Into Twenty

351 43 0
                                    

Bagian yang paling menarik ketika melewati jalan agak curam adalah membiarkan pedal sepeda, lalu teriak lepas sembari merasakan angin seolah-olah menampar muka. Sisi kanan dan kiri setang digenggam kuat, kaki sengaja tidak menyentuh jalanan. Alih-alih melemaskan otot kaki. Meskipun beberapa kali terjadi gesekan antara sandal dan aspal. Kalau dibiarkan, alas sandal itu akan menipis.

Gadis itu tersentak lalu, melakukan rem dadakan. "Oh sial!" umpatnya. "Ini bukan sandalku." Dia menatap jalan, berdiri sambil menahan rem di tengah jalan yang agak curam, sedikit menguras tenaga. Terlebih lagi, ia tidak ingin mendapat hardik ibunya ketika sandal yang baru dibeli rusak. Seketika kepalanya pusing, membayangkan kakak laki-lakinya yang ikut campur kalau ibu mulai menghardik.

"Lebih baik, daripada tidak sama sekali." Hinata menghela napas, lalu mendorong sepedanya hati-hati.

Mungkin agak sedikit lama, ia bisa menebak kalau temannya Sakura Haruno nanti akan memarahinya ketika sampai di rumah gadis itu. Semoga saja. Hinata terkadang tidak mengerti, meskipun mereka sudah genap dua puluh tahun, namun masih ada orang tua yang suka mengatur jam pulang anaknya.

Padahal gadis itu merantau untuk melanjutkan pendidikan ke Bunkyo. Tinggal lama di apartemen, hanya pulang ke Sendai jika waktu liburan tiba. Hinata tergelak sesaat, ia bisa membayangkan bagaimana gadis itu merasakan kebebasan setiap harinya.

"Sa-chan! Apa kau sudah siap?" Dia bergeming, memandang pintu rumah yang tertutup. Tidak lama bermuram durja karena tidak ada yang menyaut dari dalam sana. Ada hal yang tidak Hinata suka dari sifat Sakura ̶ ̶ selalu lama bersiap-siap ketika sudah membuat janji. Dia akan marah, jika gadis itu memberi alasan belum mandi.

"Oh ayolah, Sa-chan. Kau tidak perlu mandi dan berdandan cantik ke rumah I-chan." Meskipun berteriak di depan rumah orang, gadis itu belum keluar rumah.

Hinata berpindah untuk mengintip dari jendela yang untungnya hanya di tutup oleh tirai tipis. Ekspresinya berubah kesal dengan mata menyipit, saat melihat Sakura tengah tersenyum di depan ponsel. Kedua telinga gadis itu disumpal dengan earphone. Kalau sudah begini, ia tidak perlu lagi merasa sungkan untuk membuka pintu.

"Aku ada janji dengan Hi ̶ ̶"

"Kau kebiasaan ya!"

Sakura tersenyum paksa, segera menutup ponsel dan berdiri dari kursi. Ia agak takut mencari alasan ketika Hinata berkacak pinggang, sembari melempar tatapan peringatan.

"Aku tidak melihat paman dan bibi."

"Ah, ya. Mereka pergi ke rumah saudaraku." Gadis musim semi itu menghela napas lega, ketika sahabatnya itu tidak mengungkit apa-apa. Namun, ia tersentak ketika arah mata Hinata tertuju pada ponsel di tangannya.

"Jangan pikir aku tidak tahu, kalau kau sedang menghubungi pacarmu," ketus Hinata. Lalu mengambil langkah keluar rumah. Tidak mengindahkan lawan bicaranya itu tersenyum kikuk.

Karena tidak ingin membuat kesal kembali, Sakura mengikuti Hinata dari belakang. Menyimpan earphone di dalam saku celana. Lalu, mengunci pintu rumah dan meletakkan di bawah keset kaki.

"Titipkan saja kunci itu pada tetanggamu, bahaya kalau orang lain tahu."

"Astaga, terimakasih karena sudah mengingatkanku."

"Berhenti berlagak manis. Cepat berikan pada tetanggamu, Sa-chan!"

◊◊◊◊

Perjalan menuju rumah Ino tidak terlalu jauh, kira-kira memakan waktu dua puluh menit dengan berjalan kaki. Kedua gadis itu memilih untuk tidak menaiki sepeda, bercerita sembari mengingat masa SMP cukup menyenangkan.

Moral of The StoryWhere stories live. Discover now