Tujuh

393 52 13
                                    

Kak Dery bilang, apapun yang terjadi, ia akan selalu berada di sisiku. Menemaniku. Memastikan bahwa aku, adik laki-laki satu-satunya yang tersayang, akan tetap bahagia. 

....turns out all promises will only be a lie. 

Aku disana kala peti kayu berwarna cokelat itu perlahan masuk dilalap api di ruang kremasi. Kak Hendery ku sudah benar-benar pergi. 

Aku menatap ke sekeliling, sekali lagi menggigit bibir. Aku yakin, meskipun bibir itu berkata 'tidak' dengan lontaran kalimat yang pedas, setidaknya, ada setitik saja rasa sayang yang tersisa di hatinya. 

Kalau dulu kak Hendery bilang aku terlalu naif dan terus menyangkal, sekarang aku percaya. Benar. Aku memang terlalu naif. Dalam hati aku diam-diam menertawakan kebodohanku. Kepalaku kemudian menunduk dan menatap bingkai foto kak Hendery yang sejak tadi aku peluk. Sedikit merasa iba pada kakakku yang baik dan penuh kasih sayang itu. Bukankah sampai akhir hidupnya kami benar-benar dirundung sial? 

Tidak ada sosok yang sering kusebut 'Dadda' disana. Tidak ada upacara penghormatan terakhir. Tidak ada sedikit saja seremonial untuk mengenang kak Hendery. Hanya ada aku dan Doyoung Hyung disana yang menemani Kak Hendery sampai di proses terakhir. 

"Sepi ya, kak? " lirihku pelan. Semakin ku dekap erat foto kak Hendery. "Aku minta maaf."

**

Bukan karena Haechan sebagaimana tuan Seo bilang sebagai penyebab kecelakaan Hendery terjadi. Hendery mengendarai mobil itu bukan untuk menjemput Haechan, melainkan untuk menjemput belanjaan Seo Catherine yang sempat tertinggal di pusat perbelanjaan.

Haechan tidak mampu mengantar kakaknya ke tempatnya beristirahat terakhir kali. Pemuda itu pingsan sesaat setelah peti mati Hendery masuk dalam perapian. Jadilah Doyoung, satu-satunya orang yang menemani Haechan, yang menyelesaikan acara pemakaman untuk Hendery.

Haechan hanya mengurung dirinya dikamar. Menangis tiada henti tiap kali menatap wajah tersenyum sang kakak di bingkai foto terakhir mereka yang mereka ambil dua bulan yang lalu dengan bantuan Doyoung. Haechan dan Hendery tersenyum lebar sekali sambil saling memeluk. Benar-benar menggemaskan!

Pemuda kim berusia dua puluh enam itu tidak tega melihat kondisi adik temannya. Haechan seperti tidak tidur dan makan berhari-hari. Matanya menghitam seperti zombie. Sesekali ia memukuli diri, di bibirnya terus saja terlontar kata maaf, berulang kali berkata bahwa karenanyalah kakaknya meninggal. 

"Bukan salahmu, Haechan-ie" ucapnya saat berhasil masuk dalam kamar Haechan, berusaha menenangkan adik Hendery tersebut. Kondisi Haechan dapat dikatakan cukup memprihatinkan. Doyoung pikir, setidaknya keluarga itu akan sedikit berbaik hati menghibur Haechan. Namun tidak! Alih-alih menghibur Haechan, keluarga Seo malah bertolak ke Yunani untuk berlibur sekeluarga. Katanya, sih, untuk merayakan hari ulang tahun putri mereka yang ke-20.

Haechan hanya menggeleng, air mata kembali turun dan membasahi wajahnya yang pucat. "Tidak. Ini salahku, hyung. Harusnya aku ikuti kata kak Hendery. Kalau begitu, kakak pasti masih disini sama aku."

Doyoung tidak bisa menahan diri untuk memeluk Haechan yang terpuruk. Hatinya ikut sakit melihat Haechan meratapi kakaknya.

"Chan, dengarkan aku. Ini bukan salahmu." Ucap Doyoung lembut. Ia lerai pelukan keduanya dan membawa Haechan untuk menatap wajahnya. "Hendery sedang menunggumu bersamaku saat nona Seo memerintahkan Hendery untuk mengambil tas belanjanya yang tertinggal."

Haechan berhenti menangis. Ia coba mendengarkan cerita teman kakaknya.

"Kami memang berencana akan menjemputmu. Bagaimanapun, kami khawatir karena kamu belum juga sampai. Tapi hujan tengah turun deengan deras hari itu. Oleh sebab itu, kami memutuskan untuk menunggu hujan agak reda."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 20, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

(Not) A Cinderella StoryWhere stories live. Discover now