Part 2

407 81 34
                                    

Can i get some vote and comments?

Hope you enjoy read this story!

<3

Dentingku terasa nyaring, melodiku tak beraturan. Aku adalah potongan nada yang gagal kau suarakan.

***

Rooftop berukuran 3 x 3 meter dengan lantai basah dan sedikit genangan air tak juga kering. Tetesan air masih terus menghujaminya. Lain dengan lantai yang basah, sebatang rokok yang Akira hisap tak juga padam.

Ia terlentang menatap langit abu, jas sekolah masih menempel di tubuhnya dari kemarin, dan sekarang waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi.

Hujan masih cukup deras pagi ini, satu hisapan rokok terakhir, kemudian Akira membuangnya dengan sembarang. Akira berganti posisi duduk, ia menyisir rambut panjangnya ke belakang, menarik dan mengembuskan nafasnya yang cukup terasa sesak. Tak lama, ia bangkit dan menghabiskan sisa paginya di bawah guyuran shower kamar mandi. 

Akira tahu, sejak semalam ia tak sendiri di rumahnya. Ada seorang anak kecil, beberapa kali mengintip kamar Akira ketika ia mengeringkan rambut dan telah berseragam rapi. Pukul setengah tujuh akira siap berangkat ke sekolah. Saat sedang mengikat tali sepatu, sebuah tangan kecil menghinggapi sepatu Akira, matanya menatap wajah Akira lamat-lamat hingga kemudian bibirnya mengucapkan sebuah kalimat.

"Kakak bisa menyalakan kompor untukku? Aku tidak sampai..," tanyanya.

Perempuan itu menoleh ke arah dapur, melihat meja yang tingginya sepinggang orang dewasa. Ia bangkit dari tempatnya, berjalan menuju dapur. Jeeran, anak kecil cowok itu mengikuti langkah Akira. Tak berselang lama, Akira menyalakan kompor. Jeeran mendorong sebuah kursi dari meja makan yang tak jauh dari meja dapur, ia menaikinya.

"Thanks."

Akira tidak membalasnya, ia keluar, berangkat menuju sekolah, meskipun sebelumnya ia menoleh sekilas, Jeeran memasak air, mungkin untuk membuat susu panas. Akira tidak mengambil pusing, tak juga peduli bahwa Jeeran masih seorang anak berusia sekitar enam tahun.

***

Pagi masih mendung, lapangan utama sekolah masih basah. Tapi semangat dari guru olahraga secerah matahari di padang pasir, terik tak surut. Akira menatap tongkat bisbol dan juga beberapa bola yang berada di dalam karung di sudut lapangan. Ia terbayang bola-bola yang sengaja dihantamkan pada dirinya kemarin. 

Kelompok siswa yang merundungnya kemarin turut hadir, mereka bergerombol menjadi satu lingkaran, tertawa terbahak. Akira tidak merasakan emosi apapun, ia hanya menatapnya dengan tatapan kosong. Namun, melekat lingkaran dendam yang garisnya tak putus, ia harus terbalaskan.

Murid yang berjumlah 24 orang dibagi menjadi dua tim untuk melakukan permainan. Sialnya, Akira satu kelompok dengan mereka. Setiap tim mengatur strategi, pemukul, pelempar, juga penjaga masing-masing base. "Gue pemukul pertama," Akira memulai sekaligus memilih perannya. "Gines pelempar," ujar Akria lagi, Gines sudah akan memprotes, namun lanjutan kalimat Akira membuatnya cukup terdiam. "Lo paling pendek, gak bisa jadi pelari, so, lo jadi pelempar."

Perempuan di depan Akira berdecih, memutar bola mata lantas berbalik.

"Are you okay?" Saka, cowok di samping Akira memperhatikan Akira. Ia melihat memar di wajah Akira, juga beberapa luka.

Akira menarik kedua ujung bibirnya, "Sejak kapan gue bisa gak baik-baik aja?"

Saka mengembuskan napas, "The strong Akira, well, i hope you're really fine."

MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang