Delapan

27 4 0
                                    

"Akhirnya datang juga. Lama banget si Asa kaya Putri Solo," seru pemuda jangkung yang dari tadi sibuk melihat pemandangan di belakang kafe.

Di hadapannya ada seorang pemuda mungil yang langsung menggetok kepala kawannya pelan, "Berisik, Jay! Masa putri sih? Pangeran dong."

"Tuh 'kan Eca mah gitu sama Jay. Belain Asa mulu heran. Pilih kasih nih! Nyebelin banget," cibir Jay sembari memanyunkan bibirnya. Eca adalah panggilan masa kecil Mahesa yang sudah lama tidak pernah digunakan lagi karena pemilik nama merasa itu terlalu kekanakan dan tidak keren. Namun, ia tidak akan marah jika dipanggil seperti itu oleh sahabatnya saat hanya ada mereka, tanpa ada gadis atau teman lainnya di sekitar mereka.

"Ya kare–"

"Sorry. Tadi ngumpulin laporan dulu sama bimbingan sebentar. Udah pada pesen?" tanya Kala yang memilih duduk di sebelah Mahesa.

"Oh, gitu. Ngga apa-apa. Udah gua pesenin semua. Tinggal tunggu pesenannya datang aja."

Mendengar jawaban sahabatnya, Kala hanya mengangguk lalu mengecek ponselnya sebentar. Lima menit kemudian pelayan datang membawakan pesanan Jay. Ada dua nasi goreng seafood dan satu nasi goreng spesial, dua piring mix platter, segelas es kopi susu, segelas banana milkshake, dan segelas es matcha latte. Semua pesanan dibayarkan oleh Jay sebagai ucapan permintaan maaf karena membuat hubungan persahabatan mereka jadi sedikit goyah.

"Maafin gua ya, Sa, Ca. Seharusnya gua dengerin penjelasan kalian dulu dan ngga asal menyimpulkan. Maaf karena gua hubungan persahabatan kita jadi agak goyah. Gua sayang kalian, guys. Sorry banget ya?"

"Lain kali jangan diulangi, Jay. Pakai ngatain gua belain Asa mulu lagi," gerutu Mahesa sambil mengunyah kentang goreng yang dicomotnya barusan, "Inget, Jay, kalau ada apa-apa diomongin baik-baik! Bukannya emosi sama hal yang belum jelas terus tutup kuping dan kabur gitu aja."

Kala mengangguk beberapa kali, "Ngga apa. Harusnya gua bilang-bilang dulu kalau gua lagi coba dekatin Nana. Jadinya ngga ada salah paham antara kita. Maafin gua ya, Jay."

"Nah gitu. Kalau ada apa-apa ngomong makanya, Sa. Jangan diem mulu kaya patung pancoran! Biar ngga terjadi salah paham lagi kaya gini. Ngerti?" tanya Mahesa yang juga memberi sedikit nasihat kepada kawannya dan Kala membalasnya dengan anggukan.

"Iya, Sa. Sama-sama. Iya, Ca. Udah jangan marah-marah gitu! Lo gemesin bukan nakutin. Ntar malah diculik tante girang gimana?"

"Lambemu!" Mahesa kembali memukul bahu sahabatnya dengan agak keras. Kala yang melihat Jay mengaduh sambil mengusap bahunya hanya tertawa.

"Sakit ini, Ca. Keras banget sih mukulnya! Ngga like gua," rajuk Jay masih sembari mengusap bahunya pelan.

"Bodo amat ya! Udah ayo makan! Gua laper!" tukas Mahesa kesal, "Lo manggil Eca mulu perasaan. Tumbenan. Setelah sekian lama, lho."

"Ya biarin. Lebih singkat dipanggil Eca sih."

Kemudian ketiganya memakan nasi goreng mereka dengan tenang. Sesekali Jay mengajak bicara dan hanya ditanggapi sekenanya oleh Kala. Sedangkan Mahesa memilih diam karena memang malas bicara jika sedang makan. Akhirnya mereka fokus makan sampai makanan habis baru berceloteh ria membicarakan banyak hal. Ketiganya bercanda dan mengejek satu sama lain meski diselingi dengan pukulan maut dari Mahesa. Siang itu mereka habiskan hingga sore hari karena mumpung ada waktu luang dan kangen juga.

Pukul empat sore ketiga sahabat itu berpisah karena ada kegiatan lain setelah ini. Sebenarnya masih ingin mengobrol bersama, tapi mau bagaimana lagi. Kegiatan mereka tidak bisa ditunda-tunda jadi mau tidak mau harus pulang seakrang. Jay ada jadwal ibadah di gereja jam lima sore nanti, Mahesa harus bersiap sebelum bekerja habis Maghrib, dan Kala hendak mengunjungi kakaknya di rumah sakit selepas membersihkan diri dan salat Ashar.

Survive? [01 Line of Treasure]Where stories live. Discover now