Part 5 - Orang Baik

27 5 0
                                    

Pagi itu, lalu-lalang kendaraan di jalan raya sekitar rumahku mulai padat merayap. Hal itu terbukti dari banyaknya kendaraan roda dua yang saling berhimpitan dan mendahului demi mendapatkan jalan. Tidak hanya itu, matahari pun mulai terik meski jarum jam baru menunjukkan pukul delapan.

Aku berjalan sekitar satu kilometer ke arah pasar terdekat untuk mencari angkutan umum yang mengarah ke Jalan Kenjeran. Tidak mudah memang sebab angkutan umum tersebut hanya mau mencari dan menurunkan penumpang di sekitar pasar saja, katanya takut membuat macet pengguna jalan lain jika berhenti seenaknya. Tanpa terasa, butir keringat sebesar biji jagung mulai menetes dari puncak dahiku. Berulang kali tangan ini mengelap bekas keringat tersebut, tetapi sia-sia lantaran sinar matahari sangat terik meski hari masih pagi.

Sekitar dua puluh menit berjalan, akhirnya aku sampai di sekitar pasar. Diri ini harus menunggu di lokasi antar jemput penumpang. Kondisi pasar sangat ramai, mayoritas dipenuhi wanita setengah baya berdaster.

Lama menunggu di tempat tersebut, angkutan umum itu tidak kunjung datang. Aku mulai lelah dan hampir menyerah, berharap ada sesosok malaikat tanpa sayap yang akan memberikan tumpangan.

“Nunggu apa, Dek?” tanya seorang wanita yang menenteng plastik belanjaan, kutaksir usianya kisaran 40 tahun.

Aku tersentak, tersadar dari lamunan tatkala Ibu itu memanggil. “Eh, nunggu angkot, Bu. Mau ke Kenjeran,” jawabku jujur.

Wanita itu mengernyit keheranan. “Angkot? Mana ada angkot jam segini, Dek? Adanya baru nanti, sekitar pukul sembilan, Dek. Itu pun jarang ada angkot yang menuju Kenjeran. Kalau dari Kenjeran ke sini, banyak.” Ibu itu menerangkan panjang lebar.

“Waduh, terus gimana, ya, Bu?”

“Naik ojol saja, Dek.”

“Saya nggak punya ponsel, Bu. Uang pun pas-pasan, buat ongkos cari Bapak di sana.”

“Hah, maksudnya? Cari Bapak gimana?”

Aku menarik napas panjang, kemudian menjelaskan semuanya kepada Ibu itu. Beliau merasa iba, lalu mengajakku ke rumahnya yang tidak jauh dari lokasi pasar tersebut. Sesampai di sana, wanita itu mengambil ponsel, kemudian memesan sebuah aplikasi ojek online yang sedang marak di kalangan masyarakat. Tidak hanya itu, beliau juga memberiku selembar uang kertas berwarna biru untuk uang saku.

“Lho, Bu, ndak usah repot-repot. Saya dipesankan ojol saja sudah terima kasih, Bu.” Aku berusaha mengembalikan uang yang beliau berikan.

“Nggak papa, Dek. Mumpung Ibu ada rezeki lebih. Sudah, masukkan saja uang itu, hitung-hitung menambah uang saku untuk ongkos mencari bapakmu di sana.” Tangan wanita itu menggenggam tanganku, memaksa diri ini menerima uang tersebut.

Aku terenyuh melihat kebaikan wanita itu, padahal baru saja kenal. “Baik, Bu. Terima kasih banyak.” Lekas kucium tangan wanita itu, bermaksud menghormati sekaligus tanda terima kasih.

Tidak lama setelahnya, seorang lelaki datang dengan menaiki motor matic. Kutaksir beliau adalah driver ojek online tersebut sebab memakai jaket beratribut hijau. Ibu itu lekas menghampiri driver tersebut, memastikan benar atau tidaknya driver yang dipesan lewat aplikasi ojek online.

“Oh, iya, benar. Cepetan naik, Dek!” ujar wanita itu, kemudian menyodorkan helm yang diberikan oleh driver tersebut.

“Terima kasih banyak, Bu. Jadi, saya harus bayar berapa ke Bapak ini?” tanyaku memastikan.

“Nggak usah, udah saya bayar pakai e-wallet. Bapak ini akan mengantarmu sampai tujuan.”

“Waduh, terima kasih banyak, Bu. Pangeran sing mbales.” Aku merapatkan kedua tangan di depan dada, sedikit mengangguk sebagai tanda menghormati.

“Aamiin ….” Wanita itu tersenyum ke arahku. “Hati-hati di jalan, ya,” sambungnya.

Tidak berapa lama, driver ojek online tersebut mulai menancapkan gas motornya perlahan. Motor matic ini melaju santai, tidak terlalu cepat, tidak pula terlalu pelan. Sepanjang perjalanan, aku menikmati suasana pagi di kota tercinta ini. Maklum, aku tergolong anak rumahan, jarang sekali jalan-jalan keliling kota.

Kekagumanku pada kebersihan kota Surabaya sangatlah dalam. Hal itu terjadi karena kebersihan jalanan terjaga serta hijaunya pepohonan yang ditanam di kanan kiri jalan menambah kesan sejuk di kota yang terkenal dengan hawa panas ini. Aku menoleh kanan dan kiri sambil berdecak kagum atas kerja keras pihak-pihak yang berhasil menghijaukan kota Surabaya.

Selain itu, speaker tentang mematuhi rambu-rambu lalu lintas yang terpasang di area traffic light juga sempat mencuri perhatianku. Meski terkesan norak, tetapi aku sangat mengagumi hal tersebut sebab diriku tidak pernah berkelana menyusuri kota ini.

“Kenapa, Dek?” tanya Bapak itu setelah melihatku dari pantulan kaca spion.

“Ah, nggak papa-papa, Pak. Cuma kagum aja sama kota ini, ternyata bersih dan hijau.” Aku menjawab jujur.

“Oh, iya, Dek. Kota ini semakin maju sejak dipimpin walikota perempuan dulu.”

“Oh, iya, Pak. Maklum, saya sedikit norak karena nggak pernah ke mana-mana. Hehe ….” Aku menjawab sambil cengar-cengir.

“Iya, nggak papa, Dek. Di rumah lebih baik daripada keluyuran, apalagi anak perempuan, bahaya!”

Setelah berucap demikian, lampu traffic light menyala hijau. Bapak itu kembali menancapkan gas motornya secara pelan. Sementara itu, aku kembali menatap sekitar sambil mengagumi indahnya kota tercinta.

Dua puluh menit setelahnya, driver itu mengurangi laju motornya sambil menatap layar ponsel yang menunjukkan arah jalan. Setelahnya, menyalakan lampu sein kiri dan bersiap memilih perhentian khusus.

“Turun di sini, ya, Dek?” tanyanya setelah berhasil meminggirkan motornya di tepi jalan, tepat di gapura komplek TNI AL sesuai yang dipesan Ibu-ibu tadi.

“Oh, sudah sampai, ya, Pak?” Aku bergegas turun sambil melepas helm, kemudian memberikannya kepada Bapak itu. “Terima kasih!”

“Sama-sama. Hati-hati di jalan, Dek!” ucapnya, kemudian berlalu pergi.

Sepeninggal driver tersebut, aku mulai berjalan menyusuri satu per satu gang di komplek itu. Ternyata, komplek ini terbagi atas beberapa gang yang cukup lebar dan padat penduduk. Aku mulai dari gang pertama, memasuki gapura dan portal yang setengah terbuka.

Hening, itulah kata yang cocok untuk menggambarkan suasana di tempat itu. Rumah-rumah berbentuk senada terlihat indah berjejer rapi. Sayangnya, tidak ada seorang pun yang berada di luar.

Aku memberanikan diri menekan bel rumah pertama. Namun,  tidak ada yang menjawab, sepertinya rumah itu sedang kosong. Lantas, aku berjalan lagi sambil menengok kanan kiri, mungkin ada orang yang bisa ditanya. Tidak lama setelahnya, terlihat seorang lelaki yang mengenakan baju doreng sedang membaca koran di beranda rumah. Aku mendekat dan menghampiri lelaki itu, bermaksud meminta informasi tentang ayah.

“Assalamualaikum, Pak. Permisi, maaf mengganggu waktunya sebentar,” ucapku sambil berdiri di depan pagar.

Lelaki itu langsung melipat koran tersebut, lalu menaruhnya di meja kecil yang ada di sebelahnya. “Waalaikumsalam. Cari siapa, ya?” jawab lelaki itu seraya berjalan ke arahku.

“Mau cari Bapak saya, namanya Sakti Wiguna. Apa Bapak kenal? Katanya, Bapak saya tinggal di komplek ini, Pak. Ini fotonya.” Aku menunjukkan buku nikah milik Ibu. Lelaki itu mengamati dengan jelas hingga muncul kerutan di dahinya.

“Waduh, maaf nggak kenal, Dek. Setahu saya, di komplek ini nggak ada orang yang mirip dengan foto ini, mungkin di komplek sebelah,” jawabnya sambil mengembalikan buku nikah tersebut. “Adek dari mana?”

“Saya dari Surabaya Barat, Pak. Kalau begitu, saya pamit dulu, ya, Pak. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Aku tidak menyerah begitu saja. Lekas kudatangi satu per satu rumah di komplek tersebut, kupencet bel yang ada di depan pagar. Ternyata, mayoritas warga komplek itu tidak ada yang tahu pasti tentang identitas Ayah.

Aku Bukan Anak HaramWhere stories live. Discover now