18: Syifa di Mana?

76 15 11
                                    

Bunyi gesekan antara amplas dan kayu menguasai rungu Sarah, sebelum kemudian disahuti oleh erangan kesal milik Baim. Ia mendongak dari pekerjaannya menghaluskan anak panah, sedikit menyipit melihat Leo tersenyum penuh kemenangan sementara Baim hendak tengkurap di atas pasir.

Sarah menggeleng-geleng melihat kelakuan mereka di tengah sinar matahari yang terik, sementara ia dan para gadis lainnya duduk di bawah pohon kelapa bersama Arthur yang sedang membuat busur. Angin berembus cukup kencang, tetapi gelombang laut tidak seganas saat mereka pertama kali datang.

Sudah lama mereka tidak menghabiskan waktu di pantai, sebagian besar hari-hari mereka diisi oleh hutan. Kali ini, mereka memutuskan membuat senjata di tepi pulau itu.

"Dua ... tiga ...." Leo menghitung tiap kali kedua tangan Baim mendorong tubuhnya naik dari permukaan pasir. "Empat."

"Lima." Baim langsung berguling dan telentang, refleks mengernyit karena disapa oleh sinar matahari. Terengah-engah. Ia menutup matanya dengan lengan kanan.

"Ayolah, kau baru push up lima belas kali." Leo yang berdiri di sampingnya meledek.

"Jangan berbicara padaku, sialan. Ini panas sekali." Baim membalas masih dengan lengan menutup mata. "Apa ada air minum?"

Leo menggeleng-geleng. Laki-laki itu menyetujui tantangan mereka untuk push up tiap kali lemparan tombak mereka tidak menancap pada batang pohon seakan tidak takut jika harus push up lima puluh kali.

Leo menoleh ke arah Sarah. "Sar, boleh oper botol minumnya?"

Ia mendekat beberapa langkah sembari menengadahkan tangannya ke depan, menyisakan jarak lima meter sebelum Sarah melempar botol minum kepadanya.

"Thanks." Leo tersenyum, yang dibalas oleh Sarah dengan senyuman tipis. Laki-laki itu kembali mendekati Baim yang masih telentang dan berjongkok di sampingnya. "Sudah tahu panas terik, kenapa kau masih betah tiduran di sini? Apa kau tidak takut makin hitam?"

Baim menggeser lengannya yang menutupi mata ke atas dahi, melirik Leo dengan sinis. "Tutup mulutmu dan berikan minum itu. Aku tidak takut pada apa pun kecuali Tuhan."

"Wuih." Leo menyeringai–dengan maksud sedikit mengejek–sembari menggeleng-geleng sok kagum. "Siap."

Ia pun menyodorkan botol minum itu ke hadapan Baim, membuat sahabatnya itu bangkit duduk dan mengambil botol yang disodorkan. Tak lama, menenggak airnya.

"Apa kulitmu benar-benar tidak bisa berubah hitam?" Baim gantian bertanya setelah mengelap bibirnya dengan punggung tangan.

Leo mengedikkan bahu. "Aku juga tidak tahu, tapi sejauh ini, ya ... kulitku hanya akan memerah jika terkena sinar matahari. Cukup membahayakan sebenarnya."

"Ya, lebih berisiko terkena kanker kulit." Baim merespons.

Sarah menatap sepasang sahabat yang sedang berbincang itu, dalam hati sedikit merasa gemas. Baim yang sarkas itu terlihat seperti punya soft spot untuk orang-orang terdekatnya, dan Leo menjadi salah satunya. Ia juga terlihat berusaha menjaga Leo meskipun tak secara eksplisit.

"Hei, kalian! Dari pada menghabiskan energi untuk hal seperti itu, lebih baik tebar jala saja di sana!" Sarah berseru pada Leo dan Baim sembari menunjuk ke arah jam sepuluh.

Kedua laki-laki itu menoleh ke arah Sarah, kemudian saling melempar tatapan sebelum bangkit. Leo mengambil botol di tangan Baim dan menyerahkannya kembali ke Sarah, lalu segera menghampiri jala yang terletak tak jauh dari tempat mereka berdiri.

Sarah mengangkat dan memperhatikan anak panah yang baru saja selesai dibuatnya, tersenyum puas. Ia menoleh menatap Dee yang masih menempelkan bulu burung pada ekor anak panah, kemudian beralih menatap dua laki-laki yang berada di dekat jala ikan. Sarah pun memberikan anak panah buatannya pada Syifa yang menonton Dee memasang nock dan menghampiri kedua laki-laki itu.

Unknown LocationWo Geschichten leben. Entdecke jetzt