Kelas Tata Krama Bangsawan

24 1 0
                                    

“Sepertinya tuan Vin sangat mencintai anda,” goda paman Josua melirikku. Aku terdiam menggaruk kepala yang tak gatal. Jika saja dia tau tujuan Vin menikahiku mungkin aku takkan mendengar perkataannya barusan. Aku hanya istri bayaran untuk mengamankan posisi Duke. Jika posisinya menguat kami akan segera berpisah. Dan itu sudah jelas dalam kontrak. Jadi tak ada gunanya aku mengharapkan lebih terutama cinta. Asal utang ayah lunas aku bisa melaksanakan tugas tanpa terkendala.

“Paman apakah tau siapa guruku nanti?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.

“Tau. Dia adalah madam Kala. Bunga sosialita pada masanya,” mataku terbeliak kaget. Mendengar namanya saja sudah jelas dia orang hebat. Sepertinya Vin ingin aku menguasai tata krama dengan sempurna sampai mengundang bunga sosialita. “Dia guru yang hebat. Banyak keluarga bangsawan yang mengundangnya jadi guru. Tapi kebanyakan ditolak. Hanya tuan Vin yang diterima undangannya untuk menjadi guru anda,” lanjut paman Josua.

“Vin sangat hebat sampai bisa mengundang orang penting,” pujiku membuat paman Josua tersenyum bangga. Dia berdehem sekejap.

“Tentu saja. Tuan Vin adalah orang terhebat kedua di kekaisaran. Selain tampan dia juga ahli dalam berpedang sejak masih kecil,” kata paman Josua dengan semangat menggebu. “Dan dia adalah pria beruntung yang bisa menikahi gadis sebaik dirimu,” lanjut paman Josua menatapku teduh. Aku menelan ludah.

“Te-Terimakasih atas pujiannya paman,” ucapku menundukkan kepala. Wajahku pun bersemu malu dipuji oleh paman Josua. Karena baru pertama kali ada yang orang memujiku. Selama usiaku 19 tahun hanya cacian dan makian yang kudengar. Bahkan tak jarang aku kerap dipukuli sampai pingsan. Hidup dalam rantai kemiskinan menjadikanku bahan olok olokan tetangga sekitar. Belum lagi sejak ibu meninggal, ayah selalu dirudung utang. Alasan kami berutang pun masih jadi pertanyaan. Ayah tak pernah mengatakan apapun terkait alasan dia berutang. Bahkan sampai aku menjual pernikahanku untuk melunasi utang pun ayah tak mengatakan apapun. Seolah itu adalah hal wajar dan tak perlu dipertanyakan.

“Apa ada sesuatu yang menganggu pikiran anda nona Asha?” tanya paman Josua membuyarkan lamunanku.

“Hanya teringat sama ayah,” sahutku.

“Apakah nona merindukannya? Mungkin saya bisa menyampaikan pada tuan Vin.”

“Tidak usah paman,” tolakku menghentikan langkah di depan pintu kamar. Tak terasa kami sudah tiba. “Terimakasih paman sudah mengantar saya ke kamar.”

“Tidak masalah. Itu sudah menjadi tugas saya. Selamat beristirahat nona Asha. Saya permisi dulu,” pamit paman Josua membungkuk lalu pergi meninggalkanku. Hela napas terdengar. Aku memperhatikan punggung paman Josua sampai menghilang di tikungan lorong.
Andai saja paman Josua ayahku pasti kehidupanku akan membaik, batinku membuka pintu lalu masuk ke dalam.
Kurebahkan diri di kasur empuk. Mataku terasa berat selepas menghabiskan semangkuk sup. Mungkin karena kekenyangan aku jadi mengantuk. Berulang kali aku menguap hingga mataku tanpa sadar terpejam.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu mengusik tidur lelapku. Dengan malas kubuka mata lalu menguceknya. Aku menguap lalu turun dari ranjang.

Kriet!

Pintu terbuka lebar menampilkan paman Josua dan beberapa pelayan di belakangnya. Dia tersenyum melihatku. “Maaf menganggu tidur nona Asha. Sekarang waktunya anda bersiap. Kelas sebentar lagi akan dimulai,” kata paman Josua menyadarkanku dari kantuk. “Kalian cepatlah masuk lalu dandani nona Asha secantik mungkin,” lanjut paman Josua menoleh ke belakang.

“Baik kepala pelayan,” sahut mereka serempak dan memasuki kamarku. Aku yang berdiri di ambang pintu hanya terpaku. Tanpa sempat mengatakan apapun para pelayan dengan sigap bekerja. Mulai dari membantuku mandi, berganti pakaian sampai mendandaniku. Dalam waktu singkat aku sudah selesai dirias oleh para pelayan. Bahkan sampai tak mengenali bayanganku dicermin. Aku seperti orang asing.

“Wah nona Asha sangat cantik,” puji salah satu pelayan dengan mata berbinar. Para pelayan mengerumuniku sambil berseru kegirangan.

“Wajar saja tuan Vin sampai tak bisa berpaling ternyata nona Asha secantik ini.”

“Iya aku setuju. Belum lagi hatinya sangat baik,” aku tersenyum
mendengar pujian mereka.

“Terimakasih pujiannya. Tapi berkat kemampuan kalian meriasku. Aku jadi bisa secantik ini,” pujiku balik masih menyunggingkan senyuman.

“Astaga nona! Saya sungguh tersanjung mendengar pujian anda. Benar yang dikatakan oleh kepala pelayan anda benar benar gadis yang baik.”

“Anda benar benar cocok jadi nyonya Amsberg,” semakin didengar pujian mereka makin berlebihan. Meski risih tapi melihat respon baik dari pelayan artinya aku diterima di sini. Sejauh ini berjalan mulus tak ada kebencian dari para pelayan mengenai statusku dari kalangan bawah.

“Nona Asha apakah anda sudah selesai? Madam Kala sedang menunggu anda,” kata paman Josua membuatku terkesiap. Bergegas aku segera keluar dari kamar. Para pelayan yang membantuku pun langsung bubar.

Dengan mengikuti langkah paman Josua. Kami menuju ruangan khusus yang disediakan oleh Vin untukku belajar. Ternyata menjadi orang yang berkuasa terasa senikmat ini. Apapun kebutuhanmu hanya tinggal perintah saja maka semuanya akan terpenuhi. Pantas saja kebanyakan bangsawan yang bangkrut jadi gila. Kebiasaan dilayani dan kebutuhan yang terpenuhi harus sirna. Terpaksa bertahan hidup dengan menjalani penderitaan baik hinaan maupun fisik. Sebagian besar ada juga yang menjual diri ke rumah bordil. Hanya untuk menikmati uang yang berlimpah. Kekayaan dan kekuasaan bisa membutakan akal dan hati manusia hingga terjerumus ke lembah hitam.

“Mari nona silakan masuk. Madam Kala sudah menunggu,” ujar paman Josua yang kuangguki. Pintu pun dibuka lebar. Ruangan luas bercat jingga dengan satu set meja. Ada banyak cemilan dan teh yang terhidang. Tampak duduk seorang wanita paruh baya sendirian. Dia sedang membaca buku dengan anggun. Aku menelan ludah lalu menyapa, “Se-Selamat sore madam Kala.”

Madam Kala mengalihkan pandangan ke arahku. Meski dari kejauhan tapi dibawah sinar matahari sore wajah madam Kala masih terlihat cantik. Usia seolah tak mengikis kecantikannya. Aku terpesona melihatnya.

“Selamat sore nona Asha. Mari silakan duduk,” ujarnya. Aku pun mendekatinya dengan langkah kikuk. Lalu duduk dihadapannya. “Mulai hari ini dan seterusnya sesuai permintaan dari tuan Vin saya akan menjadi guru anda. Jadi kita akan langsung mulai,” lanjutnya.

“Baik Madam,” sahutku. Lalu kelas pertamaku pun dimulai. Pelajaran pertamaku adalah tata cara makan dan minum dengan benar. Meski sulit tapi aku mengikutinya dengan baik.

“Perhatikan saat anda memegang gagang cangkir teh. Jangan pegang sembarangan. Anda harus menunjukkan keeleganan sebagai seorang Duchess,” tegurnya dengan nada tegas. Walau dalam belajar pun aku tak luput dari tegurannya.

Selama dua jam aku terus mengikuti pelajaran dengan tekun. Semuanya kulakukan untuk balas budi. Vin adalah penyelamatku dari cengkraman utang. Berkat pertemuan itu aku bisa melunasi utang meski harus berakhir jadi janda. “Bagus sekarang anda bisa melakukannya dengan baik,” ujar madam Kala membuatku bernapas lega. “Baiklah selanjutnya cara berjalan,” mataku terbeliak mendengarnya. Sepertinya penderitaanku kali ini tidak berakhir hari ini.

TIDAK! Pekikku dalam hati.

Istri Bayaran DukeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang