Memory is Ecstasy

614 80 2
                                    

Nakano, 05 April 1999

"Maaf menunggu lama, aku tidak tahu kalau kelasku selesai lebih lama."

Dengan napas tersengal-sengal, gadis itu berusaha memperbaiki anakan rambut yang lengket di leher karena keringat.

"Tidak apa-apa," jawab pemuda pirang itu. Tangannya tergerak membantu. Hingga membuat gadis itu bergeming, ketika jari tangannya menyentuh tanpa sengaja. Tetapi, pemuda itu tidak mengindahkan sama sekali. Justru tersenyum semringah dengan respons yang diterima. "Sebentar lagi kita akan lulus, hal yang lumrah jika kau mengikuti tambahan kelas."

Hinata Hyuuga, gadis berusia empat belas tahun itu tidak bisa menyembunyikan rona merah di wajahnya. Tangan kananya bahkan masih menempel di leher, seolah-olah menahan agar sentuhan itu masih tertinggal di sana.

Naruto membuang tawa, lalu memberikan sebuah gelang dengan liontin angsa. Tanpa meminta izin, ia memasang gelang itu di tangan kanan Hinata. "Aku melihat beberapa toko di sini, lalu aku teringat denganmu yang menyukai angsa. Karena itu aku membelinya," katanya.

Gadis itu memperhatikan gelang di tangannya, mengangkat ke udara seolah-olah liontin angsa itu akan segera terbang. Ia tersentak, ketika pemuda di depannya tergelak yang membuatnya merasa malu. Tidak mengindahkan sama sekali orang-orang yang berlalu lalang menatap ke arah mereka.

"Kau lucu sekali." Naruto mengusap sudut matanya yang keluar air. "Ini sudah sore, aku ada janji dengan Shikamaru di lapangan."

"Eh, tunggu!" sentak Hinata. Perasaan bingung dan khawatir menyelimuti.

Mereka sudah berjanji hari ini untuk berjalan-jalan bersama sebelum hari kelulusan tiba. Ia bolos mengikuti bimbingan penting bersama wali kelas, agar tidak membuat lelaki itu menunggu. Jika dia mengatakan demikian, Naruto pasti akan memarahinya. Hinata menggeleng kepala untuk membuang semua pikiran buruk itu.

"Apa kau marah padaku karena aku terlambat?"

"Tidak!" sanggah Naruto. Menggaruk kepalanya, sembari mengalihkan kontak mata. "Bukan begitu maksudku." Tampak lelah ̶ ̶ ̶ tiada kalimat yang terlintas. "Aku tidak marah, justru aku merasa bersalah ketika mengajakmu jalan-jalan hari ini."

Raut wajah itu berubah, setidaknya bukan lagi rasa cemas yang dilihat oleh Naruto. Ia bahkan menghela napas lega, ketika dirasa gadis itu sebentar lagi akan menangis.

"Jadi, kau tidak marah padaku?"

"Hei, kenapa aku harus memarahimu?" tanya balik pemuda itu. Melihat Hinata bergeming, ia kembali bingung untuk memilih kata. Seharusnya, ia tidak lupa bahwa gadis itu memiliki sifat yang sangat lembut. "Aku memintamu ke mari hanya ingin bertemu denganmu."

Gadis itu tersentak. "Setiap hari kita bertemu di sekolah."

Naruto bergeming, bibirnya tidak mengatup ketika berusaha menyela. "Intinya seperti itu! Aku ingin bertemu denganmu. Belakangan hari ini kau sibuk bimbingan, bukan?" jelasnya. "Hari ini aku ingin bertemu dengan Hinata, itu saja! Kalau begitu, aku harus bertemu dengan Shikamaru sebelum dia memukulku. Sampai jumpa, Hinata!"

Pemuda pirang itu berlari menjauh, sembari melambaikan tangan. Tidak mengindahkan bagaimana tatapan orang-orang berseliweran karena tingkahnya. Sedangkan Hinata, gadis itu mematung. Menatap bergantian pada gelang dan Naruto yang mulai menjauh.

"Kau bahkan sampai mengingat hal kecil yang aku sukai. Itu merupakan hal yang istimewa bagiku" Dia bergumam sembari tersenyum memandang gelang di tangannya.

"Bagaimana?!"

Hinata tersentak, dua gadis berdiri di depannya, dengan mata berbinar penuh harap.

Gadis berambut pirang terus memaksa dirinya, seolah-olah menyudutkan. "Apa kau berhasil menyampaikan perasaanmu?" kata Ino Yamanaka. Sakura Haruno melakukan hal serupa.

Moral of The StoryOù les histoires vivent. Découvrez maintenant