Bagian 20

451 49 0
                                    

Empat bulan berselang. Ilyas akhirnya pulang setelah disuruh abahnya menemani pakliknya berdakwah di sebuah desa kecil di Gunung Kidul, Yogyakarya. Aksesnya masih agak susah, jalan berkelok-kelok dan licin jika hujan turun. Keadaan jaringan internet di sana juga tidak baik, kadang harus pergi ke kota dulu baru ada akses jaringan yang baik. Maka dengan berat hati Ilyas sengaja meninggalkan ponsel dan seluruh peralatan elektroniknya di pesantren. Ia hanya membawa beberapa baju dan puluhan kitab yang akan ia gunakan untuk mengajar, ia juga tidak menulis karena sembari berdakwah ia juga meminta belajar pada paklinya setiap malam Senin dan Rabu.

Ilyas kembali ke pesantren tanpa ditemani paklinya, waktu mengajarnya sudah selesai. Kini ia bebas menentukan pilihan apakah akan lanjut kuliah atau mengajar di pesantren abahnya. Ummi dan abahnya tidak terlalu memaksakan diri agar Ilyas sama seperti mas-masnya yang sudah rampung S2 lalu menikah.

"Semua terserah padamu, Ngger. Yang penting kamu bahagia dan Ummi juga senang lihatnya." Bu Nyai menepuk pundak anaknya, ia juga mengelus kepala Ilyas demi mencurahkan rasa rindunya setelah berpisah selama berbulan-bulan. "Kalau kamu mau bantu Abah mengajar di sini saja ya ndak apa-apa. Ummi senang kok kamu mau tinggal di sini. Rumah rasanya jadi ndak sepi-sepi sekali. Mas Malik-mu banyak jadwal di luar kota, kalau pergi selalu membawa serta istrinya."

Ilyas menyentuh tangan kanan Bu Nyai Sarah, menarik dan menciumnya penuh kehangatan serta takzim. Tangan itu adalah tangan seorang ibu yang merawat dan mendidiknya hingga menjadi seperti sekarang ini.

"Kamu kenapa tho, Ngger?" tanya Bu Nyai, ia merasa aneh dengan gelagat anaknya.

"Ndak, Mi. Ilyas cuma kangen saja. Ilyas pengen sama Ummi dan Abah dulu, belum kepikiran untuk pergi lagi."

Bu Nyai tersenyum cerah mendengar kata-kata itu. "Oh ya, Ngger! Sampai lupa, kamu waktu itu dapat undangan dari kawanmu dari Jakarta. Dia menikah sekitar empat bulan lalu, kalau tidak salah namanya Ali. Undangannya dipegang sama Kang Adi, Ummi tidak sempat baca dan katanya sudah hilang entah kemana sama Kang Adi."

"Ali, Mi?" Ilyas seperti tidak percaya.

"Iya. Ali, kawanmu yang sempat kamu ceritakan itu. Kamu pernah menginap di rumahnya tho?"

"Nggih, Mi. Dia kawan baik Ilyas, Mi. Masya Allah... dia sudah menikah tho, Mi?" Ilyas terheran-heran, ia pikir Ali akan menunda pernikahannya karena dia masih belum siap.

"Iya, Ngger." Bu Nyai tersenyum. "Cepat kabari dia bahwa kamu sudah pulang ke pesantren, sebab dia menelepon kemari waktu itu dan minta segera dikabari kalau kamu sudah pulang. Katanya dia mau datang berkunjung bersama istrinya itu, insya Allah."

"Amin." Ilyas segera bangkit, "matur nuwun ya, Mi." Ia mencium pipi Bu Nyai, lalu segera masuk ke kamar untuk mencari-cari ponselnya.

Benda mungil itu ditemukan masih tergeletak di atas meja kecil di samping tempat tidur. Baterainya habis. Ilyas men-charger-nya. Sambil menunggu posel itu terisi, ia membuka laptop dan mengecek e-mail. Ada 43 inbox yang masuk. 5 dari Hafsah, 4 dari Hamid, 7 dari Ali, 3 dari Fatih, 1 dari Paul, 10 dari kampus Al Azhar, 2 dari penerbit buku, dan sisanya dari iklan-iklan yang masuk, tidak terlalu penting untuk dibaca.

Ia membuka inbox dari Hafsah lebih dulu, adiknya itu mengabari bahwa ia akan menyusul dirinya. Hafsah sedang berjuang menghapalkan Al Quran, dan sekarang sudah sampai di Juz 15. Ilyas tersenyum, ia berdoa semoga Allah melancarkan perjuangan adiknya dalam menghapal kitab suci itu. Lalu kursor kembali digerakkan ke inbox berikutnya, dari Hamid. Kawannya itu mengabari bahwa S2-nya berjalan dengan lancar, ia sudah mendapat tempat tinggal baru yang lebih terjangkau dan lebih dekat dengan kampusnya, ia juga mendapat pekerjaan yang lebih baik dengan gaji lumayan.

Inbox berikutnya yang ia buka yaitu dari pengantin baru, Ali. Isinya adalah kabar bahagia bahwa Ali akan menikah dengan seseorang yang dipilih oleh ibunya sendiri, Ali berharap ia bisa datang ke Jakarta. Ilyas sempat menyesali dirinya yang tidak bisa datang ke acara pernikahan kawan baiknya itu, tetapi semua sudah digariskan oleh Tuhan, ia tidak punya hak untuk menentang takdir-Nya. Ilyas mendoakan keberkahan dan kelanggengan dunia sesurga bagi pasangan itu. Sebuah doa yang tulus dari hatinya.

"Kamu itu aneh, Li. Calonmu itu siapa gitu, masa ngundang aku tapi ndak ditulis siapa calonnya. Cuma tanggal sama tempat saja. Ali... Ali..." Ilyas geleng-geleng kepala membaca inbox singkat dari Ali itu. Benar, Ali hanya mengetikkan tanggal dan tempatnya saja. Ia melupakan satu hal; nama pengantin perempuannya.

Ilyas menuju inbox berikutnya, dari Fatih dan Paul. Fatih mengabari bahwa dia berhasil meminang mahasiswi Al Azhar yang ia idam-idamkan sejak semester lima. Dan kini mereka hidup bersama di Mesir, berjuang bersama dan menuntut ilmu sambil memupuk cinta dalam keridoan Tuhannya.

Membaca pesan itu Ilyas sampai tersenyum-senyum sendiri. Ia membayangkan wajah semringah Fatih, kawannya itu begitu jujur dan apa adanya. "Semoga keluargamu selalu dalam keadaan baik dan bahagia, Tih," ujar Ilyas.

Menuju ke pesan Paul. Ia mendapat kabar bahwa Paul telah pindah ke Banjarmasin karena ayahnya punya warisan tanah dan rumah di sana, sementara di Jakarta mereka hanya mengontrak bertahun-tahun lamanya. Paul juga sudah mengajar di salah satu Madrasah Aliyah di Kota Bajarmasin. Kesibukannya selain mengajar adalah mencarikan dirinya sendiri seorang pendamping hidup alias jodoh. Ilyas tidak bisa menahan tawanya saat membaca tulisan terakhir Paul. Kawannya yang satu ini tetap humoris dan penuh dengan kekocakan.

Inbox dari kampus Al Azhar berisi seputar informasi-informasi mengenai beasiswa dan seputar masalah kuliah di sana. Sementara yang datang dari penerbit bukunya adalah kontrak kerja sama. Penerbit itu menyatakan bahwa cetakan pertama dari buku keduanya habis terjual, dan penerbit berencana melakukan cetakan kedua untuk bukunya sejumlah 3.000 eksemplar. Ilyas nampak senang mendengar kabar itu. Ia beryuskur bahwa apa yang ia tulis banyak dibaca oleh orang-orang, semoga ada manfaat yang dapat dipetik dari tulisannya itu. Dan tentu saja, ia menyetujui kerja sama ini.

Ketika ia kembali ke layar utama Gmail, tiba-tiba muncul pesan baru dari Ali. Ia segera membuka dan membacanya.

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Kabar baikkah saudaraku? Lama tidak ada kabarmu, aku rindu sekali padamu, Ilyas.

Oh ya, aku tahu kamu sedang online. Aku sendiri sedang berselancar di dunia maya, mencari referensi untuk proposalku. Langsung saja ya aku kabari, selain sudah menikah, aku juga sedang di Mesir meneruskan program S2 bersama Hamid. Dia berhasil menghasutku untuk tetap lanjut di tahun yang sama dengannya, aku tidak bisa menolak karena hasutannya itu berbau religious. Ha ha ha...

Ilyas, ada banyak hal yang ingin aku ceritakan padamu, tapi waktunya sempit. Lain kali aku hubungi lagi, semoga antum baik-baik saja di sana.

Salam dari Mesir.

Hamid dan Ali.

Selesai membaca pesan masuk itu Ilyas mengucap salam dengan lengkap, "wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."

Lagi-lagi ia mendapat kejutan dari teman-temannya. Empat bulan tanpa kabar ternyata banyak hal yang akhirnya berubah. Dunia begitu cepat berlalu. Dalam waktu sekejap saja dia sudah mendengar banyak kabar dari kawan-kawannya yang berjarak jauh darinya. Hatinya lega mendengar semua kawan-kawan baiknya dalam keadaan baik, sehat dan sepertinya mereka bahagia.

Ilyas kembali mengarahkan kursor ke profil adiknya, melihat sekilas wajah gadis yang ada diphoto profil adiknya. Namanya Halwa, ia masih ingat nama itu. Nama yang dulu sering dipanggil-panggil oleh Ummi dan adiknya ketika ia pulang ke rumah. Sekarang nama itu sudah lama tidak terngiang-ngiang ditelinganya lagi. Sudah lama ia diam dalam gejolak asmara yang ia rasakan sendiri. Apakah sudah waktunya ia bicara pada orangtuanya, perihal perasaannya pada seorang gadis yang santun dan lembut perangainya. Mungkin memang sudah tiba saatnya ia memikirkan masa depannya, membina rumah tangga seperti dua kawannya; Ali dan Fatih.

HALWA (Novel Religi)Where stories live. Discover now