13

793 69 0
                                    

Pulang bersama Dimas banyak pertanyaan-pertanyaan yang dia lontarkan. Aku tidak tahu kalau ternyata dia adalah lelaki yang memiliki pengetahuan luas. Setiap jawabanku pasti akan dibahasnya. Entah dia memang memiliki hobi berdebat atau memang jawabanku yang kurang memuaskan baginya.

Sesekali dia juga bisa membuatku tertawa dengan lawakan yang menurutnya itu sama sekali tidak lucu. Cara dia menyampaikan sesuatu harus disertai dengan gesture dan gerakan tangan yang membuatku sedikit berlebihan. Tapi, wajahnya yang serius itu membuatku tak bisa menahan tawa.

"Kenapa kamu selalu tertawa? Saya lucu atau apa?" herannya.

Aku hanya menutup mulut dengan tangan kanan dan tangan kiri mengibas. "Tidak apa-apa," jawabku di sela-sela tawa.

"Malam ini sepertinya akan kita tunda," kata Dimas tiba-tiba.

"Ada apa?" heranku karena dia berniat menunda rencana kami untuk jalan-jalan berdua.

"Lihat saja langitnya. Mendadak mendung seperti itu. Saya yakin pasti malam ini akan hujan deras."

Lantas aku menadahkan kepala dan melihat langit yang tadinya biru cerah sekarang awannya berganti menjadi kelabu. Ekspresiku yang tadinya riang langsung murung sama seperti cuaca sekarang.

Sepertinya Dimas sadar dengan perubahan air mukaku, dia langsung berjalan di depanku lalu memutar badannya agar menghadapku. Aku menghentikan langkah dengan wajah bingung.

"Ada apa?" tanyaku.

"Bukankah masih ada hari esok?"

"Ya, gue tau ... cuman‒"

"Jangan menyalahkan hujan, ya." Kalimatnya seolah meminta agar aku tidak mengutuk hujan yang akan turun dalam waktu kurang lebih satu jam lagi kira-kira. Aku bukan peramal hujan, tapi setidaknya setelah berada di desa yang sering sekali hujan ini, aku bisa menebak-nebak durasi rintik air yang jatuh dari langit itu.

"Nggak," jawabku bohong. Baru saja aku merasa kesal karena hujan harus turun di saat waktu yang tak tepat.

"Hujan itu berkah," kata Dimas.

Aku mengiyakan dan mengangguk. Kalimat seperti itu sudah sering aku dengar.

"Lagipula, menatap hujan bisa membuat hatimu tenang," lanjut Dimas.

"Sepertinya lo suka banget sama hujan, ya."

Dimas tidak mengelak. Dia mengaku kalau dirinya memang suka dengan hujan. "Selepas hujan selalu ada pelangi. Itu yang membuat saya tidak pernah membenci hujan."

Aku termangu mendengar kalimat sangat sederhana itu. Seperti secara tidak langsung Dimas sedang mengatakan arti lain dibalik kata-katanya. Pelangi setelah hujan. Ada keindahan setelah kegelapan.

"Bagaimana kalau ternyata hujan bikin lo galau?" pancingku.

Dimas mengernyit sebentar, berusaha mencerna kalimatku. "Maksudmu hujan membawa kenangan masa lalu seperti kata orang-orang?"

"Iya."

"Hmm ... kenapa harus galau saat menatap hujan? Daripada mengingat masa lalu, kenapa tidak membayangkan masa depan saat turunnya hujan?"

"Memangnya bisa?" tanyaku.

"Bisa. Kamu harus mencobanya. Membayangkan masa depan saat rintik hujan. Kamu pasti akan menyukai hujan setelah itu."

Aku hanya diam. Semua usulnya sudah aku catat baik-baik dalam hati. Aku akan mencobanya ketika hujan turun nanti. Pasti.

*

Pukul tujuh malam. Aku hanya bisa menarik napas panjang dan mengembuskan dengan kesal. Ternyata benar-benar hujan sekarang. Jelas semua rencana itu akan ditunda.

Starry Night [END]Where stories live. Discover now