10 : Ambigu

1.8K 445 16
                                    

"Jawaban kenapa aku tiba-tiba mau jadi pengganti, dan nelan semua yang pernah aku ucapin demi calon menantu idaman kesayangan orangtuaku itu cuma satu, yaitu karena wanita itu kamu, karena Sahara Syahab. Kalau calonnya bukan kamu...."

"..............."

"Kalau yang di tinggalin Bang Tara itu orang lain, Mas nggak akan peduli. Sudah Mas bilang kan, Mas bersyukur Bang Tara ninggalin kamu, kalau nggak mungkin Mas nggak akan punya kesempatan buat nikahin kamu."

"Ambigu sekali ucapanmu barusan, Mas. Bikin aku mikir yang nggak-nggak, tahu!" Dahiku berkerut, mencerna apa yang baru saja aku dengarkan dan terasa menggelitik otak serta perutku, aku memikirkan sesuatu yang kini membuat pipi hingga leherku terasa panas, namun aku tidak berani mengatakannya, hemmbb, aku akan kehilangan muka kalau sampai di sangka kegeeran.

Namun sekeras apapun aku membuat raut wajahku terlihat datar, dan menyembunyikan rona merahku, tetap saja perubahan wajahku tertangkap pria yang kini terkekeh geli di atas motor trailnya, sebelah tangannya yang memintaku mendekat agar bisa memberikan helm kini justru terangkat, dia bukan hanya memberikan helm untukku, tapi dia juga memakaikannya, memastikan jika helm warna hijau lumut khas para tentara tersebut melindungi kepalaku dan membuatku sekali lagi dapat melihat wajahnya dari begitu dekat.

Percayalah, sekarang bukan hanya wajah dan leherku yang memerah karena tersipu, mungkin juga seluruh tubuhku, semua perlakuan sederhana Mas Barat terhadapku akan hal-hal kecil justru membuatku salah tingkah.

Bodohnya, seharusnya aku yang segera mundur saat Mas Barat selesai memainkan helm tapi aku justru terpaku di tempat, senyuman hangat di wajah tegas tersebut membuat tubuhku terpaku di tempat dengan ritme jantung yang mulai tidak sehat

"Mikir apa? Coba kasih tahu apa yang ada di kepala cantik ini?" Suara berat yang terdengar sembari mengusap dahiku yang mengernyit membuat jantungku semakin riuh di dalam sana. Ya Alah jantung, kenapa lemah banget sih sama cogan yang ada di depan mata ini, dia orang asing loh buat kita, namun bagaimana lagi, setiap perlakuan Mas Barat terlalu familiar untukku hingga aku tidak kuasa menampik debar jantung yang semakin menggila.

Seorang Sahara Syahab yang biasanya akan memasang wajah ketus pada mereka para makhluk berjakun yang akan mendekat melebihi batas seorang marketing dan customer, menghilang begitu saja di gantikan Sahara yang malu-malu kucing seperti ABG SMP yang di taksir kakak kelas.

Tidak ingin semakin nampak memalukan dengan mengutarakan isi kepalaku, aku mendorong dada bidang itu dengan telunjukku, berdekatan dengan pria ini sedikit tidak baik untuk kesehatan jantungku, hemmb Mas Barat sama seperti tengkleng dan juga tongseng.

"Rahasia! Yang ada di kepalaku cuma boleh di ketahui sama aku sendiri, orang lain, no!no!"

Penegasanku agar dia tidak semakin kepo hanya di tanggapi gelak tawa olehnya, beberapa kali berkomunikasi dengannya membuatku tahu jika pria di depanku ini lebih banyak tertawa dari pada berbicara, sikap yang seolah menunjukkan jika dia senang dengan apa yang terjadi sekarang, di saat dia seharusnya kesal namun sebaliknya, Mas Barat tampak sekali senang melakoni perannya sebagai seorang calon suami pengganti.

"Oke kalau sekarang nggak mau cerita. Nanti, nanti kalau kita sudah nikah nggak boleh ada rahasia-rahasiaan lagi. Mas punya sejuta cara biar nggak penasaran sama isi kepalamu."

Kembali mendapatkan kalimat posesif tersebut membuat pipiku memerah, kini bukan hanya aku yang mengeluarkan kalimat ambigu, tapi Mas Barat juga. Sebagai perempuan dewasa tentu saja aku mengerti apa yang dia maksudkan walau kini aku memasang wajah tidak peduli sok jual mahal.

"Memangnya aku udah bilang mau nikah sama, Mas? Kan kemarin katanya mau perkenalan diri dulu, kok buru-buru amat. Kepedean amat yakin aku bakal bilang iya. Gimana kalau akhirnya aku masih kekeuh nggak mau sama Mas? Yeee, gigit jari dong Anda." Ucapku asal, namun sepertinya aku salah berbicara kepadanya sekarang ini.

Gelak tawa dan senyuman kecil yang sebelumnya tersemat di wajah tampan tersebut kini berubah keseriusan, perubahan mendadak yang membuatku sedikit tidak nyaman, rasanya aku sangat tidak suka mendapati raut wajahnya yang mengeras dengan menakutkan.

Melihat Mas Barat terkekeh geli kepedean lebih menyenangkan daripada mode seriusnya yang membuatnya terlihat gahar. Bahkan saking terkejutnya aku dengan perubahan wajah Mas Barat aku sampai tidak sadar jika Mas Barat memakaikan jaket parka yang sebelumnya ada di stang motor ke pinggangku untuk menutupi rok pensilku yang ada di atas lutut.

"Mas Barat...." Tidak suka dengan keheningan ini membuatku tanpa sadar merengek padanya sembari menarik ujung seragamnya yang bahannya terasa kaku di tanganku. Ck, bahkan aku nyaris memelintir bibirku sendiri karena malu bisa berucap semanja itu pada sosok yang berulangkali aku sebut sebagai sosok asing. Bisa-bisanya aku bersikap seperti ini, pada mantan pacarku selama bertahun-tahun saja aku paling anti bermanja-manja atau merengek seperti sekarang.

Lah, ini?!

Mendapati aku terus menarik seragamnya membuat Mas Barat yang sedari tadi hanya diam kini kembali membuka bibirnya walau raut wajahnya masih begitu kaku.

"Mas berubah pikiran, Dek. Kayaknya Mas nggak bisa nerima jawaban tidak, jadi jawabannya cuma iya sama setuju."

Aku mencebik kesal saat dia mengulurkan tangannya mengisyaratkan aku untuk naik ke motor dengan bantuannya, "itu mah sama saja maksa, Mas. Iya sama setuju artinya sama!" ungkapku saat perlahan motor ini mulai melaju keluar dari halaman rumah, membelah jalanan yang mulai ramai tanpa memedulikan wajahku yang juga masam. "Orang kok plin-plan, hari ini bilang ini, besok bilang itu, jangan-jangan......"

"Nggak plin-plan....." Potongnya dengan suara keras di antara cepatnya laju motor trail ini membelah jalanan, "intinya apa pun yang aku lakukan tujuannya cuma nikahin kamu, dek. Daripada ambil resiko sok ksatria biarin kamu milih ujungnya ntar kamu tolak, ya mending langsung nikahin kamu saja. Toh orangtuamu juga setuju, tinggal kita nentuin tanggal. Mas orang yang realistis, percaya, menikah denganku nggak rugi sama sekali."

Tanpa di ketahui oleh Mas Barat aku menggigit bibirku, kenapa pria ini sama sekali nggak ada romantisnya, main lamar di saat aku ditinggal pacarku pergi, dan sekarang di atas motor, ibaratnya kemarin baru jadian, dan sekarang di ajak naik pelaminan, siapa juga yang nggak shock dengan jantung jumpalitan, seharusnya aku takut bukan dengan ajakan nikah yang terkesan terburu-buru ini, apalagi dia yang berubah pikiran hanya dalam waktu 24jam.

"Aku nggak mau, terlalu cepat, ngajaknya bertahap kek, jangan main tembak ngajak kawin!" Protesku yang langsung di hadiahi tawa olehnya hingga bahu yang aku jadikan pegangan kembali terguncang karena geli.

"Pacaran setelah nikah tuh kata Abang seniorku enak tahu dek, katanya nggak dosa kalau mau rangkul-rangkul atau pegangan tangan. Mau ya, kita siapin berkas buat pengajuan."

Gemas dengan dirinya yang asal jeplak tidak peduli jika jalanan tengah ramai sesak dengan orang yang mungkin saja mencuri dengar omongannya yang absurd aku mencubit bahunya dengan keras.

"Ntar kalau mau di ajak nikah Mas kasih tahu satu rahasia deh kenapa Mas mau jadi pengganti, gimana?"

Bukan PenggantiWhere stories live. Discover now