Part 10 - Pertemuan Pertama

46 6 1
                                    

Potongan cerita hidupku mirip puzzle yang belum tertata rapi. Aku harus bisa memecahkan teka-teki itu untuk menyatukan Ayah dan Ibu suatu saat nanti. Tentu tidak mudah, Allah pasti membantu hamba-Nya yang mau berusaha.

Saat itu, kusimpan secarik kertas dari Ayah di kantung keresek hitam yang selalu aku bawa ke mana-mana. Satu lagi bukti yang terkumpul, semakin membuka jalan menembus kebahagiaan yang selama ini aku nantikan. Berharap suatu saat nanti bertemu Ayah di saat yang tepat, lalu bisa menyodorkan beberapa bukti tersebut.

Malam itu, rasa kantuk sudah melanda, membuat kelopak mata hampir terpejam. Aku membanting tubuh di atas kasur, kemudian terlelap hingga pagi menjelang.

***

Kokok ayam jantan terdengar bersahutan diiringi suara beker yang berbunyi nyaring sukses membangunkanku dari tidur lelap semalam. Tanpa terasa, seluruh tubuh terasa pegal, punggung berat, bahkan kepala pun mendadak pusing. Ditambah lagi tenggorokan ini mendadak sakit, mungkin penyakit radang tenggorokan yang aku derita mulai kambuh.

Lekas kuraba kening dengan telapak tangan, terasa hangat dan gemetar. Ah, bagaimana bisa aku berjualan gorengan dengan keadaan seperti ini? Tidak ada pilihan lain, terpaksa aku bangkit dari tempat tidur dan memaksa diri membereskan rumah.

“Ayo, Shilla, kamu harus kuat! Kan, hari ini kamu harus jualan,” ucapku menyemangati diri sendiri.

Dengan langkah tertatih dan tubuh gemetar, aku berjalan menuju kamar mandi. Guyuran air yang mengalir deras dari keran terasa dingin saat menyentuh permukaan kulit. Badan ini menggigil, tetapi berusaha kutahan agar tidak ambruk. Suhu tubuh yang semula panas, beralih menjadi rasa dingin menyelimuti diri. Kupercepat gerakan untuk menyelesaikan mandi, kemudian kembali ke kamar untuk menghangatkan tubuh sejenak.

Sesampai di kamar, kembali kurebahkan diri di atas kasur. Berbaring sejenak, kemudian menarik selimut untuk menghangatkan diri. Tidak terlalu cepat mengubah suhu tubuhku, tetapi cukup mampu mengurangi rasa dingin yang menjalar. Perlahan, tubuh yang semula menggigil berubah menjadi hangat. Bibir yang semula bergemeletuk, perlahan menjadi tenang.

“Bangkit, Shilla! Kamu harus kuat!” ucapku menyemangati diri sendiri.

Setelah rasa dingin itu hilang, aku perlahan bangkit, lalu berjalan ke luar rumah untuk mencari bahan makanan. Hari ini, aku sudah niat untuk memasak agar tidak merepotkan Mbah Jum lagi.

“Sayur, sayur! Sayur, Bu!” teriak tukang sayur yang mangkal tidak jauh dari rumahku.

Lekas kuhampiri tukang sayur tersebut. Di sana sudah ada beberapa orang wanita yang sedang memilih-milih sayuran. Mereka tampak asyik mengobrol, entah apa yang sedang dibicarakan. Diri ini hanya fokus memilih sayuran dan lauk-pauk untuk olahan menu masakan hari ini. Setelahnya, lekas kubayarkan total belanjaan kepada tukang sayur tersebut.

“Berapa totalnya, Mas?” tanyaku sambil menyodorkan barang belanjaan tersebut.

“Dua puluh ribu, Mbak. Nggak nambah jamurnya sekalian? Ini, tinggal sebungkus aja, loh!” tawar tukang sayur tersebut sambil menyodorkan sebungkus jamur ke arahku.

“Berapa jamurnya, Mas?”

“Tujuh ribu, Mbak.”

“Ya udah, deh, boleh. Totalnya dua puluh tujuh ribu, ya? Ini uangnya, Mas.” Aku menyodorkan tiga lembar uang sepuluh ribuan.

“Ini kembaliannya, Mbak.” Tukang sayur tersebut menyodorkan uang kembalian kepadaku.

“Terima kasih.”

Setelah mendapat bahan makanan yang dibutuhkan, aku bergegas pulang. Di tengah perjalanan, aku bersimpangan dengan Mbah Jum.

“Mau ke mana, Mbah?” tanyaku kepada Mbah Jum.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 08, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Aku Bukan Anak HaramWhere stories live. Discover now