"Jennie, aku tahu itu kau..." ujar Jisoo saat si kucing yang telah kembali ke wujud manusia itu menutupi sekujur badannya dengan jubah di dekatnya.
"Accio..." dengan berbisik pelan, berharap Jisoo tak mendengar, Jennie merapalkan mantra pendekat untuk menemukan tongkat sihirnya. Jennie rasanya rindu memegang benda yang terbuat dari kayu itu.
Tentu saja perasaan tersebut membuat Jennie jijik. Dia kan benci dengan penyihir, tapi kenapa dia malah merindukan benda aneh itu."Jennie? Tidak perlu bersembunyi begitu. Ayolah, kan aku yang sudah membuatkan ramuan itu untukmu." Jisoo terkekeh pelan.
Jennie mengerang kesal, Ia pun perlahan bangkit dari posisi telungkupnya, berdiri menghadap Jisoo dengan jubah yang kini hanya menutupi dari bagian leher ke bawah. Tepat saat Jennie hendak mengancingkan jubah itu, pintu kamar Jisoo terbuka.
"Jisoo!! Kenapa lama sekali?? Hampir saja Miss Pi-----"
Tiga teman Jisoo terhenti di depan pintu, mata ketiga gadis itu membulat kala melihat anak Slytherin berdiri dalam keadaan setengah telanjang di dalam kamar mereka.
"Oh wow...." Hyeryeong tersenyum lebar setelah memperhatikan tubuh Jennie yang terbalut jubah itu. "Aku tidak tahu ternyata kau liar juga, Sooya."
"Hey, b-bukan begitu!!! Kalian salah paham.." Wajah Jisoo merah padam, si jenius Ravenclaw kelimpungan sementara Jennie sendiri hanya bisa menundukan pandangan, menatap lantai sambil menahan malunya.
"Padahal aku tadi bilang kau tidak mungkin pergi ke hutan terlarang itu dengan alasan yang sama seperti Hyeryeong." Cicit Seolhee sambil melengkungkan bibirnya.
"Sooya, aku kecewa jadinya." Timpal Jeongmin sambil menutup matanya.
"Anyway." Hyeryeong menyela, Ia menggandeng lengan kedua temannya itu sebelum tersenyum cerah dan melempar wink nya ke arah Jisoo beserta Jennie yang masih belum bisa menggumamkan kata.
"Kalau begitu, kami pergi dulu. Jangan cemas, nikmati saja waktu kalian. Kami tidak akan ganggu lagi." Lalu menyeret Seolhee dan Jeongmin menjauh setelah menutup rapat pintu kamar."Jen---" Jisoo angkat bicara namun Jennie segera menyelanya.
"So, sekarang kau tahu kucing itu adalah aku." Jennie tertawa mengejek untuk menyembunyikan rasa malunya.
"Kau pasti merasa dipermainkan, ya? Well, anak Slytherin memang begitu. Kau harus membiasakan diri, bodoh."Jisoo menghela nafas lelah, "Aku tidak marah, kau tidak perlu pura-pura---"
"Terserahlah." Jennie mengibaskan rambutnya, lalu mulai berjalan keluar menuju kamarnya.
*****
Bodoh! Bodoh! Bodoh! Jennie memaki diri sendiri setelah Ia keluar dari kamar Jisoo. Kenapa dia bersikap seperti itu?Saat tiba di kamarnya, Jennie langsung memakai seragam serta dasi hijaunya. Ia baru sadar bahwa teman-teman sekamarnya tak menyadari Ia hilang selama seharian kemarin, tidak ada seorangpun yang mencarinya.
Ah, tidak penting juga. Lagipula Jennie pun tidak menyukai mereka. Apanya yang harus disukai dari para penyihir tidak berguna itu?
Jennie menghabiskan hari-harinya seperti biasa, seperti saat dia belum disihir menjadi seekor kucing.
Hari demi hari berlalu, begitupun juga hukuman Jisoo yang kini telah berakhir.
Kedua orang itu beberapa kali berpapasan, atau sekedar saling bertukar pandang, walau terbilang sangat singkat setiap jam makan.Keduanya duduk di jajaran meja yang berbeda, berhubung asal asrama mereka tak sama. Namun Jennie seringkali melempar tatapan ke arah Jisoo. Jennie memperhatikan saat si Ravenclaw itu mengunyah makanannya, atau saat tengah tertawa bersama ketiga teman sekamarnya.
Saat Jennie masuk ke toilet, Ia kembali bertemu dengan Jisoo. Mereka beradu tatap lewat kaca di depan wastafel, Jisoo dengan senyum lembutnya, dan Jennie dengan ekspresi datarnya.
"Apa? Kalau kau berharap mendengarku berterima-kasih, lebih baik lupakan saja." Ujarnya ketus tak bersahabat."Aku sama sekali tak memikirkan hal itu." Bantah Jisoo, menatap lurus cermin di depan sambil memperbaiki dasi birunya.
"Aku tidak punya hutang budi apapun padamu. Kau membantuku atas dasar keinginanmu sendiri, tidak ada paksaan sama-sekali." Lanjut Jennie, fokus membasuh tangannya.
Jisoo terkekeh lembut, "Saat ada orang yang memberikan pertolongan, bukan berarti orang itu mengharapkan imbalan. Jangan khawatir, aku tidak minta apa-apa."
"Tapi kau tidak akan membantuku kalau kau tahu kucing itu sebenarnya aku, kan? Kau juga pasti membenciku. Sama seperti semua orang yang ada disini." Ujar Jennie, mematikan kran.
"Aku tidak membencimu." Bantah Jisoo sekali lagi.
"Harus. Aku melaporkanmu waktu itu."
"Aku sudah melupakannya, Jen."
"Ya kalau begitu jangan dilupakan---"
"Kau itu tuli atau memang keras kepala saja?? Dia tidak membencimu, hentikan kecurigaanmu itu dan bilang terimakasih padanya!!" Tiba-tiba saja, entah dari mana asalnya, Myrtle Merana muncul dan memekik cukup kencang di depan telinga Jennie.
Jennie yang terkejut, langsung melompat memeluk tubuh Jisoo dengan badannya yang gemetar hebat, wajahnya Ia sembunyikan di depan dada si Ravenclaw.
"Sama-Sama." Ujar si hantu setelah melihat Jisoo yang dipeluk erat oleh gadis asal Slytherin itu. Myrtle Merana lalu kembali melayang, menghilang berniat menakuti murid Hogwarts lainnya.
"Jangan takut, tadi hanya Myrtle Merana saja. Hantu dari anak Ravenclaw yang mati di toilet ini. Makanya jarang sekali anak Hogwarts menggunakan toilet yang satu ini. Myrtle memang sedikit jahil, senang membuat siswa lain kaget."
Jennie masih sedikit gemetar dan Jisoo mengusap lembut kepalanya seperti saat Jennie masih seekor kucing. Jisoo mengusap punggung Jennie dan mengeratkan pelukannya."Y-Ya b-bagaimana aku t-tidak t-takut??" Badannya masih gemetar, Jennie semakin menyusupkan diri kedalam pelukan hangat Jisoo. Dia merasa nyaman.
"Dia bukan hantu yang menakutkan. Hanya lumayan berisik saja. Makanya disini memang sepi terus."
Jennie tidak tahu... Pernah beberapa kali dia menggunakan toilet ini tapi tidak terjadi apapun, mungkinkah selama ini dia hanya sedang beruntung saja?
Saat rasa takutnya sudah mereda, dan Jennie sadar bahwa gadis Ravenclaw itu memeluknya, sudah lama pula durasi mereka berpelukan, Jennie dengan cepat mendorong tubuh Jisoo dan melayangkan tatapan tajamnya.
"Kenapa kau memelukku??!" Bentaknya galak."Huh? Kan kau yang melompat dan memelukku tadi. Erat sekali sampai aku agak sulit bernafas." Goda Jisoo yang membuat Jennie kelabakan. Tentunya Ia ingat fakta bahwa memang dia duluan yang memeluk Jisoo. Tapi itu bukan salahnya! Ini semua gara-gara hantu sialan itu!
"Hey, tenanglah.." Jisoo dengan hati-hati mendekat, lalu menyentuh bahu kecil Jennie. Jennie tak suka Jisoo bersikap lembut seperti ini. Dia tidak mau dekat dengan siapapun. Apalagi seorang penyihir.
"Aku tidak menilai buruk anak-anak Slytherin." Lanjut Jisoo, membuat Jennie menaikkan pandangannya dari lantai. Mata mereka yang terkunci membuat Jennie merasa sedikit lemas.
"Aku juga tidak menilai buruk dirimu.""Oh ya? Kenapa? Apa karena kau si bijak dari Ravenclaw?" Jennie memutar bola matanya, kembali menatap lantai.
Jisoo menangkup pipi Jennie, mengangkat wajah cantik itu agar pandangan keduanya kembali beradu. Jisoo berharap Jennie dapat melihat ketulusan yang terpancar dari sorot matanya.
"Kau tidak perlu menjaga jarak atau berhati-hati denganku. Aku tidak akan menyakitimu." Ujarnya lembut."K-Kenapa aku harus mempercayaimu?" Tanya Jennie ragu.
"Aku membantumu kembali ke wujud manusia, kan? Kalau misalkan aku berniat buruk, bukankah seharusnya aku ubah saja kau menjadi seekor keledai?" Candanya.
Jennie yang mendengar itu, memukul pelan bahu Jisoo, membuat si Ravenclaw terkekeh geli dan sialnya suara tawa kecil dari Jisoo malah membuatnya hangat dan tenang. Menyebalkan sekali.
Si Slytherin menarik nafasnya dalam. Bukan hanya mengumpulkan keberaniannya, namun juga menelan bulat harga diri yang terlalu dijunjungnya.
"T-Terimakasih..... k-karena tidak m-merubahku.... m-menjadi keledai..." gumam Jennie pelan dengan matanya yang tertutup rapat.Mata Jisoo melebar, senyumnya merekah hangat. "Aw, menggemaskan sekali!!" Dengan cepat Ia memeluk tubuh Jennie dengan erat.
"Hey!!" Desis si Slytherin.
"Ayo berteman!" Ajak Jisoo sambil mengusap rambut Jennie.
"Stop!! Aku ini bukan maskot. Tidak usah peluk-peluk dan elus-elus lagi." Jujur saja Jennie merasa salah tingkah diperlakukan seperti itu oleh Jisoo.
"Baiklah, baik...." setelah memberikan usapan terakhirnya, Jisoo melepaskan pelukan.
"Kau lancang sekali..." cicitnya dengan pipi yang terbakar, merona.
"Dengar," Jennie kembali berucap, "Kalau kau mau jadi t--- t-tem--- ya pokoknya itulah kau tahu kata T itu,"
Jisoo sekuat tenaga menahan diri untuk tak menertawakan gelagat lucu Jennie yang mencoba bersikap santai itu.
"Kalau mau jadi itu, pokoknya jangan perlakukan aku seperti hewan peliharaanmu lagi!" Tuntutnya.
"Oke, tapi tidak janji ya!" Balas Jisoo dengan cengiran lebarnya.
"Dengar---" sebelum Jennie bisa menyelesaikan ucapannya, seluruh badannya mengeluarkan sinar terang dan Ia melihat kegelapan. Beberapa detik kemudian, dia melihat ke sekitar dan merasakan kaki serta tangannya menapaki lantai.
"Aaarghh! Lagi????!" Keluhnya, namun Jennie heran. Kali ini Ia tidak mendengar dirinya mengeong. Ia malah mendengar suara lainnya.
"Tunggu, a-aku jadi apa sekarang?""Um, Jennie?" Sekuatnya Jisoo menahan tawa dan syukurnya dia berhasil. Ditatapnya Jennie dengan muka penuh keseriusan sambil berkata,
"Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya tapi...... Kali ini kau berubah menjadi keledai.""Apaaaa????!!!" Jennie menoleh ke samping, menatap kaca dan sumpah demi Tuhan kalau saja bukan karena Jisoo yang memeganginya, pasti sekarang Jennie sudah pingsan di lantai.
"Jangan cemas! Aku kan berhasil merubahmu sekali, pasti kali ini aku bisa melakukannya lagi." Jisoo tersenyum lebar.
"Aaargggh, yang benar saja!!" Jennie merengek kesal dan menyumpahi orang yang melakukan ini terhadapnya.
TBC
1419 Words.
Maafkan typo🙏
Jangan lupa vote-comments🙏
Nyeongan! Ppoong!^_^