Benar saja, Rudi ternyata sudah sampai Jakarta pada sore hari itu. Ia mendatangi rumah Bu Asih dan suaminya, Pak Karmudin. Rudi menggedor-gedor pintu rumah itu dengan keras, sopan santun bertamunya hilang, yang ada adalah amarah membara.
"Pak, ada apa ini?" tanya Pak Karmudin dari luar. Dia dan istrinya baru pulang dari ruko.
"Saya mencari keponakan saya. Saya tahu dia tinggal di rumah ini!" bentak Rudi berang.
Pak Karmudin menarik napasnya dalam-dalam. Ia melangkah maju dan membuka pintu rumah itu. "Silakan cari saja sendiri, kalau ketemu bawa keponakan yang kamu maksud itu pergi, saya izinkan." Pak Karmudin menjawab dengan tegas dan gamblang.
Rudi dengan tidak sopan melangkah masuk tanpa mengucap salam. Bu Asih menarik lengan suaminya, "Pak, kok dibiarkan masuk orang tidak tahu sopan santun itu?" ucapnya resah.
"Biarkan saja, Bu. Biar dia percaya kalau Halwa memang tidak ada di sini." Bisik Pak Karmudin pada istrinya. Bu Asih segera diam dan mengikuti perintah suaminya.
"Ada, Pak?" tanya Pak Karmudin pada Rudi.
Lelaki berkumis tipis itu diam, malah membuang wajahnya dan berlalu begitu saja.
Tidak cukup sampai di sana, esoknya Rudi datang lagi, berturut-turut sampai tiga hari. Datang di waktu berbeda, ia sampai menyusul ke ruko di pasar Gondangdia. Memaksa masuk ke dalam Ruko itu sampai ke dalam toilet-toiletnya.
"Pak, saya tidak bohong... keponakan Bapak itu memang tidak ada di sini. Saya dan istri tidak mau ikut campur masalah Bapak dan sebaiknya Bapak jangan ganggu kami lagi." Ucap Pak Karmudin pada Rudi, ia berusaha sabar.
"Kalau sampai saya lihat dia berkeliaran di sekitar kalian, akan saya laporkan kalian dengan tuduhan penculikan!" ancam Rudi.
"Baik, silakan saja laporkan." Jawab Pak Karmudin tenang, namun jawaban itu membuat geram Rudi.
Rudi pun berlalu pergi dengan menendang patung yang ada di pinggir jalan. Dua patung berbusana sampai jatuh dan semuanya kotor. Bu Asih mengucap istighfar dan mengelus dadanya perlahan-lahan.
"Semoga Halwa tidak ketemu pakdenya. Orang seperti itu kok lahir ke dunia ya, Pak?!" kata Bu Asih, ia tak habis pikir.
"Bu... Bu... kalau semua orang wataknya baik, maka dunia bukan ujian bagi orang beriman."
"Benar, Pak!"
***
Hari itu Halwa mendapat kabar tidak mengenakkan, musibah datang padanya. Rumah sewaan yang berada di Kebon Kacang III mengalami kebakaran. Penyebabnya belum diketahui dengan jelas, namun dari kabar yang tersiar katanya ada ledakan gas di tengah malam dari salah satu rumah di sekitaran sana—yang letaknya tak jauh dari tempat usaha Halwa.
Lia sudah melihat tempat itu, semuanya hangus tak tersisa. Mesin-mesin rata dengan tanah, hitam legam. Lia menjerit, hatinya pedih. Beruntung tidak ada karyawannya yang meninggal. Semua selamat kecuali harta benda.
"Bagaimana nasib kita, Halwa?" tanya Lia dalam pelukan Halwa. Gadis itu mencoba tegar dan sabar saat Lia sudah terisak-isak.
"Tidak apa-apa. Kita masih punya tiga ruko yang selalu dijaga Allah, Lia. Yang sabar, semua pasti ada hikmahnya."
Halwa menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata. Tangan kanannya masih menepuk-nepuk punggung Lia.
"Kita bisa bangun semua ini lagi dari awal. Kita cari tempat lain saja untuk sementara waktu."
Lia melepas pelukannya pada Halwa, ia menatap wajah Halwa dengan padangan sedih. "Tapi kita butuh modal lagi, Wa..."
Halwa diam sejenak. "Selain uang hasil ganti rugi nanti, kita masih punya tabungan bersama, kan?"
"Jumlahnya tidak cukup untuk membeli puluhan mesin, Wa," jelas Lia. Ia kembali menatap nanar rangka mesin jahit di depannya, tidak ada yang bisa mereka selamatkan, gulungan kain dibagian belakang pun ikut ludes.
Halwa menghapus air mata Lia yang terus mengalir. "Tenang, aku masih punya tabungan peninggalan almarhumah Ibuku. Untuk sementara kita bisa gunakan itu untuk keperluan modal."
"Tapi... kamu kan mau kuliah?"
Halwa menggeleng, untuk saat ini dia hanya ingin fokus membantu banyak orang memperoleh lahan pekerjaan. Ia juga ingin menyelesaikan hapalan Al-Qur'annya dengan baik. Masalah ilmu bisa ia dapat dari membaca buku, mengikuti kajian pekanan, mengkaji kitab-kitab dengan seorang guru yang sudah ahli dibidangnya. Dia bisa memperoleh ilmu dimanapun dan kapanpun, tak harus di sebuah instansi.
"Oh ya, Wa, Bapak bilang pakdemu itu datang ke rumah Bapak." Lia baru bisa memberitahukan hal ini pada Halwa.
Halwa mengangguk. "Iya, aku sudah dengar dari Ibu. Kemarin sempat mengobrol lewat telepon."
"Jangan telepon mereka dulu, takutnya pakdemu itu punya mata-mata." Ucap Lia, ia sangat khawatir.
"Insya Allah, tidak. Pakde memang nekat, tapi dia tidak bisa bayar orang untuk itu, Lia."
Lia akhirnya tenang.
***
Setelah mengurus masalah kebakaran tersebut dan tidak ada sesuatu yang tersisa, secuil pun, akhirnya Halwa memilih pulang.
Ia sibuk mencari tempat untuk membuka konfeksinya kembali. Hampir tengah malam ia belum bisa tidur karena memikirkan itu. Hatinya resah dan gundah, pikirannya bercabang. Akhirnya ia mengambil wudhu dan mengaji sampai setengah juz banyaknya. Baru setelah itu ia bisa tidur, tapi tak lama, karena pukul tiga dia kembali bangun seperti biasa. Ia salat malam sambil memurojaah hapalannya. Ia belum bisa menambah hapalannya karena pikirannya masih bercabang-cabang. Ia ceritakan semua gundahnya di malam itu pada Allah Yang Maha Mendengarkan segala keluhnya.
"Ya Robbi, Ya Tuhanku... Tuhan langit dan bumi, masalahku di dunia ini tidak sebanding dengan masalah-masalah di akhirat kelak... aku mohon kuatkan aku untuk menuntaskan amanah hidup ini dengan selalu menjaga niat dan selalu dalam jalan cahaya-Mu. Kuatkan aku Ya Robbi, hanya Engkau Yang Maha Memampukan, Menguatkan jiwa dan ragaku." Lirih Halwa, ia berucap dikeheningan sepertiga malam, disaksikan malaikat dan benda-benda tak bergerak yang selalu bertasbih dengan caranya masing-masing. Kamar itu senyap, hanya suaranya yang meraung di tengah pekatnya malam.
Halwa meyakinkan dirinya, bahwa setiap musibah pasti ada hikmahnya. Bahwa ujian ini adalah sebentuk kasih sayang Allah padanya, bukan untuk memukulnya mundur, namun agar dia menjadi lebih dekat lagi dengan Rabb-nya.

KAMU SEDANG MEMBACA
HALWA (Novel Religi)
SpiritualTAMAT Setelah sekian lama, ribuan purnama, jutaan hari, miliyaran detik... akhirnya aku kembali membuat FIKSI ISLAMI untuk pembacaku tersayang. Semoga suka dengan cerita ini, terhibur, jadi teman metime. Follow akun ini. Vote tiap bab Comment hal-ha...