𝟐𝟓. 𝐀 𝐂𝐫𝐚𝐜𝐤 𝐢𝐧 𝐭𝐡𝐞 𝐆𝐥𝐚𝐬𝐬

3K 242 45
                                    

Dini hari itu Haga kembali ke rumah dengan segala beban pikiran yang begitu memberatkan. Sekilas Haga sempat berpikir saat di perjalanan, apakah ia dan Hanna memang tak akan pernah direstui oleh semesta? Bertahun ia memendam perasaan, tetapi begitu memiliki keberanian untuk mengungkapkan, badai langsung menerpa ia yang baru saja berbahagia akan sebuah kehangatan.

Dengan lunglai Haga melangkah masuk melewati pintu mahoni tua yang baru saja ia buka. Detik itu juga, dilihatnya Anthoni yang masih berada di ruang tamu dengan posisi berbaring miring di atas sofa. Malah, sekarang bertambah sebuah botol alkohol yang sebelumnya tak berada di sana.

Sekelebat, bayangan Hazel kembali muncul. Lantas, buru-buru Haga mengerjap dan menggelengkan kepala guna mengusir segala pikirannya tentang kakak kembar Hanna.

Ia melangkah mendekati Anthoni, aroma khas alkohol yang pahit pun menguar dari dalam diri sang ayah. Haga muak muak melihatnya. Lantas, ia mengalihkan pandangan, dan tanpa sengaja kedua netranya menangkap foto keluarga yang tergantung di dinding putih gading. Anthoni, Eva, Haga, dan Heira. Foto terakhir yang diambil sebelum sang ibu meninggalkan dunia.

Jika bisa memilih, Haga lebih baik kehilangan Anthoni untuk pergi lebih dulu menghadap Tuhan, dibanding ia harus kehilangan Eva. Haga membatin, mengapa Tuhan mengambil orang-orang baik lebih cepat? Sementara sampah seperti sang ayah dibiarkan berserak di muka bumi yang indah.

Haga mengambil posisi duduk di seberang Anthoni. Ia lelah. Ia ingin sejenak duduk, dan meneguk sisa alkohol yang ada di atas meja.

Namun, kala ia memandang sang ayah, dadanya semakin terasa sesak. Lantas, tak ada lagi alasan bagi Haga untuk tak meneguk sisa alkohol di sana.

Pahitnya alkohol, membuat isi kepala Haga memutar memori masa lalunya yang kelam. Hari-hari di mana Eva berjuang melawan stroke yang diderita selama dua tahun. Mungkin, jika Haga tak mengetahui penyebabnya, ia tak akan begitu benci kepada Anthoni. Namun sayangnya, Haga mengetahui semua dan kenyataan itu membuat dirinya gelap hati kepada sang ayah.

Haga mengembuskan napas berat, dan mengacak rambutnya dengan begitu kesal.

"Argh!! Setelah bikin Mama enggak ada, sekarang mau apa lagi, Pa?!" monolog Haga.

Meski ia tahu sang ayah tak akan menjawab, Haga tetap melanjutkan bicaranya. Lagipula, ia hanya ingin setidaknya meluapkan apa yang ia rasakan.

"Mama ninggalin Haga karena Papa! Lo tuh pernah mikir enggak sih, Pa?!

Lo seegois itu main cewek sana sini, pulang mabuk, kayak orang tolol, dan yang ngurusin? Mama! Mama marah? Jelas. Tapi, apa Papa pernah peduli?! Sampai akhirnya Mama cuma bisa mendam sendiri, kena hipertensi, dan akhirnya meninggal setelah stroke! Gila! Lo gila, Pa!

Haga masih ingat gimana Heira nangis kehilangan Mama! Dan semua itu? Karena lo!

Gila. Lo gila, Pa! Lo udah bawa penderitaan buat Mama, dan sekarang buat gue juga?! Ngapain, Pa? Ngapain sekarang Papa berhubungan sama Hazel?!!

Anthoni Sanders! Astaga Tuhan ...." Haga kehabisan kata-kata, tak tahu lagi harus bersikap bagaimana kepada sang ayah. Rasa hormat pun sudah tak ada.

Di sisi lain, seorang anak gadis keluarga Sanders yang beberapa menit lalu mendengar deru mobil melewati gerbang rumahnya, langsung berlari keluar dari kamar untuk menemui sosok yang sudah ia tunggu-tunggu.

"Kak!" panggilnya.

Lantas, Haga menoleh ke arah sumber suara yang berasal dari tangga. Heira di sana, gadis itu berhenti di pertengahan tangga, dan memanggil namanya. Anak bungsu Sanders itu tak melangkah lagi, seolah ia menunggu agar Haga yang menghampiri.

Stolen SweetheartWhere stories live. Discover now