8

350 26 0
                                    

Mata Abidzar mengerjap, ia tiba-tiba terjaga setelah memimpikan seseorang yang sudah cukup lama tidak hadir di mimpinya. Pria itu memposisikan tubuhnya menjadi duduk, menarik laci mengambil sebuah gantungan kunci berbentuk kucing warna hitam.

Abidzar bangkit membuka tirai kamar, matanya menyipit saat sinar matahari langsung menyorot ke netranya. Semalam Abidzar membantu Azzam mengurus bisnisnya, jadi ia harus tidur malam dan sesudah sholat subuh tadi ia kembali tidur.

Azzam menatap ke luar lewat kaca jendela. Tangannya menggenggam erat gantungan kunci itu sambil mengingat mimpinya tadi.

***Abidzar sedang berteduh dari derasnya hujan di sebuah warung bersama seorang gadis yang lebih muda darinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***
Abidzar sedang berteduh dari derasnya hujan di sebuah warung bersama seorang gadis yang lebih muda darinya.

"Lala punya sesuatu buat kakak" Ucap gadis yang menyebutkan dirinya sebagai Lala.

"Apa itu?" Tanya Abidzar penasaran.

"Tara" Gadis itu mengeluarkan dua gantungan kunci berbentuk kucing berwarna hitam dan kuning. Ia memberikan salah satu gantungan kunci itu pada Abidzar.

"Lala tau ini gak mahal. Soalnya sekarang lala gak punya uang banyak, tapi nanti kalau Lala sudah besar, sudah bekerja dan banyak uang, Lala pasti ngasih sesuatu yang lebih mahal" Ucapnya, sambil Menggantungkan gantungan kunci itu resleting tas Abidzar.

"Kakak gak butuh sesuatu yang mahal dari Lala" Ucap Abidzar tatapannya tidak bisa lepas dari sosok yang kini didepannya.

"Kalau gitu Lala bakal kasih cinta Lala buat kakak" Jawab gadis itu sambil nyengir memamerkan gigi putihnya. Abidzar memegang dadanya yang semakin berdebar mendengar tuturan kalimat Lala.

"Dan gantungan ini, agar kakak gak akan bisa lupain Lala. Kakak harus janji sama Lala jangan pernah nikah sama wanita lain selain Lala" Lanjutnya.

Abidzar sangat ingin menggenggam tangan gadis itu. Ia ingin menghangatkan gadis yang sekarang sedang mengigil memeluk tubuhnya sendiri. Tapi Abidzar tidak mau menyentuh gadis itu, karena ia mencintainya maka ia harus menjaganya.

Abidzar melepas jaket yang ia kenakan lalu dilampirkan ditubuh Lala, agar gadis itu tidak lagi kedinginan.

"Kakak kan dari keluarga pesantren, jadi Lala harus merubah diri Lala dulu. Lala janji setelah ini, lala mau pake kerudung" Ucapnya.

Abidzar tersenyum sambil terus mendengarkan ocehan Lala. Suara gadis itu membuatnya tenang. Tak lama Setelah hujan reda sebuah mobil putih berhenti di depan mereka, untuk menjemput Lala.

"Lala pulang dulu ya kak,, kakak juga langsung pulang ya, jangan kemana-mana dulu, takut hujan lagi. Assalamu'alaikum" Pamit Lala ia lalu sedikit berlari ke mobil.

Ia sempat melambaikan tangannya ke arah Abidzar saat mobilnya mulai berjalan.

"Waalaikumsalam. Kakak janji suatu saat kan menikahi Lala. I love you La" Gumam Abidzar setelah mobil yang Lala kendari sudah jauh pergi.

***

"Lala" Gumam Abidzar, manatap gantungan kunci yang ada dalam genggamannya.

"Kamu apa kabar? Maafin kakak karena sudah bikin kamu nunggu lama. Kamu dimana sekarang? Kakak masih mencintaimu La" Lirih Abidzar. Ia tau seharusnya ia melupakan cinta pertamanya itu, ia tau semakin ia mengingat ia akan terjerumus ke dalam dosa besar. Karena Memikirkan seseorang yang bukan muhrim adalah termasuk zina.

Tapi Abidzar tidak bisa Memungkirinya, setiap ia mencoba melupakan gadis itu, hatinya sangat sakit. Abidzar tidak tau kapan rasa ini akan berakhir, yang ia tau cintanya masih sama seperti dulu, masih pada seorang gadis bernama Lala.

"Abidzar" Panggil seseorang.

Ia menoleh mendapati seorang wanita paruh baya berusia enam puluh tahun lebih, namun masih terlihat sangat cantik dimata Abidzar meskipun terdapat kerutan yang cukup kentara diwajahnya.

"Iya umi" Jawab Abidzar. Icha mendekat menghampiri putra sulungnya.

"Kita sarapan yu" Ajak Icha, netranya kemudian tak sengaja menangkap sesuatu yang digenggam Abidzar.

"Memikirkan Lala lagi?" Tanya Icha.

Abidzar menatap sekilas gantungan kuncinya, lalu menoleh lagi keluar. "Apa Abidzar salah masih berharap pada gadis yang Abidzar sendiripun tidak tau keberadaannya" Lirih Abidzar.

Icha menatap keluar jendela mengikuti arah pandang putranya. "Cinta itu anugrah nak. Kita tidak bisa menolak perasaan itu, karena datangnya dari Allah" Ucapnya lalu beralih menatap Abidzar.

"Tapi kamu harus bisa mengendalikan rasa cinta itu. Jangan sampai cinta kamu pada Lala mengalahkan cinta kamu pada sang Penciptanya" Lanjut Icha memberi nasihat.

"Kamu tau kan memikirkan seseorang yang bukan muhrim itu termasuk Zina. Umi tau sulit bagi kamu melupakan cinta pertamamu, umi tidak menyuruh kamu melupakan Lala, karena semakin kamu melupakan semakin kamu teringat dia. Jangan terlalu dipaksakan nak, biarkan semua mengalir sesuai jalannya, umi yakin rasa itu akan hilang dengan sendirinya kalau kamu merelakan dia. Ikhlaslah nak, mungkin dia bukan jodoh kamu"

Abidzar kembali menatap gantungan kunci itu, uminya benar semakin berusaha ia melupakan, semakin ia teringat gadis itu. Abidzar mendekati tempat sampah disudut kamarnya, mulai sekarang ia harus mengikhlaskan gadis itu.

"Umi kebawah duluan ya, kamu jangan lama-lama, Abi sudah menunggu" Ucap Icha lalu beranjak dari sana.

Abidzar menekan dadanya yang sedikit sesak, ada desiran aneh yang tidak mengenakan ditubuhnya ketika melihat benda itu kini berada di tempat sampah. Hatinya sakit.

Abidzar turun ke bawah lalu menuju meja makan, Abi dan Uminya sudah berada disana, belum menyuap nasi karena masih menunggu dirinya.

Abidzar bergabung, dengan lihai tangan Icha menyiukkan secentong nasi di tiga piring kosong, serta lauknya. Merekapun makan dengan khidmat, tidak ada yang bersuara, hanya ada dentingan sendok dan piring beradu yang terdengar.

"Abidzar" Panggil Azzam setelah acara sarapannya selesai.

"Iya abi"

"Umur kamu sudah tiga puluh tahun, apa kamu belum mau menikah?" Tanya Azzam.

"Belum kepikiran abi"

"Sudah lah bi, Abidzar kan laki-laki tidak perlulah ditanya kapan mau menikah, laki-laki itu tidak dipatok usia untuk menikah" Sela Icha membereskan piring kotor.

"Iya, tapi kan mi menikah itu ibadah, Abidzar juga secara fisik sudah siap menikah, mau nunggu apa lagi"

"Iya umi tau, Abidzar juga bukan gak mau menikah, tapi memang jodohnya belum ada"

"Kalau begitu abi carikan calon istri untuk kamu"

"Jangan bi, biarin Abidzar cari calon istri sendiri, jangan ada jodoh-jodohan lagi. Menikah karena paksaan itu gak enak" Jawab Icha membela putranya sambil menuangkan segelas air untuk suaminya.

Icha memang tidak pernah memojokkan Abidzar untuk segera menikah berbeda dengan Azzam yang selalu menanyakan kapan putra mereka menikah. Bukannya Icha tidak ingin Abidzar cepat menikah, tapi ia takut kejadian ia dan Azzam dulu, di alami juga oleh putranya.

"Abi kan sudah tua mi, abi pengen lihat anak kita menikah"

"Nanti Abidzar fikirkan lagi ya bi, Abidzar perlu waktu. Kalau begitu Abidzar pamit, ada urusan bisnis sama Finn. Assalamu'alaikum" Pamit Abidzar, bukan hanya alasan, ia memang sedang menjalankan proyek baru dengan sahabat karibnya. Ia pun pergi meninggalkan kedua orang tuanya, yang pasti setelah kepergiannya mereka akan bermesraan.

______

Bersambung,,,,,

Kritik dan saran tolong sematkan disini.

See you next chap babay❤

Allah First Then You (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang