24 | The Hardest Part of Lost ✔️

1K 114 20
                                    

24

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

24. The hardest part of lost

"Kamu dari mana aja?"

Langkah lesu yang sudah tak bertenaga itu terhenti saat kalimat tanya dari Vera terdengar. Si empu kemudian berbalik badan, menghadap Vera yang mendekat padanya.

"Itu tangan kamu," salfok Vera langsung ia tanyakan. "Kenapa? Habis mukul apa?"

Alva melihat tangannya sendiri. Begonya dia belum sempat melihat luka yang ia ciptakan sendiri. Harusnya ia hilangkan jejak itu. Agar tak ada pertanyaan apapun yang mengharuskannya untuk menjawab. Karena jujur, Alva kehabisan tenaga hanya untuk hal tak penting.

"Pohon."

"Tabiat kamu, ya," Vera terkekeh. "Mama paling nggak suka kamu yang emosian. Dikit-dikit marah, dikit-dikit mukul, dikit-dikit--,"

"Mama pikir manusia mana yang nggak emosi kalau tau adiknya sekarat karena ulah dia sendiri?" sela Alva. Nada suaranya mulai meninggi. "Kalau bukan karena aku, Melvin nggak akan kayak gini. Melvin nggak bakal masuk di ruangan itu. Berjam-jam dia ditangani sama dokter. Giliran dokternya keluar malah cuma bisa hela napas dan bilang kalau Melvin nggak bisa diperjuangin lagi. Gimana kalau itu terjadi?"

Vera bungkam. Ia kini sepemahaman dengan Alva. Matanya melirik ke arah pintu UGD. Membayangkan apa yang dikatakan Alva tadi benar terjadi. Akan sehancur apa dia nanti?

"Mama kira aku nggak punya hati? Denger Melvin ngomong dia bakal kasih semua organ dia ke Evin aja rasanya aku mau dendam sama diriku sendiri. Melvin nggak akan pernah mau ngomong kayak gitu kalau dia ngerasa dia masih punya aku."

Semakin lama, suara Alva terdengar semakin lirih. Cowok itu menahan isakannya.

"Dia bisa sepasrah itu karena dia mikir dia udah sendirian di sini. Dia mungkin ngerasa udah nggak punya siapa-siapa lagi semenjak aku bilang waktu itu kalau dia parasit. Ditambah aku nggak peduliin dia pas dia jenguk aku."

Semua penyesalan itu akan Alva keluarkan. Agar ia tahu, bukan hanya Vera yang masih menginginkan Melvin. Tetapi ia juga. Sekaligus memberitahu Vera, se-menyesal apa dia sekarang. Juga agar Tuhan dapat mendengarnya yang masih menginginkan kesempatan sekali lagi untuk memperbaiki.

"Itu semua salahku, Ma. Kalau aja waktu itu aku nggak kelepasan emosi dengan ngomong yang enggak-enggak ke Melvin, kalau aja aku hargai keberadaan dia pas dia jenguk aku, aku pikir ini semua nggak akan terjadi. Melvin nggak akan kayak gini, Melvin nggak akan mau korbanin nyawa cuma buat bajingan satu itu."

Kepala Alva tertunduk. Kini ia membiarkan semua air mata itu jatuh sebebasnya. Dia setakut itu kehilangan Melvin.

"Melvin tuh berharga banget buat aku, Ma. Tapi emang akunya yang salah dari awal. Kayaknya aku yang lebih pantes disebut bajingan."

Bumantara dan LaranyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang