White Paper : Jennie - Lisa (2)

5.7K 1K 390
                                    

Rintikan hujan terdengar berisik, memasuki indera pendengarannya. Manusia-manusia berusaha berlari untuk mencari tempat berteduh.

Tapi Lisa tidak melakukan hal yang sama. Ia dengan hoodie hitam itu, masih terus berjalan. Mengabaikan fakta bahwa kini tubuh itu mulai basah memeluk hujan.

Ia hanya berharap, bahwa hujan itu bisa membangunkannya dari mimpi yang sungguh panjang ini. Ia sudah tak sanggup, ia merasa lelah dengan keadaan sulit ini.

Fakta bahwa Lisa tumbuh menjadi manusia yang egois tidak bisa terlupakan. Sekali pun ia berusaha memikirkan orang lain, semakin besar pula rasa lelah Lisa karena berusaha melawan egonya.

Lutut itu melemas. Ia terduduk di tengah kedua makam mewah itu. Terkekeh dengan kencang, hingga kekehan itu mulai menjadi tangis menyakitkan.

"Kenapa...."

"Kenapa kalian harus pergi sebelum memberiku bahagia?"

"Apa aku memang benar-benar tak kalian inginkan?"

"Kenapa tak membunuhku saja saat belum lahir ke dunia, agar aku tak merasakan hidup seberat ini?"

Pertanyaan-pertanyaan itu, andai saja Lisa bisa melontarkannya saat kedua orang tuanya masih hidup. Apakah mereka akan mulai memandangnya? Apakah mereka akan sadar, bahwa tak hanya Jennie yang membutuhkan sebuah dekapan?

"Mommy, Daddy. Lisa lelah. Lisa sudah mencoba untuk kuat, tapi tidak bisa." Kedua tangan itu meremas kerumputan yang tumbuh di makam orang tuanya.

Lisa bukanlah gadis yang memiliki sejuta kekuatan. Ia hanya gadis yang selalu mengandalkan uang kedua orang tuanya. Ia tidak pernah berpikir, bahwa hidup seperti ini akan ia jalani.

"Lisa lelah, tapi Lisa tidak bisa istirahat." Kepala itu mendongak, membiarkan kedua matanya terkena air hujan hingga terasa perih.

Ia pandangi langit kelabu itu dengan sendu. Saat ini, ia sedang menangis. Air matanya mulai menyatu dengan hujan. Menari bersama di wajah lelah itu.

"Jika suatu saat tugas Lisa sudah selesai, mau kah Mommy dan Daddy memeluk Lisa di atas sana?" Permintaan itu masih sama, sejak ia tahu apa posisinya untuk kedua orang tuanya.

Permintaan sederhana, yang tak pernah ia lontarkan. Berharap kedua orang tuanya paham sendiri. Namun yang mereka tahu hanya Lisa selalu mengingknkan banyak uang dan barang mewah. Padahal itu semua sesungguhnya tidak berarti apa-apa untuk Lisa.

Setelah puas meratapi hidup yang terlalu kejam untuknya, Lisa memilih bangkit berdiri saat hujan mulai berhenti.

Dia dengan tubuh basah kuyup, berjalan lesu meninggalkan taman pemakaman itu. Tidak ada cahaya di matanya, karena sebuah beban sedang hinggap di pundaknya.

Menempuh perjalanan selama setengah jam dengan berjalan kaki, Lisa sampai di depan kamar sewaannya yang tidak terlalu baik jika dipandang.

"Eomma, pasti dia yang mengambilnya. Aku tadi melihat dia membuka tasmu yang tertinggal di meja." Telinga Lisa memanas saat mendengar suara seseorang.

"Ya! Pencuri! Tidak bisakah kau mencari uang sendiri tanpa mengambil milikku." Bahu itu di dorong hingga ia tersungkur.

Lisa yang bingung, harus mengerjabkan matanya untuk memahami situasi sekitar. Tas? Pencuri? Ia bahkan tak pernah menemui tas selain ransel miliknya hari ini.

"Apa kedua orang tuamu tidak mengajarkan sopan santun? Jika melihat tas yang tertinggal, kembalikan. Bukan mengambil isinya." Tapi sebaik apa pun ia memahaminya, Lisa sama sekali tidak mengerti.

Mereka adalah tetangga Lisa, yang ia tahu juga menyewa kamar disana. Bedanya, kamar mereka tentu lebih besar karena ditinggali oleh satu keluarga penuh.

The Box Of StoriesWhere stories live. Discover now