18

7.2K 586 49
                                    

"Tidur saja jika masih mengantuk."

Perkataan Naruto membuat Hinata yang sedang menguap menoleh, menatap suaminya yang tengah mengemudi di sebelahnya itu. "Aku memang masih mengantuk, akibat kurang tidur," sahut Hinata menyindir tipis.

Dan Naruto menangkap maksudnya. Ia tahu, dirinyalah yang patut dijadikan 'tersangka' karena sudah membuat wanita itu tidur larut malam, juga harus bangun di subuh hari karena Naruto yang tidak berhenti mengecupi punggung telanjangnya, membangunkannya dengan alasan 'sekali lagi'.

Kata mereka, Tuhan menyayangi orang yang sabar.

Mungkin karena Naruto sudah cukup bersabar selama beberapa waktu belakangan, hingga Tuhan menyayanginya dan memberinya kado ulang tahun berupa kesempatan untuk meraih malam yang benar-benar memuaskan. Ia sampai-sampai harus berulangkali mengingatkan diri sendiri bahwa istrinya itu masih merasa sakit dan perlu beristirahat.

Kembali pada jawaban Hinata tadi, Naruto pun menyahut dengan kening yang berkerut pelan, "Kau lebih sering menyindir sekarang."

Hinata tertawa kecil. "Benarkah?"

Naruto mengangguk singkat, membenarkan.

"Tapi aku memang kurang tidur, Pak."

"Aku tahu."

"Dan selangkanganku masih perih, tidak nyaman."

"Air hangat tadi tidak membantu?" tanya Naruto mengingatkan Hinata akan momen tiga jam yang lalu, di mana mereka berbagi bathtub dan berendam air hangat bersama.

Tentu saja, hal itu merupakan ide dari Naruto. Pria kaku itu cukup peka dan membopong Hinata ke kamar mandi, memberitahu bahwa sekiranya air hangat bisa membantu mengurangi rasa sakit. Dan pria itu benar. Tubuh Hinata yang terasa pegal karena digempur oleh sang suami bisa terasa lebih rileks dari sebelumnya.

"Lumayan, tapi tetap saja tidak hilang sepenuhnya."

"Sudah semestinya."

"Pak."

"Naruto, Hinata." Naruto menghela napas karena lagi-lagi harus mengingatkan wanita itu agar mau mengubah panggilannya.

"Eh, iya, Naruto," ucap Hinata tersenyum tipis. "Kak Karin itu orangnya bagaimana?" sambungnya bertanya penasaran.

"Karin?"

"Iya, Kak Karin," sahut wanita itu. "Aku jadi gugup. Bagaimana kalau dia tidak menyukaiku?"

"Dia suka atau tidak, tidak akan mengubah apa pun, Hinata," ujar Naruto masih dengan pandangan mata tertuju pada jalan di depan. "Lagipula, tidak perlu segugup itu. Dia tidak semenyeramkan yang kau kira."

"Tetap saja," cebik Hinata cemberut. "Aku juga segugup ini sewaktu akan bertemu Ibu Kushina untuk pertama kali."

"Lalu?"

"Ternyata Ibu baik sekali. Aku lega."

"Dan bedanya dengan yang sekarang apa?" Naruto menggeleng jengah.

Berdecak, Hinata kembali berujar, "Kau tidak mengerti, Naruto."

"Aku mengerti, maka dari itu, aku bilang jangan khawatir. Dia baik."

"Omong-omong, Kak Karin benar-benar baru pulang kali ini setelah tiga tahun di luar negeri, 'kan?"

"Iya."

"Kuliah?"

"Magister, sekaligus bekerja."

"Oh. Kalian pasti sangat dekat, ya?"

Naruto menoleh sekilas. "Tahu dari mana?"

"Foto kalian yang ada di kamarmu," jawab Hinata. "Astaga, aku jadi iri. Bagaimana rasanya memiliki seorang kakak laki-laki yang bisa diandalkan?"

Secretly Married [NaruHina] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang