Part pendek-enam

344 68 5
                                    

Ini... Hanya mimpi, kan?

Tubuh kurus itu merosot, kakinya serasa jelly yang tidak mampu menumpu tubuh. Bibirnya ia gigit kuat-kuat, menahan pedih dalam dada. Perasaannya campur aduk. Ia ingin sekali menangis, namun air mata tidak kunjung membasahi pelupuk pipinya.

"Chan..." Seorang pemuda bertubuh tinggi disebelah Haechan ikut membungkukkan badan, menyetarakan tinggi tubuhnya dengan si pemuda yang bersimpuh. Dua tangannya merangkul erat lengan Haechan, menopang tubuh lemas Haechan yang tidak dapat bangun. Pemuda itu juga sama terpukulnya dengan Haechan. Ia bahkan tidak dapat percaya saat pertama kali dengar kabar itu dari ayahnya. "Ayo"

"Hyung, ini bohongan, kan?" Pemuda Shin itu bertanya dengan nada bergetar. Pandangan matanya kosong. Kedua kakinya yang lemas terduduk di lantai. "Kak Dery jahat banget ngerjain aku sampai begini." Sambungnya sambil tersenyum.

Kim Doyoung mati-matian menahan air mata yang mengalir. Senyum itu, meski terulas dibibir Haechan, dapat ia tebak sebagai senyum palsu. Ia rengkuh tubuh Haechan yang lemas, memeluk pemuda Shin itu erat.

"Hyung kenapa menangis?" Tanya Haechan masih berusaha heran. Pemuda itu kemudian terkekeh pelan. "Kakak cuma bercanda, kan? Kenapa harus menangis begitu?!" Haechan kembali bertanya, namun kali ini ia menaikkan suaranya. Ia menghela nafasnya frustasi melihat Doyoung hyungnya hanya menangis atau memeluknya sebagai jawaban.

Bukan, bukan ini yang Haechan harapkan. Ia butuh jawaban jelas!

Baru ia hendak bertanya lagi, sebuah tangan menariknya keras. Berikut rasa panas dan pedih yang menjalar di pipi kiri Haechan. Pemuda itu menggigit bibirnya semakin kuat. Sepasang mata merah dan wajah yang keras itu menatapnya tajam. Haechan cukup sadar bahwa tatapan itu bukan pertama kali dilempar untuknya. Tatapan itu, kembali menyakiti hatinya.

"Dasar kamu anak sial tidak tahu diuntung!"

Semua mata yang ada disana terkesiap, terutama manik milik si pemuda Shin yang mengelus pelan bekas hangat yang tadi mampir di pipinya. Aneh, sebuah tamparan keras itu berhasil menjebol bendungan air mata yang mati-matian Haechan tahan.

"Tidak cukup kamu bunuh bunda kamu? Sekarang kamu juga bunuh kakak kamu, hah?"

Denging itu kembali, membuat lemas tubuh Haechan yang lemah. Dari sekian banyak hal, kenapa kejadian berbelas tahun lalu yang Daddanya ungkit? Dua kelopak itu terpejam saat tubuh Haechan meluncur jatuh. Kedua kakinya terlipat erat pada dada, dengan dua tangan yang menangkup telinga. Haechan tidak tahu, ia hanya merasa....pening?

"Kamu itu memang pembawa sial, Haechan! Apa tidak bisa kamu sehari saja tidak membuat ulah, hah?!?!" Lagi rentetan itu meluncur dari bibir pria yang ia sebut Dadda. Wajahnya sempurna merah dengan bulir keringat sebesar biji jagung di pelipisnya. Urat-urat tampak menonjol di sekitar kening atau lehernya, menandakan bahwa pria ini benar-benar dikuasai amarah.

"Saya suruh kamu apasih? Cuma ke toko tanaman, ambil tanaman untuk ganti tanaman saya yang kamu rusak, lalu pulang! Tidak sampai 30 menit, Haechan!" Katanya lagi. "Apa ini? Kamu berpergian hampir 4 jam dan mencelakakan kakakmu sendiri. Kamu ini punya otak tidak, sih? Main kemana saja kamu, hah?"

"T—tuan Seo.."

"Diam kamu, Doyoung! Tidak usah ikut campur! Saya sudah pernah ingatkan untuk tidak ikut campur urusan orang lain, kan? Ketahui batasanmu!" Sembur tuan Seo memotong Doyoung  hyung yang mencoba menyela.

Entah apa karena sensasi telapak tangan kasar yang panas itu dipipinya, atau karena potongan memori 18 tahun yang lalu kembali menari-nari dalam pikirannya. Bening yang semula tertahan perlahan meluruh.

"BANGUN, HAECHAN! JANGAN BERPURA-PURA MENANGIS BEGITU!" lagi, suara bariton itu terdengar memekakkan telinga. Dua tangan besar itu menarik kasar tubuh Haechan, menyeret si pemuda untuk berdiri, kemudian menampar pipinya keras. "Kamu pikir saya akan iba kalau kamu menangis, huh?" Decihnya penuh emosi.

"Sayang, tahan emosimu." Suara datar itu memecah ketegangan yang menguar di sekitar koridor. Seo Ten disana, dengan kaca mata hitam dan masker yang menutupi sebagian besar wajah, berjalan tenang menghampiri sang suami yang tengah bermain tangan pada putranya. "Pikirkan reputasimu. Bagaimana jika ada orang yang tidak sengaja melihat?"

**

Satu hal yang begitu ia ingat adalah janji yang Hendery ucapkan selepas kepergian bunda mereka. Hendery berjanji, apapun keadaanya, bagaimanapun mereka, ia akan selalu berada disisi Haechan. Ia akan selalu disana, menemani Haechan, menjaganya, dan saling menyayangi satu sama lain. Hanya Haechan satu-satunya yang Hendery miliki, dan hanya Hendery yang melindungi Haechan sampai sejauh ini.

Apa kakak sudah tidak sayang lagi dan sangat ingin pergi?

Seperti bunda?

Bening itu meleleh deras. Seseorang yang terbujur kaku disana menghantam dadanya. Pemuda itu meraung, memanggil nama sang kakak, mencegah tangan-tangan para perawat mengurus jenazah kakaknya.

"Jangan! Kak Dery cuma tidur aja, jangan digituin.." raungnya. Doyoung berada disana, menopang tubuh Shin Haechan  yang berkali-kali ambruk tidak sadarkan diri. Masih belum percaya, kakak tersayangnya kini telah pergi. "Hyung, lepasin! Aku mau bangunin kakak!"

"Haechan.."

"Doyoung Hyung, lepas! Kakak mau dibawa pergi, Hyung. Tolong lepasin aku!" Raungnya. Namun Doyoung semakin erat memeluk tubuh pemuda Shin di hadapannya. Hatinya juga ikut remuk melihat keadaan salah satu temannya. Hatinya juga ikut remuk melihat Haechan.

Tolong diikhlaskan, Chan. Begitu bisiknya. Ia usap punggung bergetar Haechan sembari membisikkan satu baris kalimat tersebut.

"Gamau! Kakak sudah janji pada Haechan." Tangis Haechan. Tubuh pemuda itu lemas. Ia menjatuhkan tubuhnya dalam dekapan Doyoung. "Kakak sudah janji pada Haechan, Hyung. Kenapa kakak pergi duluan?"

**

"Mau apa kamu? Masih ada wajah kamu berani muncul dihadapan saya?" Tanya Pria itu berang. Ia tatap wajah putra bungsunya yang tampak kuyu. Wajah Haechan pucat, bibirnya kering, matanya bengkak dengan sekeliling warna hitam seperti panda. Penampilan Haechan layaknya mayat hidup, sangat menyedihkan, namun tidak menggugah setidaknya sedikit saja sudut hati Seo Johnny untuk putranya.

Ia tatap putranya dingin. Pemuda itu tengah berlutut dihadapannya dan Ten. "Dadda, hari ini pemakaman kak Dery. Haechan mohon, tolong..." Ia tundukkan kepalanya serendah-rendahnya. Haechan bersimpuh dihadapan sang Dadda. "...tolong. Sekali ini saja, Dadda. Temui kakak untuk terakhir kali. Kakak pasti ingin Dadda ikut serta melepas kepergian kakak..."

"Untuk apa saya hadir di pemakaman pembantu rumah saya?"

Nyut!

Tubuh itu membeku. Hatinya pedih sekali. Bahkan rasa pedih luka yang diberi jeruk nipis saat masih menganga kalah dengan denyut hatinya. Shin Haechan menggigit bibir, berusaha menahan isak yang semakin tidak terbendung.

"Dadda, Haechan mohon. Ini bukan untuk Haechan. Untuk kak Dery, Dadda. A.."

Prang!

Bahkan perih pada kulitnya ia abaikan. Ucapan dari sang Dadda benar-benar menyakiti hati si pemuda manis yang tengah bersimpuh. Andai Seo Ten tidak memanggil Doyoung untuk membawa Haechan keluar, dapat dipastikan bahwa pecahan beling itu mungkin saja dapat bersarang di bagian tubuh Haechan yang lain.

Tutup mulutmu! Jangan sekali-kali kamu menyebutku dengan panggilan menjijikan itu! Dengar Haechan, kamu dan kakakmu, tidak lebih dari parasit yang dititipkan wanita bodoh itu yang harus aku tanggung. Jadi, jangan pernah berharap lebih karena kamu tidak lebih dari seorang pesuruh.

Tibisi

**

Masi inget gak sama cerita ini?

Hehehe makasi udah mau mampir, yah!

(Not) A Cinderella StoryWhere stories live. Discover now