12: Suara Terbanyak

126 19 42
                                    

Sarah mengucek-ngucek mata, kemudian menghentikan gerakannya saat sebuah roti isi keju yang dilipat tersodor di hadapannya. Ia melirik Dee, sang pemilik tangan, kemudian tersenyum tipis dan menerima roti itu.

Mereka semua duduk melingkari piring yang sebelumnya diisi enam roti tawar isi keju. Semalam, semua sepakat untuk tidur di lantai dengan Sarah dan Leo yang bertukar tempat. Syifa bahkan menolak tawaran Sebastian yang mempersilakannya tidur di kasur, juga mengembalikan baju yang diberikannya. Meskipun ia terluka, bukan berarti ia yang paling perlu. Mereka semua sama-sama basah, pun sama-sama butuh tempat tidur yang nyaman.

"You can use the bathroom near the end of this residential area to shower yourself." Sebastian berujar, lalu menggigit rotinya. "Go try to find clothes in the closets of every house."

Sarah bersitatap dengan Dee, tersenyum tipis. Walaupun kemarin mereka berada beberapa senti dari makhluk itu, tetapi berada di dalam rumah membuat Dee merasa lebih aman dari sebelumnya.

Sarah segera menggigit roti di tangannya. Tak pernah menyangka bisa makan makanan seperti ini di hutan. Untunglah Sebastian tidak pelit.

Setelah masing-masing makanan mereka habis, mereka beranjak untuk mengikuti saran Sebastian. Baim meraih tasnya, kemudian berjalan lebih dulu ke arah pintu rumah. Perlahan ia membuka pintu, disambut oleh cahaya matahari yang bersinar lembut dan kicauan burung yang mengalun.

Baim menuruni tangga, diikuti kelima temannya. Sarah menatap sekitar begitu menapakkan kaki di tanah. Suasana tidak seseram kemarin.

Ia menoleh ke arah Baim dan Leo yang berjalan menjauh, terlihat mereka mendekati sebuah tubuh yang terkapar di antara rerumputan. Tidak ikut mendekat, Sarah sudah merinding membayangkan mayat makhluk itu yang pastinya dipenuhi darah.

"Kau tunggu saja di sini kalau tidak bisa berjalan." Arthur berujar pada Syifa yang duduk di anak tangga.

"Aku bisa, aku mau ikut." Syifa hendak bangkit. Arthur berdecak sembari memutar bola mata.

"Kau tunggu saja di sini, Syif, biar kami yang carikan baju untukmu." Sarah menyahut, tersenyum meyakinkan pada gadis berhijab itu.

Syifa mengembuskan napas panjang, kembali duduk. "Baiklah."

Sarah pun menarik tangan Dee menuju rumah panggung di sebelah rumah Sebastian, sementara Arthur menuju rumah di sebelahnya lagi. Begitu sampai di depan pintu, Sarah menarik dan membuang napasnya secara manual, berharap tidak menemukan mayat di dalam sana.

Ia meraih gagang pintu dan menekannya. Namun, pintu itu tidak bisa didorong, terus menahan tenaga yang diberikan oleh Sarah sehingga menimbulkan suara jegreg.

Sarah menarik tangannya ke samping tubuh, menghela napas. Ia menoleh ke arah Dee. "Dikunci, apa kau bisa lompat lewat jendela?"

Dee mengangkat sebelah alis, kemudian beralih menatap jendela di samping pintu. "Jendela ini berteralis, kalau ingin melompat masuk aku harus lewat jendela samping yang tidak berteralis. Tapi, aku tidak mungkin merayap di dinding seperti itu, 'kan?"

Sarah mengulum bibir, kemudian mengangguk-angguk. "Apa kuncinya tergantung di dalam?"

Tiba-tiba, suara debuman terdengar. Mereka menoleh ke arah rumah yang dikunjungi Arthur. Laki-laki itu terlihat berada di ambang pintu. Sepertinya ia mendobrak pintu itu.

Sarah kembali menatap pintu di hadapannya, merapatkan bibir sembari memikirkan segala kemungkinan yang bisa ia dapatkan dengan mendobrak pintu itu. Dengan penuh keyakinan, ia mundur selangkah dan maju menabrakkan bahunya pada bidang datar dari kayu itu.

"Argh ... shit!" Sarah mengaduh, mengusap-usap bahunya. Pintu itu hanya bergetar tanpa terbuka sedikit pun. Dee hampir tertawa melihatnya.

Sarah mengintip dari luar jendela, tak dapat melihat tanda-tanda kunci tergantung di lubang pintu bagian dalam. Ia pun menoleh ke rumah sebelah, bergerak hingga perutnya menempel pada pagar teras. "Om Arthur! Om!"

Unknown LocationDonde viven las historias. Descúbrelo ahora