8 | Janji

0 0 0
                                    

"Baiklah itu saja pelajaran hari ini, kumpulkan tugas kalian sebelum pulang ya." Ucap guru berambut merah itu sambil keluar dari kelas.

Aku melipat kedua tanganku di atas meja, kemudian membiarkan kepalaku bertumpu pada kedua tanganku. Rasanya lelah sekali, sangat membosankan.

"Anita... Pengagum nomor satu lo datang tuh."

Aku berdecak, lalu mengangkat kepalaku. Seorang laki-laki berambut mangkok berdiri di depan pintu sambil menatapku. Aku kembali menundukkan kepalaku dan mengabaikan keberadaan laki-laki penguntit itu.

"Eh Nit, jangan gitu dong, kasihan Edo udah datang kesini."

Teman-temanku malah mendukungnya. Aku tidak suka keributan, jadi aku berdiri dari kursiku dan berjalan keluar dari kelas sambil menghentakkan kakiku. Di belakangku Edo mengikutiku dengan langkah santai. Tapi tidak dengan tatapan orang-orang di sepanjang lorong yang aku lalui.

Karena kebiasaan Edo mengikutiku dan mulut teman-temanku yang tidak ada rem otomatisnya. Seluruh sekolah jadi tahu tentangku dan Edo. Tapi itu belum semua. Masalah yang paling membuatku terganggu adalah karena dulu penampilan Edo tidak seperti ini.

Dulu dia punya banyak penggemar, dia terkenal karena wajahnya yang kebarat-baratan. Mata biru, kulit putih, rambut cokelat, bintik-bintik pada batang hidung dan pipinya, benar-benar jauh dari kesan orang pribumi.

Lalu disebuah malam, entah setan apa yang merasuki diriku, aku mematik pertengkaran dengan Ayah. Karena marah, aku membawa mobil Ayahku di tengah malam. Saat sampai di persimpangan jalan yang sepi, aku benar-benar tidak tahu harus kemana. Akhirnya aku putuskan untuk membiarkan tangan dan kakiku membawa mobil itu sesuka hatinya. Kemudian aku berhenti di depan sebuah rumah yang terlihat sudah lama ditinggalkan. Anehnya, saat aku melihat rumah yang sebagian hangus itu, ada perasaan hampa. Seperti kehilangan, rasa rindu, perasaan kesepian.

Dan di tempat itulah aku bertemu Edo. Dia menangis di dekat rumah itu, di bawah sebuah pohon, bersembunyi dibalik gelapnya malam. Ketika aku mendekatinya, dia langsung menghapus semua air matanya dan mengancam ku untuk tidak memberitahu siapapun.

"Iya iya, gue janji gak akan ngasih tahu siapa-siapa."

"Gue gak percaya."

"Terus gimana? Lo mau apa?"

"Gak tahu, yang pasti gue bakal ngawasin lo."

Setelah mengatakan itu, dia pergi tanpa mengatakan apapun. Keesokan harinya, penampilannya berubah dan dia benar-benar mengikutiku terus di sekolah. Sampai teman-temanku salah mengartikan perilakunya.

"Lo bisa berhenti gak sih." Kataku dengan kesal saat kami sampai di area serbaguna sekolah.

"Bisa, tapi lo harus jawab pertanyaan gue dulu."

"Apa?"

"Malam itu, lo ngapain datang ke rumah itu?"

Seketika kekesalanku luntur, aku terdiam membisu, aku tidak tahu harus menjawab apa. Otakku berhenti bekerja, aku bahkan tidak bisa memikirkan alasan untuk dikarang. Kemudian sebuah pertanyaan terlontar dari bibirku.

"Lo sendiri ngapain disana? Nangis lagi."

"Itu rumah nenek gue, ya gue kangen aja jadi datang kesana."

Mampus gue.

Refleks aku mengumpat dalam hati. Gimana nih, gue harus pakai alasan apa? Apa gue jujur aja?

"Rumah itu satu-satunya tempat gue kabur. Rumah yang buat gue ngerasa pulang." Lanjut Edo.

Saat Edo menyebut kata pulang, aku merasa sengatan listrik menyambar hatiku. Menggerakkan gigi-gigi roda yang sudah lama mati. Jantungku berdetak kencang, hatiku tiba-tiba terasa sesak, rasanya ada kekesalan yang pecah dan ingin aku teriakan. Aku tidak suka perasaan ini, aku segera kembali ke kelas, meninggalkan Edo yang mulai menjatuhkan air mata.

Rose (Kumpulan Cerita)Where stories live. Discover now