Part 3 - Lika-liku Kehidupan

35 6 0
                                    

Mentari mulai menampakkan sinarnya melalui celah jendela kamar. Meski begitu, gerimis tipis-tipis sudah turun beriringan dan membasahi pelataran rumah. Aku mengerjap pelan, kemudian beranjak bangun dan bersiap mandi untuk membersihkan diri.

Saat hendak ke kamar mandi, kulihat Ibu mengenakan daster bermotif bunga dengan wajah natural tanpa riasan. Auranya terlihat cerah, segar dan tampak bersemangat. Kulihat pula di tangan kanannya, beliau menjinjing sebuah keresek putih berisi sayur-mayur serta lauk baru saja dibeli dari penjual sayur yang biasa nongkrong di depan rumah.

“Habis mandi, terus masak! Biar kamu bisa bawa bekal ke sekolah.” Wanita itu melewatiku begitu saja, kemudian meletakkan barang belanjaannya di dapur. “Ibu harus cepat bersiap-siap.” Tanpa meminta persetujuanku, wanita itu langsung masuk ke kamarnya dan meninggalkanku begitu saja.

Aku hanya bisa pasrah, bergegas mandi dan memasak untuk konsumsi sehari-hari. Maklum, Ibu harus bersiap-siap menggaet pelanggan sejak pagi. Sudah menjadi rutinitasku melihat Ibu memasukkan laki-laki ke kamarnya. Bahkan, tidak jarang dari mereka menatap penuh nafsu ke arahku.

Selesai mandi, aku mendengar suara ketukan pintu rumah. Mulanya terdengar lirih, lama-kelamaan terdengar seperti diketuk agak keras. Buru-buru aku berlari ke arah pintu, kemudian membukanya untuk melihat siapa yang datang. Benar seperti tebakanku, seorang laki-laki tambun dan berpakaian rapi ala kantoran sudah menunggu di depan.

“Cari siapa?” tanyaku basa-basi meski kutahu lelaki itu adalah pelanggan pertama Ibu.

Bukannya menjawab, lelaki itu justru menatapku dari atas hingga bawah dengan tatapan penuh nafsu. Aku beringsut mundur beberapa langkah, takut kalau dirinya berbuat macam-macam nantinya.

“Ah, kamu manis sekali!” ujarnya dengan raut wajah genit.

“Maaf, cari siapa?” tanyaku memberanikan diri.

“Eh, Tuan! Silakan masuk, Tuan!” Ibu menyahut dari dalam. Kali ini, ia hanya mengenakan mini dress hitam tanpa lengan yang membuat penampilannya semakin seksi.

Laki-laki itu langsung masuk setelah melihat ibuku menyambut. Ia melewatiku begitu saja, kemudian masuk ke kamar bersama Ibu. Sungguh miris, hancur hati ini tatkala melihat pemandangan serupa setiap hari. Tidak tega ketika melihat banyak lelaki menjamah tubuh wanita yang kusayangi begitu saja. Inikah yang disebut didewasakan oleh keadaan?

‘Andai saja ada Ayah di sini ….’

Peristiwa seperti itu tidak pernah bisa kuhentikan. Ingin meminta tolong kepada orang lain pun tidak bisa sebab mereka sama seperti ibuku, menekuni pekerjaan bejat demi menafkahi keluarga. Rata-rata, penghuni kampung ini adalah kupu-kupu malam, sama seperti ibuku, hanya satu atau dua orang yang benar-benar memilih menekuni pekerjaan lain seperti membuka kedai makanan di depan rumah.

***
Malam ini lebih sunyi daripada biasanya. Tidak ada seorang pun yang terlihat bercengkrama di sekitar rumah. Kala itu, aku sedang membaca buku di kamar. Samar-samar terdengar suara ibuku sedang mengobrol dengan seseorang. Karena penasaran, aku memilih mengintip di balik gorden jendela kamar.

Di teras rumah, Ibu terlihat berbicara dengan seorang wanita yang tidak asing. Wanita itu memakai gaun ketat di atas lutut, juga riasan tebal yang terkesan menor turut menghiasi wajahnya. Rambutnya yang berwarna cokelat kekuningan dibiarkan tergerai, membuat siapa pun yang melihatnya akan terkesima.

Sekilas kulihat wajah wanita itu dari balik gorden, ekspresinya tampak serius. Begitu pun dengan wajah Ibu, tidak kalah serius dari wanita di hadapannya. Samar-samar dapat kudengar pokok obrolan keduanya sebab kamar ini berada paling depan, dekat dengan beranda rumah.

“Rindang, anakmu sekarang sudah berusia tujuh belas tahun, kan?” tanya wanita yang diketahui bernama Misel.

“I-iya, Mi. Kenapa?” Ibuku menjawab tanpa menatap wajah wanita di hadapannya. Ekspresinya pun tampak gugup.

Aku Bukan Anak HaramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang