseorang itu bisa melihatnya. Who knows?
Tapi, ia tidak bisa melihat fisiknya yang sebelumnya bisa dilihatnya.

"Alice!" teriak seseorang, Dean. Nafasnya memburu dan terkesan sedang terburu-buru. "Sean! Sean! Sean!"

Ia mendengar namanya terulang-ulang dipanggil oleh adiknya,

lalu segalanya gelap.

• • •

18-09-2015

BrokenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang