7

2.1K 455 17
                                    

Pagi Hari Berbeda

"Kamu mah, di hempas si Tara, malah dapat adiknya, duileh, kemarin satu kantor pada ngintipin tau, Ra. Machonya calon suami dikau, tau nggak aku sama Mbak Kanti penasaran sama lengannya, seksi banget mana tuh seragam press absnya di gulung lagi, ntar kalau ada kesempatan buat grepe-grepe calon suami kau kasih tahu ya, liat nggak, oke nggak!"

Selama sepuluh hari ini pagiku terasa suram, seisi rumah selalu melihatku dengan pandangan iba dan itu membuatku selalu pergi saat matahari bahkan belum terbit.

Sungguh aku terluka karena ulah Tara, aku pun menahan tangis sekuat yang aku bisa, aku tidak menangis meraung-raung karena aku khawatir Ayah dan Ibu semakin kepikiran denganku, tapi setelah semua usaha aku kerahkan agar aku nampak biasa saja, tetap saja mereka melihatku dengan kasihan.

Satu kali aku menunggu Ayah dan Ibu agar mereka berbicara jika ingin ada yang ingin mereka sampaikan, tapi lama aku menunggu yang aku dapat hanyalah tangis berderai air mata Ibu meratapi betapa malangnya nasibku di tinggalkan begitu saja di hari lamaran.

Sungguh itu benar-benar memperburuk kondisi mentalku.
Ayolah, aku sedih dan terluka, namun dunia tidak akan kiamat hanya karena seorang Uttara Soetanto mencampakanku, kan. Sebenarnya daripada tangisan dari Ibuku, aku lebih butuh support agar aku bisa bangkit dan menganggap musibah ini sebagai ujian yang akan mendewasakan aku. Namun apa yang aku harapkan tidak aku dapatkan.

Tapi pagi ini berbeda, pertemuanku kemarin dengan sosok berseragam loreng yang masih terasa asing untuk mataku cukup membuat laraku tersingkir beberapa senti, menuruti permintaan Mas Barat agar tidak melihatnya sebagai adik dari Tara, aku pun menyingkirkan jauh-jauh pemikiran untuk membuat Tara menyesal, atau bersiap melihatnya mendapatkan karma.

Masih jelas tergambar di ingatanku bagaimana dia bersorak kegirangan saat aku mengiyakan apa yang di mintanya, tidak cukup seremoni menggelikan seperti pendukung bola yang akhirnya mendapatkan kemenangan tim yang di dukungnya, Mas Barat pun menjabat tanganku dengan erat, hal yang awalnya membuat dahiku mengernyit namun berakhir dengan sebuah tawa.

"Kalau gitu kita mulai dari awal dengan perkenalan yang benar. Perkenalkan saya Barat Soetanto, seorang Bintara dengan pangkat Sersan Satu berusia 27 tahun bertugas di Yonif 413, dan yang terpenting saya adalah putra bungsu Bapak dan Ibu Ridwan Aripin."

Coba, bagaimana aku tidak tersenyum geli sekarang ini saat mengingat bagaimana manisnya pria bertubuh kekar tersebut dalam bersikap. Entahlah, aku merasa dia sedang menggombaliku, tapi tatapan polos dan hangatnya memperlihatkan sebaliknya.

Bukan hanya aku yang meleyot karena sikap manis Pak Tentara yang begitu gigih meyakinkanku untuk membiarkannya mengenalkan diri lebih jauh, tapi juga rekan-rekan di showroom tempatku bekerja.

Ayolah, di lingkungan kerja santai sepertiku, gosip menyebar lebih cepat daripada panu, apalagi saat aku menemui Mas Barat di tempat terbuka, tentu saja mereka yang jahil intip-intip seperti yang di katakan Vania dan Mbak Kanti.

Walau para eksekutif di kantorku memiliki penampilan kece dengan kemeja dan celana bahan mereka, tidak lupa juga sebuah dasi dan jam tangan bermerk, tetap saja mata kaum hawa selalu segar dan bersemangat saat mendapati mahluk adam berseragam press body dengan abs yang menggoda, menurut Vania para pria berseragam memiliki kadar pesona tersendiri.

Hingga tanpa sadar mendengar celotehan Vania di ujung telepon sana membuatku turut tertawa. Moodku begitu baik, bahkan aku merasa mendengar atau mendapatkan tatapan Ibu yang prihatin padaku pagi ini bukan satu masalah yang membuatku harus melewatkan sarapan.

"Jangan piktor deh, Van. Ya Allah, tuh mata pasti berdosa banget udah bayangin yang nggak-nggak di balik seragam."

Tuntutku sembari tertawa yang langsung di balas berbagai umpatan di ujung sana, aku masih ingin mendengar celotehan Vania lebih banyak saat menyadari aku sudah begitu lama tidak tertawa selepas ini waktu Ibu memanggilku dengan suara keras.

"Ara, buruan turun, Nak. Di tungguin Ayah sama Masmu ini, loh!"

Masmu? Dahiku berkerut mendengar panggilan tidak lazim Ibu untuk Mas Huda, biasanya Ibu memanggil Mas Huda dengan Mas Hudamu, karena menurut Ibu harom membahasakan aku Masmu untuk Mas Huda, panggilan itu hanya di peruntukan saat Ibu berbicara dengan Mbak Dea.

Bukan hanya aku yang heran, Vania yang ada di ujung sana juga mengeluarkan celetukannya, "duileh si Ibuk, manggil Mas Huda Masmu, berasa si Ibuk manggil suamimu tahu nggak, Ra."

Tidak ingin mendengar celotehan Vania yang akan semakin melantur dan membuat Ibu berteriak lagi, aku buru-buru meraih tas-ku dan memakai slip on sembari menenteng pump shoes yang akan aku kenakan hari ini, percayalah, walau aku bersahabat dengan sepatu-sepatu dengan tinggi mulai dari 7 sampai 12 centi, tetap saja soulmateku adalah slip on warna nude yang tengah aku kenakan ini.

Jangan tanya bagaimana grusa-grusunya aku yang membuat suara gedebak-gedebuk tidak karuan ini, karena itu belum seberapa di bandingkan dengan aku yang nyaris terjungkal saat melihat siapa yang ada di ujung tangga.

Bayangan Mas Huda dan Mbak Dea yang datang untuk sarapan di rumah ternyata keliru walau tidak sepenuhnya salah karena memang kedua kakakku itu tengah duduk tenang di meja makan, yang membuatku kaget hingga hampir saja jatuh jumpalitan itu karena Mas yang di maksud Ibu dari teriakannya tadi adalah Barat Soetanto.

Iya, Barat Soetanto.
Pak Tentara yang kemarin berkenalan denganku dan sudah melamarku beberapa waktu yang lalu itu. Dan sama seperti kemarin di mana dia tampak mengesankan dalam seragam dinas lapangannya, hari ini pun dia tampak mempesona.

Duh, tahu banget ya kalau Emak-emak itu emang paling seneng punya mantu pakai seragam yang bisa di pastikan sampai anaknya tua bakal dapat gaji bulanan.

"Mas Barat." Gumamku pelan, masih tidak percaya jika calon suami dadakanku ini muncul di pagi hari di dapur rumahku lengkap dengan semua keluargaku, atau jangan-jangan aku sekarang lagi mimpi gegara kemarin kesengsem sama tingkah manis Pak Tentara body werkudara hati cocomelon ini.

Pria berwajah garang ini hanya tersenyum tipis dengan tangan yang dia masukan ke dalam saku, alamak, kenapa pose kayak gini aja jadi keliatan keren sih, ya Allah, Sahara, selama ini matamu cuma ketutupan sama Tara doang sampai-sampai nggak lihat kalau ada banyak yang menarik di luar sini.

Ini nih yang ada di depanku sekarang salah satunya.

"Itu ilernya di lap dulu, Ra. Lihatin Masmu sampai lupa buat mingkem." Celetukan Ibu yang menggeret Mas Barat membuatku tersentak dan tanpa sadar mengusap sudut bibirku yang membuat seisi ruang makan di dapur mungil ini meledak dalam tawa.

Ya Allah, Ibu. Kenapa bikin malu sih, Bu?

Bukan PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang