06

904 69 0
                                    

Mengajari anak SD adalah hal paling menyenangkan. Terus terang, hari pertama aku bisa melewati dengan baik-baik saja dan aku bangga. Rasanya sangat puas ketika melihat anak-anak itu sangat antusias saat kuberikan pertanyaan standart seperti siapa presiden kita, ibukota Negara Indonesia dan hal-hal dasar lainnya. Mereka juga menerimaku dengan baik. Kecuali, Dimas.

Entah dia masih menyimpan dendam karena aku mengatakan ada kecoa di kamar mandi dan membuat dia dimarahi oleh ibunya. Mungkin saja dia merasa harga dirinya hancur karena diomeli di depan cewek. Bisa jadi.

"Gue kan cuman nanya sama dia, apa di daerah sini ada sinyal? Malah dia jawab kalau gue cewek menyebalkan yang manja dan nggak bisa hidup tanpa sosial media. Kesel banget, Fiq!" curhatku pada Fiqih ketika kami berjalan pulang menuju rumah.

Sekolah sudah usah satu jam yang lalu, tapi kami harus berbincang dengan para guru lain agar bisa lebih akrab. Jadilah sekarang baru pulang.

Fiqih tertawa mendengar curhatku dan berkata, "Ya salah lo juga. Udah gue bilang sia-sia lo nyari sinyal di sini. Nggak bakalan ada."

"Gue belum ngasih kabar ke mama," sungutku membela diri. Niatku mencari sinyal bukan semata-mata mau online sosial media. Aku hanya ingin mengabari beliau bagaimana keadaanku di sini.

"Kalau urusan itu lo tenang aja. Gue udah nelpon tante, kok."

"HAH? Kapan?" tanyaku kaget dan menoleh melihat wajah Fiqih yang songong, merasa seperti menjadi pahlawan kesiangan. "Lo dapet sinyal di mana? Jahat banget sih nggak ngasih tau gue!"

"Yaelah, bukan. Gue numpang telpon di rumah Pak Darma kemarin waktu lo mandi. Anak-anak lain juga udah nelpon orang rumah."

"Dan cuman gue yang nggak sempat bicara sama mama?" tanyaku dengan dua sudut bibir mulai turun. Mataku berkaca-kaca dengan bibir mengerucut.

"Nangis? Gitu aja nangis," ledek Fiqih.

Kebiasaan Fiqih, kalau lihat aku begini pasti paling semangat untuk mengejek. Seolah itu bisa membuat dirinya begitu bahagia diatas kesedihanku. Tapi, aku tidak bisa lama-lama marah padanya karena keusilannya tidak sebanding dengan kebaikannya. Dia teman laki-laki yang pengertian menurutku. Siapa saja yang akan menjadi pacarnya nanti, tentulah akan bahagia.

"Kalau udah begini ... gue jadi kepikiran sesuatu deh, Fiq." Aku mulai menggigit bibir bawahku dengan kening mengernyit. Sebuah ide tengah muncul begitu saja di kepalaku. Ide yang menurutku sangat bagus.

"Apaan? Jangan yang aneh-aneh loh, ya."

Aku langsung menyengir dan tersenyum penuh arti. Kuhentikan langkah, begitu pula dengan Fiqih. Lelaki itu menoleh padaku dan langsung memberikan tatapan penuh kecurigaan.

"Entah kenapa feeling gue nggak bagus tentang isi otak lo," ujarnya dengan tangan di pinggang.

Senyumku semakin lebar. "Sini, deh!" Aku menarik lengan kemeja putih Fiqih agar dia bisa lebih dekat. Aku harus berbisik agar tak ada orang yang mendengar, meskipun faktanya hanya ada kami berdua saja di jalanan sepi ini.

Fiqih mendekatkan telinganya dan mendengar kalimat ....

"Gue mau bikin dia jatuh cinta sama gue."

"HAH!" Fiqih langsung menarik mundur badannya. Pupil matanya membesar dan tidak percaya dengan apa yang kukatakan. "Lo naksir sama dia?" Nada suaranya terdengar sangat terkejut tapi bercampur sedikit protes.

"Iya."

"Jangan gila deh, Nad! Tujuan lo KKN itu untuk apa? Bukannya lo semangat KKN karena mau mengajar anak SD. Sejak kapan misi lo berubah haluan jadi cari jodoh begini?"

Benar kan apa yang kukatakan. Fiqih memang sangat protes dengan ideku. Padahal aku tidak menaksir sama sekali dengan Dimas. Meski dia sangat tampan dan untuk jadi model majalah pun lelaki itu memenuhi kualifikasi. Tapi, untuk menjadi pacar yang sempurna sepertinya dia bukan pilihan yang bagus. Judes, sih!

"Gue nggak bilang mau cari jodoh. Gue cuman bilang kalau pengen bikin dia suka sama gue. Itu aja. Apa yang aneh?" heranku.

Lantas kulihat Fiqih menggelengkan kepala seraya memijat keningnya. Aku hanya diam memerhatikan bahasa tubuhnya yang jelas menolak dengan keras tentang ideku ini.

"Nggak ada untungnya, Nadine." Sekali lagi Fiqih mencoba untuk menasehatiku.

Kata sahabatku, Silvi, aku memang gadis yang keras kepala. Tentu saja nasehat Fiqih tak akan masuk ke dalam otak aku ketika aku menginginkan sesuatu. Sebut saja aku tipe cewek yang begitu ambisius.

Kudengarkan sekali lagi kalimat protes yang keluar dari mulut Fiqih dengan bibir manyun. Tanda aku tak menerima penolakan, aku hanya ingin dukungan.

"Pokoknya aku tetap akan mendekati dia!" tegasku dengan kedua tangan di pinggang dan dagu terangkat.

Tuk! Fiqih langsung menyentil dahiku dan membuatku meringis.

"Ambisius boleh. Tapi, jangan terlalu bego juga dong, Nad. Nggak ada untungnya bikin dia suka sama lo. Kita KKN cuman tiga bulan. Nggak bakalan bisa bikin dia suka sama lo. Lihat aja gimana orangnya, dingin gitu."

"Kalau gue bisa, gimana?" tantangku, masih mengelus dahiku yang disentil Fiqih tadi.

Fiqih mengangkat satu alisnya. Dia tidak percaya dengan kemampuanku. "Gue nggak mau taruhan apapun. Gue mau tenang menjalani KKN di sini. Gue mau cepat lulus dan kerja," ketusnya.

"Dih! Tujuan gue juga gitu, kok."

"Jelas bukan. Lo aja udah berpindah misi begitu. Gue skeptis kalau gini jadinya. Jangan-jangan setelah lulus lo malah nikah," ucapnya tanpa beban dan dosa.

"Enak aja!" Mataku langsung melotot mendengar itu.

Sementara Fiqih hanya terbahak-bahak lalu menarik tasku untuk kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah. Selama perjalanan, aku sudah bertekad. Tekad yang sangat bulat bahwa ingin membuat Dimas suka dan perhatian padaku. Entah bagaimana caranya. Harus bisa!

*

Starry Night [END]Where stories live. Discover now