Tawaran Pernikahan

59 2 1
                                    

Prang!
Gelas ditanganku berguling jatuh di lantai. Sisa wine pun berceceran. “Apa? Menikah?” seruku terperanjat kaget. Dia tersenyum lalu menyodorkan selembar kertas. Mataku melirik kertas di atas meja.

“Aku akan melunasi semua utang ayahmu beserta bunganya. Asal kamu menikah kontrak denganku,” katanya membuatku menelan ludah. Utang ayah yang menimbun tidak akan sanggup kulunasi walau bekerja seumur hidup. Tapi tawaran pria asing ini cukup menggiurkan. Aku bisa melunasi utang ayah asal menjadi istrinya. Lagipula kami hanya menikah kontrak. Takkan ada pihak yang dirugikan. “Hanya setahun,” lanjutnya.

“Baiklah aku setuju,” sahutku mengambil kertas dan membacanya sekilas. Lalu dengan cepat kububuhkan tanda tangan. Dia tersenyum. “Tapi apa aku hanya cukup menjadi istrimu?”

“Tentu saja. Aku membutuhkan status istri agar bisa mendapatkan posisi Duke,” sahutnya terkekeh. Mataku terbeliak kaget mendengarnya. Sontak kutatap dia tanpa berkedip.

“Duke?” dia terkekeh lagi lalu menatapku.

“Iya. Jadi kamu tidak tau identitasku?” aku menggelengkan kepala.

“Vin De Amsberg.”

“Asha.”

“Senang berkenalan denganmu. Mulai besok aku akan menjemputmu,” ucapnya mengejutkanku.

“Se-Secepat itu? Tapi aku tak tau tata krama bangsawan,” ucapku terbata.

“Tenang saja. Aku sudah mengundang guru ternama untuk mengajarimu. Waktuku tak banyak. Para tetua itu semakin berisik dari hari ke hari.”

“Baiklah. Besok aku akan bersiap.”

“Baguslah semakin cepat masalah diselesaikan,” ucapnya meneguk wine hingga tandas. Tak ada pembicaraan diantara kami hingga larut menyapa. Setelah menghabiskan satu botol wine barulah Vin pulang ke rumah. Dia sudah dijemput oleh kereta kuda. Walau menawariku untuk pulang bersama tapi tetap kutolak. Lagipula jarak rumahku sudah dekat. Hanya berbatas satu rumah dari kedai minuman. Jadi aku tak perlu takut untuk pulang sendirian.

Aku memasuki kamar dan langsung
berbaring di kasur. Mataku menatap langit langit kamar yang usang. Pikiranku menerawang jauh. Mungkin kali ini nasibku akan berubah, batinku menghela napas. Lelah berpikir aku pun tertidur pulas.

***

“Selamat datang nona Asha,” sapa para pelayan berjajar rapi. Mereka membungkuk hormat. Aku yang melewati mereka hanya tersenyum kikuk.

“Silakan nona ikuti saya,” ucap seorang pria tua mendekatiku. Aku mengangguk lalu mengikuti langkahnya. Begitu kakiku memasuki kediaman Amsberg langsung disuguhi kemewahan. Semua perabotan rumahnya berkelas. Berbeda dengan rumahku yang dipenuhi perabot usang dan rusak. Memang kalau dari kelas bangsawan tidak bisa dibandingkan.

Rumor tentang kekayaan keluarga Amsberg bukan hanya isapan jempol belaka. Kekayaannya setara dengan milik kekaisaran. Mataku mengedarkan sekitar dengan takjub. Betapa beruntungnya wanita yang dinikahi duke bisa hidup dalam kecukupan tanpa memikirkan uang untuk hari esok. Aku menghela napas pelan. “Nona Asha ini kamar anda,” ucapnya menyadarkanku dari lamunan.

Aku berhenti menatap pintu kamar. “I-Iya. Terimakasih sudah mengantarkan saya.”

“Nona apakah nanti sore kelasnya bisa dimulai?” aku terdiam berpikir sejenak. Sebaiknya, aku cepat belajar tata krama agar bisa lekas menguasainya.

“Bisa,” sahutku singkat yang diangguki pria paruh baya itu.

“Baiklah. Nanti akan saya sampaikan pada tuan Vin. Lalu apakah anda ingin memakan sesuatu?” aku menggelengkan kepala. Dia tersenyum lalu berkata, “Mohon maaf jika terlambat memperkenalkan diri. Panggil saja orangtua ini Josua. Saya adalah kepala pelayan di kediaman Amsberg. Jika nona membutuhkan sesuatu anda bisa memanggil saya.”

“Terimakasih paman Josua.”

“Tidak usah panggil paman. Panggil saja saya dengan nama,” aku menggelengkan kepala. Menurutku memanggil nama orang yang lebih tua tidaklah sopan. Jadi lebih nyaman jika memanggilnya paman/bibi tergantung gender.

“Ayah saya sering bilang bahwa memanggil orang yang lebih tua dengan paman atau bibi. Jadi paman Josua mulai sekarang harus terbiasa dipanggil paman oleh saya.”

“Sungguh gadis yang baik. Orangtua ini sungguh terharu. Terimakasih.”

“Tidak perlu berterimakasih paman.”

“Baiklah. Paman permisi dulu. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin paman bicarakan denganmu. Tapi waktu kita terbatas,” ujar paman Josua sambil melirik jam saku di jasnya.

“Tak apa paman. Lain kali kita pasti bisa berbincang lagi,” kataku yang diangguki paman Josua. Sepertinya pekerjaan paman Josua sangat banyak. Sehingga tak bisa menemaniku lebih lama.

“Kalau begitu nona selamat beristirahat,” ujar paman Josua membungkuk lalu berbalik pergi meninggalkanku. Aku menghela napas lalu membuka pintu kamar. Aku berseru takjub melihat ruangan luas bercat biru laut. Lemari pakaian dengan ukiran emas menghiasinya. Lampu kristal yang menerangi kamar ketika gelap. Dan kasur empuk yang nyaman ditiduri. Seperti mimpi yang terwujud nyata. Aku berbaring menikmati empuknya kasur. Aroma lavender tercium menyeruak.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu mengalihkan pandanganku. Sontak aku bangkit dari kasur dan beringsut turun. Kubuka pintu perlahan dan tampak Vin berdiri dihadapanku. “Vin ada perlu apa kemari?” tanyaku sopan. Kepala Vin melonggok ke kamarku. Senyuman tersungging di bibir.

“Bagaimana kamarnya? Nyaman?” aku mengangguk. “Apa kamu sudah makan siang?”

“Belum.”

“Bagaimana jika kita makan siang sambil membicarakan kesepakatan kita?”

“Boleh,” dia tersenyum lalu mengulurkan tangan. Ragu kuterima ulurannya sembari tersenyum. Sepanjang jalan kami bergandengan tangan. Pelayan yang melihat kami hanya berbisik dengan wajah bersemu merah. Begitu aku melihat ke arah mereka. Malah tersenyum kegirangan.

“Ada apa?” tanya Vin mengalihkan perhatianku. Dia mengikuti arah tatapanku. Pelayan yang berbisik tadi terkesiap dan bergegas bubar. “Apa mereka menganggumu?”

“Tidak,” sahutku cepat.

“Jika ada yang mengusikmu katakan saja padaku. Atau kamu bisa mengurus mereka. Ingat sekarang posisimu adalah nyonya Amsberg,” ujarnya yang kuangguki.

Walau hanya setahun. Rasanya tak rugi jika aku menikmatinya, batinku. Tak lama kami tiba diruangan makan. Begitu kami masuk, berbagai macam masakan sudah terhidang. Pelayan yang melihat kami pun segera pergi menyisakan aku dan Vin.

“Silakan duduk,” ujar Vin menarikkanku kursi. Aku tersenyum lalu duduk.

“Terimakasih Vin.”

“Tidak masalah. Apapun akan dilakukan untuk calon istriku,” katanya membuatku berdehem. Dia terkekeh lalu menyuap sup.

“Makanlah selagi hangat.”

Aku pun segera menyendok sup dan mencicipinya. Mataku berbinar merasakan kelezatannya. “Ini sangat enak,” pujiku kegirangan lalu menyuap sup lebih banyak.

“Syukurlah jika kamu suka,” katanya menghabiskan sup hingga tandas. Begitu juga aku. “Tentang masalah pernikahan sebaiknya kita laksanakan dalam dua hari kedepan.”

“Du-Dua hari kedepan?”

“Iya. Para tetua itu sangat tidak sabar untuk melihatmu. Jangan khawatirkan hal lain. Aku sudah melunasi semua utang ayahmu. Jadi fokuslah dalam mempelajari tata krama,” ujarnya menyodorkan nota bukti pembayaran. Aku menelan ludah mengambilnya. Pupil mataku bergetar melihat tanda lunas tertera. Akhirnya utang yang menjadi cambuk kehidupan kami terlunasi dengan mudah.

“Terimakasih tuan Vin. Aku akan berusaha keras,” ujarku penuh semangat.

“Buktikan saat acara pernikahan berlangsung. Aku tak bisa lama disini. Aku harus pergi. Sebentar lagi gurumu akan tiba. Josua antarkan Asha ke kamarnya,” paman Josua memasuki ruang makan dan menghampiriku. Aku tersenyum bangkit dari kursi.

“Aku permisi dulu,” pamitku melewati Vin yang masih duduk di kursi. Lalu mengikuti paman Josua menuju kamar.

Istri Bayaran DukeWhere stories live. Discover now