Serangan Monster

25 0 0
                                    

Malam sudah menyapa kota. Akhirnya kelas pertamaku sudah selesai. “Baiklah. Sampai bertemu besok,” pamit madam Kala meninggalkanku di ruangan.

“Iya madam. Selamat jalan,” setelah madam Kala pergi jauh. Aku pun langsung terduduk lemas. Selama kelas berlangsung terasa menyiksa. Semuanya harus diperhatikan agar tampil sempurna. Kehidupan bangsawan yang melelahkan, rutukku dalam hati.

Tok! Tok! Tok!

“Nona apakah anda ada didalam?”
“Iya. Masuklah,” pintu pun dibuka lebar. Paman Josua membungkuk hormat padaku. “Ada apa paman?” tanyaku penasaran.

“Waktu makan malam sudah tiba. Tuan Vin sedang mencari anda,” aku mengangguk lalu bangkit dari kursi. Dan mengikuti langkah paman Josua menuju ruang makan. “Silakan nona,” kata paman Josua membukakan pintu. Kuanggukkan kepala sebentar lalu melangkah masuk. Tampak Vin sedang duduk santai. Namun, dia tak menyentuh satu pun makanan yang terhidang. Seolah sedang menungguku. Aku menepis pikiran barusan. Tidak mungkin Vin mau melakukannya kalau bukan karena sandiwara pernikahan kami.

Hubungan yang harmonis diperlukan untuk jadi gosip agar keyakinan publik akan pernikahan kami tidak menimbulkan kecurigaan.

“Selamat malam Vin,” sapaku yang diangguki Vin.

“Bagaimana kelasmu?” tanya Vin begitu aku duduk di kursi.

“Lumayan sulit,” kataku mengembuskan napas. Teringat lagi kelas tata krama yang diajari oleh madam Kala.

“Sesulit apapun kamu sudah berusaha yang terbaik,” ujar Vin mengiris steik daging lalu dikunyah. Aku terdiam mendengar nasihat Vin. Apapun yang dikatakannya selalu mengandung makna.

“Iya aku akan berusaha semaksimal mungkin. Jadi tak perlu cemas aku akan mempermalukanmu di pergaulan kelas atas,” ujarku penuh keyakinan.

“Besok ada kelas dansa,” ujar Vin mengejutkanku. Sontak kepalaku tertoleh ke arahnya. Kelas tata krama saja sudah menguras energiku apalagi kelas dansa. Membayangkan saja sudah membuatku lelah. “Kenapa? Apa ada masalah?”

“Ti-Tidak. Aku pasti bisa melakukan yang terbaik.”

“Jangan terlalu dipaksakan. Kalau kamu tidak bisa bukan berarti orang payah. Masih banyak bangsawan lain yang tak bisa berdansa,” kata Vin meneguk segelas air putih hingga tandas. “Atau kamu mau diajari samaku?” tanya Vin melirikku.

“Tidak usah. Aku tak mau merepotkanmu. Pekerjaanmu saja sudah banyak jadi lebih baik tak perlu lakukan hal yang sia sia.”

“Baiklah. Jika kamu berkata begitu,” ujarnya bangkit dari kursi. Sepertinya selama kami mengobrol tanpa kusadari dia sudah selesai makan.

“Nikmati makananmu. Kita akan bicara lagi nanti,” lanjutnya meninggalkanku sendirian. Dengan lemas aku pun menyantap steik. Rasanya sungguh lezat dan enak. Selepas menghabiskan steik tanpa sisa dan desert aku pun memutuskan istirahat di kamar.

Rasanya tubuhku remuk dan lelah. Aku pun berbaring di kasur. Baru saja kupejamkan mata suara gaduh terdengar di balik pintu. Sontak aku turun dari kasur dan membuka pintu. Beberapa pelayan tampak berkerumun di depan pintu memperhatikan sesuatu di lorong.

“Ada apa?” tanyaku mengalihkan pandangan mereka. Tubuh mereka bergetar ketakutan.

“I-Itu ada mon ... monster,” ujar mereka terbata. Dahiku berkenyit melihat gerombolan prajurit kediaman Amsberg di ujung lorong. Mereka berbaris sambil mengacungkan pedang. Tapi, tak ada sosok Vin disana. Suara raungan pun terdengar memecah keheningan malam.

Para pelayan yang bersamaku menjerit ketakutan. “Kalian masuk ke kamar,” titahku melangkah keluar.

“Ta-Tapi nona Asha diluar bahaya. Sebaiknya anda saja yang masuk ke dalam,” aku menggelengkan kepala.

“Apakah kediaman ini sering didatangi monster?”

“Tidak. Hanya sewaktu tuan Vin tak ada dirumah baru monster ini bisa masuk,” pantas saja aku tak melihat Vin disini. Sepertinya dia pergi kesuatu tempat. Aku mengembuskan napas kasar.

“Baiklah. Biar kuhadapi monster yang menganggu waktu istirahat,” ujarku menghampiri gerombolan prajurit. Begitu langkahku semakin dekat wujud monster itu terlihat jelas. Dia adalah cerberus, monster tingkat atas yang ada didunia bawah. Prajurit yang menghadapinya pun kewalahan. Pasalnya cerberus bisa menyeburkan api yang membakar apapun. Aku menyibak kerumunan hingga bisa berada di depan.

Anjing raksasa berkepala tiga ini menggeram. Aku mengedarkan sekitar melihat kepulan asap. Kobaran api membakar apapun disekitarnya. “Nona Asha apa yang anda lakukan disini? Disana bahaya,” ujar salah satu prajurit mengalihkan pandanganku.

“Tidak apa,” sahutku singkat sambil tersenyum. “Bisakah kalian berikan aku pedang?” pintaku membuat mereka saling tatap. Kediaman Amsberg seharusnya tempat aman dari apapun termasuk monster. Tapi ketika Vin pergi kediaman ini langsung diserang monster. Artinya ada yang tidak beres disini. Bagaimana bisa keamanan disini lebih buruk dari hutan? Pikirku menghela napas. Apalagi kedatangan monster tingkat atas menjadi suatu pertanyaan di benakku. Kurasa ada pemicu yang bisa membuatnya mendatangi kediaman Amsberg.
Cerberus meraung kencang hingga membuatku mundur beberapa langkah. Embusan napasnya terasa membakar kulit. “Cepatlah! Aku tak punya waktu banyak,” ujarku yang dengan cepat diberikan pedang. Kutatap pedang ditangan. Sudah lama sekali aku tak menyentuh senjata sejak tinggal disini.

“NONA AWAS!” pekik prajurit di belakangku. Aku mendongak melihat semburan api yang mendekat. Dengan gesit aku menghindar.

Blar!

Api berkobar melelehkan marmer. Beruntung aku dengan cepat menghindar. Jika tidak pasti tubuhku sudah hangus. Salah satu kepala Cerberus mengarah padaku. Semburan api keluar dari mulutnya. Lagi aku berkelit menghindar. Tapi naas percikan api mengenai bahuku. Luka bakar pun dengan cepat menjalar. Aku meringis kesakitan.
Cerberus menghentakkan kakinya di lantai. Tempatku berpijak bergetar hebat hingga membuatku limbung. Semburan api keluar lagi dari mulutnya. Aku berdecih sekali lagi berkelit menghindar. Para prajurit hendak merangsek maju. “Jangan ada maju selangkah pun atau nyawa kalian akan melayang,” titahku membuat mereka keheranan.

“Tapi nona keselamatan anda lebih utama. Kami tidak mau terjadi hal buruk,” ujar salah satu prajurit khawatir.

“Pokoknya dengarkan perintahku. Jangan ada maju satu orang pun,” ujarku tegas lalu merangsek maju. Dengan cepat aku melompat setinggi kepala cerberus. Lalu mendarat di atas salah satu kepalanya.

Dia mengeram marah lalu kepalanya digoyangkan. Tanpa menunggu waktu lama aku menancapkan pedang di kepalanya. Lolongan kesakitan terdengar. Darah bercucuran membasahi lantai. Prajurit melihat pertarungan kami tanpa berkedip. Tak cukup dengan serangan tersebut. Aku menarik pedang dan melompat ke lehernya. Kuayunkan pedang sampai lehernya terputus. Kepalanya pun berguling jatuh ke lantai. Gerombolan prajurit bersorak kegirangan melihat kemenanganku. Napasku memburu cepat. Luka bakar dibahuku kembali terasa pedih dan nyeri. Meski sebelumnya, aku sudah sering berhadapan monster demi uang. Tapi baru kali ini aku kewalahan. Ukuran monster yang lebih besar membuatku harus bergerak gesit. Apalagi aku sempat terkena serangannya.
Aku melompat turun dari tubuh Cerberus. Pedang ditangan kupegang erat. Mataku awas memperhatikan Cerberus. Suara lolongan terdengar pilu.

Dua kepala lainnya menatapku berang. Monster itu membuka mulut lebar. Dalam serempak semburan api mengarah kepadaku. Aku tak berkedip melihatnya. Tubuhku mendadak terpaku. Kobaran api itu semakin mendekat. Samar suara pekikan prajurit terdengar.

Blar!

“NONA!”

Link lanjutannya :

https://share.novelme.id/starShare.html?novelId=101113&chapterId=null

Istri Bayaran DukeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang