°° 09 °°

20 4 2
                                    

"Om. Nendra mana om, Nendra?"

"Ze, tenang dulu. Duduk dulu," Arlan memegang pundak gadis itu. Azelia memutarkan matanya mencari Nendra disana.

"Nendra dimana, om? Aze mau ketemu dia," pintanya dengan Panik. Azelia membuka pesan yang dikirim oleh Nendra. Ia menunjukkannya pada Arlan di depannya.

"Nendra bohongkan, om? Gak mungkin dia pergi tanpa bilang sama Aze."

Arlan memandangnya dengan terluka. Ia tahu Nendra dan Aze, dua orang yang sulit di pisahkan. Sejak kecil mereka bersama, bahkan sampai dirinya pindah rumah, Aze juga mengikutinya.

"Aze, dengar om. Nendra gak bohong, om yang kirim dia ke Kairo." Tutur Arlan melihat wajah pedih gadis itu.

Sedetik kemudian Azelia meneteskan air matanya, sembari menggeleng pelan. "Kalian gak bercandakan?"

Arlan menarik napasnya berat, ia membawa masuk gadis itu mendudukkannya di sofa ruang tamu.

"Mama sama Papa kamu gimana kabarnya? Udah lama om gak ketemu kalian," ucap Arlan setelah suasananya tenang.

"Om Arlan tau sendiri gimana. Sekarang mereka malah gak pernah pulang," tuturnya Azelia memainkan tisu di tangannya. Dia terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Arlan menceritakan mengapa ia mengirim Nendra ke sana.

"Sikapnya seperti anak kecil," pungkas Arlan.

Azelia hanya tersenyum kecut mendengarnya. "Aze pamit, om."

"Gak tidur disini aja, udah malem juga. Kamar Nendra kosong tuh," tawar Arlan melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 23.15 WIB.

"Gak usah om, Aze pulang aja," Arlan mengantar hingga ke depan pintu. Dahinya mengkerut bingung.

"Kamu ke sini naik apa, Ze?" Herannya tidak melihat kendaraan miliknya.

"Bawa mobil Nendra, tadi di tinggal sama dia." Jelasnya.

Arlan mengangguk paham. "Oh, yaudah bawa aja mobilnya."

"Ha? Gak usah om, Aze pesen taksi aja." Tolaknya tersentak kaget.

"Gakpapa, di sini juga gak ada yang pake." Mau tidak mau ia menggunakannya. Azelia berkendara sedikit lebih tenang dari sebelumnya. Namun ia juga memikirkan Ravi, ia harus meluruskan perihal yang terjadi di antaranya.

Di tengah jalan ponselnya berbunyi. Ia membukanya. Nendra mengirimkan pesan suara, laki-laki itu juga membagikan fotonya di dalam pesawat.

Azelia berkutik memasang earphone dan mendengarkan pesan suara dari Nendra. Sembari berkendara ia tersenyum mendengar pesan itu.

Azelia mengerutkan dahinya saat memasuki pekarangan rumahnya melihat sebuah motor terparkir disana. Segera ia memasukkan mobil Nendra ke dalam garasinya. Ia keluar dari sana dengan heran.

"Lo? Ada apa?" Ujarnya melihat Ravi berdiri di pintu rumahnya dengan tatapan tidak suka.

"Dari mana Lo? Pergi gitu aja gak tanggung jawab," sarkas Ravi menatapnya penuh kebencian.

"Apa sih? Aneh banget, dateng-dateng uring-uringan gini." Azelia menatapnya dari bawah hingga atas.

"Mira celeka karena Lo, dan Lo pergi gitu aja." Celetuknya dengan nada tinggi.

"Gak usah alay deh, Rav. Mimisan doang kan?!" Azelia mendorong tubuh Ravi yang menghalangi jalannya. Ia membuka kunci pintu rumahnya.

"Mimisan doang kata lo? Tulang hidungnya retak." Pungkas Ravi semakin terpancing emosi.

"Yaudah, nanti juga sembuh," jawab Azelia membelakangi Ravi dengan emosinya disana.

"Lo kenapa sih? Lo berubah tau gak, dimana rasa tanggung jawab Lo yang dulu?!" Ravi terpancing emosinya. Tangannya mengepal menahannya agar tidak semakin meluap.

"Elo yang kenapa Vi?!" Bentak Azelia membalikkan badannya menatap tajam Ravi.

"Buka mata lo. Ngapain gue harus tanggung jawab tanpa buat kesalahan! Gue bilang sekali lagi, Mira jatoh karena ulahnya sendiri dan gue cuma mau bantu dia supaya gak ketiban alat perekam itu!" Tegasnya menahan amarah.

"Percaya atau nggak, terserah lo ... Satu lagi. Lo gak mau temenan sama gue kan? Mulai sekarang kita bukan temen, anggap gak pernah kenal." Pungkas Azelia. Ia membuka pintu rumahnya.

"Tunggu," Ravi mencekalnya.

Dengan cepat Azelia menepis tangan Ravi darinya. "udahlah, gue capek. Percuma gue jelasin." Cetusnya meninggal Ravi di luar sana. Ia mengunci dan membersihkan dirinya.

Ia melemparkan tubuhnya kasar di atas kasur. Menghela napasnya sejenak. Malam yang melelahkan. Merasa sudah cukup ia bangun menggambil handuk lalu membersihkan dirinya.

Beberapa menit ia mengeringkan rambutnya yang basah dengan hairdryer miliknya menghadap cermin kecil. Lalu menidurkan dirinya yang terasa berat. Sekilas ia mengingatkan pesan suara Nendra. Seulas senyuman mengantarnya tidur.

***

"Masih sakit?"

Mira menggeleng pelan. "Udah mendingan,"

"Gue anter pulang," ujar Ravi. Mereka baru saja mengobati lukanya.

"Gak usah, aku bisa sendiri." Tolaknya sedikit gugup. Ia bergidik ngeri mengingat amarah Ravi yang tertuju pada Azelia. Meski begitu ia senang akhirnya Azelia tidak di sukai satu sekolah.

"Sekalian gue balik,"

Mau tidak mau ia menurut begitu saja. Mira naik ke atas motor Ravi dengan ragu.

"Pegangan." Titah Ravi bersiap melajukan motornya. Mira memegang kedua pundak Ravi sebagai pegangannya. Sang empu tidak mempermasalahkannya, ia melajukan motornya dengan kecepatan rata-rata.

Selama perjalanan tidak ada pembicaraan di antara keduanya. Mereka sama sama saling diam bergulat dengan pikirannya masing-masing. Selam beberapa menit Ravi menurunkan Mira di gang yang sama dengan hari dimana ia bertemu Mira di malam itu.

"Gue anter sampe depan rumah aja, gakpapa." Serunya.

"Gak usah, kamu pulang aja. Pasti capekkan," Ujar Mira.

"Makasih, ya untuk hari ini. Makasih juga nganterin pulang," setelah mengatakan itu Mira berlalu dari sana.

Ravi sendiri kebingungan. Entah kenapa Mira selalu menolak jika di antar sampai ke rumah. Tidak ingin membuang waktu, ia segera berlalu dari sana kembali ke rumahnya. Mira benar, hari ini memang melelahkan.

**

Gimana part ini?
Bintangnya Jan lupa atuh, cantik.
Maklumi jika ada typo/salah ketik, ya.

63 Hari & IsinyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang