•Bonchap 1 | study or family?•

799 83 10
                                    

+17, warn dikit lah. Anw, met ngabuburit.

.
.

Tim baca jam brp nie??

.
.

𓃹 Lecturer Around Me 𓃹





Gue bersyukur bisa menyelesaikan kuliah gue tepat waktu. Dan gue sekarang tinggal nunggu wisuda aja, soalnya antri. Nggak terasa ini udah kelewat hampir satu tahun setengah semenjak pernikahan gue dengan Pak Doyoung.

Selama hampir satu tahun setengah itu, nggak jarang gue mendapat komentar dari keluarga Pak Doyoung buat segera punya momongan. Berbeda dengan keluarga gue, Mami sama Kak Jaehyun nggak banyak nuntut penting kuliahnya kelar dulu. Gue pikir dulu keluarga Pak Doyoung nggak mempermasalahin gue yang masih nunda buat punya anak, ternyata nuntut juga. Padahal setelah gue pikir kan nyokap bokapnya Pak Doyoung juga udah pernah ngerasain punya cucu duluan, anak Kak Gongmyung. Lantas kenapa masih nuntut?

Oke, anggap aja mereka ingin segera melihat cucunya dari anak bungsu. Ya kan? Tapi gue nggak bisa. Gue harus selesain satu-satu dulu baru nanti bisa fokus ke diri gue dan Pak Doyoung. Toh, selama itu Pak Doyoung nggak ada nuntut-nuntutnya ke gue, dia juga mencoba ngomong ke orang tuanya. Walau nggak didengerin sih. Ya setidaknya Pak Doyoung juga sudah berusaha. Dan gue juga nggak begitu tau apa yang diomongin Pak Doyoung ke orang tuanya, soalnya mereka kayak tiba-tiba berhenti gitu. Berhenti nggak ngejar gue buat punya anak dengan segera.

Ya gimana ya, waktu itu gue lagi pusing mau KPL, KKN, terus diserang sama skripsian. Apa nggak mau gantung diri gue? Tapi gue bersyukur semua lika-liku perkuliahan telah terlewati dengan sempurna.

"Sayang... Sarapan dulu yuk. Kelas kamu kan mulainya jam tujuh lima belas." Gue mengajak Pak Doyoung untuk sarapan.

Panggilan 'kak' udah lenyap satu tahun lalu. Satu tahun lalu pula gue mendapat pelatihan khusus dari Pak Doyoung. Awalnya gue takut karena seenaknya manggil dia kamu, meskipun sopan sih. Tapi bagi gue enggak enak aja gitu. Gue kadang masih menyadari kalau Pak Doyoung itu dosen gue, ya bener sih. Tapi gue lupa kalau beliau sudah jadi suami gue. Harusnya memakai 'kamu' juga sudah sopan banget kan? Daripada 'anda'? Kaku banget malahan.

Fyi, pelatihan yang dibuat Pak Doyoung untuk gue nggak semudah itu. Sekali gue manggil 'kakak' imbalannya satu kali ciuman.

Gimana gue nggak harus hati-hati tuh?

"Sayang... Keburu dingin sumpah." Gue berteriak lagi karena tak mendapat respon dari beliau.

Rumah yang gue tempati, alias rumah Pak Doyoung, alias sekarang jadi rumah gue juga, itu luas. Luas banget dan gede banget. Gue dulu bahkan pernah bilang kalau rumah Pak Doyoung terletak di tempat yang sangat strategis, perumahan yang elite juga. Benar-benar keluar dari rumah langsung jalan raya. Jalan ijen namanya.

Bukannya menyahuti, justru Pak Doyoung nelpon gue. Beruntung hp gue ada di dalam saku. Jadinya getar.

"Diteriaki kok malah nelfon?" Omel gue kala mengangkat panggilan dari Pak Doyoung.

"Tolong bawakan ke tempat saya bisa?"

Gue mengerutkan kening. Nggak biasanya.

"Kenapa? Ini jam tujuh aja masih kurang lima belas menit. Sedangkan kelas kamu kan jam tujuh lewat lima belas, yang artinya kamu punya waktu turun dan sarapan tiga puluh menit. Masih lama loh."

Semakin beranjak usia, gue nggak bisa untuk nggak ngomong panjang lebar dan jelas begini. Anggap aja dulu gue masih bodoh, labil, dan kekanak-kanakan. Tapi sorry to say, bentar lagi gue wisuda dan lika-liku perkuliahan udah gue lewati. Artinya, gue udah bisa bicara was wis wus wes wos tapi logic.

LECTURER AROUND ME [SEGERA TERBIT]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora